Jumat, 03 September 2010

Menghilangkan Penat Dengan Ode Buat Kota

Semua bermula dari dirilisnya album Bangkutaman yang terbaru, Ode Buat Kota. Beberapa waktu setelah rilisan itu, Idhar Resmadi menulis sebuah resensi yang ciamik mengenai album terbaru dari band britpop asal Yogyakarta ini. Gara-gara resensi itulah, saya jadi tertarik untuk membeli album yang diberi rating 4 bintang oleh Soleh Solihun.

Jujur, saya tak begitu menggemari musik britpop. Musik kegemaran saya adalah tipikal hard rock, yang jelas kental unsur guitar hero. Dan musik britpop tak pernah mengenal yang namanya guitar hero, correct me if I’m wrong sir. Tapi kali ini, saya merasa terpanggil untuk mendengarkan Ode Buat Kota secara utuh dan menyeluruh. Akhirnya ketika pergi ke Yogya beberapa hari lalu, saya menyempatkan untuk pergi ke sebuah music store di bilangan Mataraman. Voila, satu buah album ini sudah ada di tangan saya.

Beberapa hari sebelum saya membeli CD Ode, saya berbincang dengan mas Philips mengenai album yang jadi favoritnya belakangan ini. Saya bertanya bagaimana kalau ternyata saya tak menggemari album ini? Jangan-jangan album ini diulas bagus hanya karena nama besar mereka, kevakuman, dan sekarang aktif kembali. Mas Philips hanya menyarankan saya mendengarkan dulu album ini. Ia bilang kalau album ini “kaya.”

Ketika sudah sampai di Jember, saya tidak memasukkan mandi sebagai kegiatan pertama yang saya lakukan. Saya malah pergi ke depan komputer, memasukkan CD ini, dan memainkannya. Saya mencoba mendengarkan perlahan-lahan, mencoba untuk khusyuk.

Dibuka oleh Ode Buat Kota, lagu ini jelas mengundang sing along jika dibawakan dalam konser. Belum lagi ada koor suara backing vokal yang riuh berdendang. Sebenarnya saya malas membanding-bandingkan suatu band dengan influence-nya, tapi mau tak mau saya menggumam bahwa cara bernyanyi Acum di bagian “Ku bernyanyi untuk dia yang kesepian…” itu mengingatkan saya pada cara menyanyi ala Dylan. Seperti pembacaan puisi yang diiringi oleh bebunyian. Semacam musikalisasi puisi? Lagu ini seperti menjadi signature 9 lagu berikutnya: kaya akan bebunyian.

Berbicara mengenai kekayaan bunyi, saya menemukannya di lagu “Penat.” Maafkan kalau saya melantur, tapi ketika mendengarkan lagu ini, saya merasa seperti berada di delta sungai Mississippi sembari minum kopi pahit di suatu sore yang indah. Saya terkejut akan bunyi slide gitar akustik –yang identik dengan Delta Blues—serta suara harmonica yang memberikan suasana southern rock. Mungkin saya lagi memang lagi mabuk. Tak pernah saya temukan perpaduan antara delta blues dan southern rock dalam sebuah band yang lebih terinspirasi oleh The Stone Roses dan The Smiths, bukan Robert Johnson atau Jhonny Winter. Ketika mendengarkan lagu ini, pikiran saya menjadi liar. Lagu ini sepertinya akan lebih keren kalau menampilkan Adrian Adioetomo sebagai gitaris tamu.

Suara harmonica sepertinya menjadi signature yang rawan dianggap sebagai repetisi. Saya menemukan suara alat musik ini di beberapa lagu, selain di Ode Buat Kota, Train Song, dan Penat, saya juga menemukan bebunyian ala cowboy ini di lagu Coffee People. Di lagu yang mengingatkan saya pada gaya bernyanyi Lou Reed yang seperti orang mabuk ini, terdengar pula suara backsound penyiar yang membacakan berita.

Rupa-rupanya Dwi Retno Sundari –sosok dibalik suara penyiar itu—merasa benar kalau suaranya empuk dan enak untuk di dengarkan. Sehingga ia menghabiskan hampir dua menit untuk berbicara mengenai profesi jurnalis diantara gemerisik gelombang radio yang tak jernih. Gara-gara suara siaran yang saya anggap terlalu panjang itu, lagu Coffee People yang seharusnya efektif dengan durasi 4-5 menit saja, terdengar seperti Velvet Underground yang suka berlama-lama dengan durasi. Untunglah, lagu ini tak segelap dan semembosankan lagu-lagu Velvet Undeground. Jadi saya masih bisa memaafkan durasi lagu yang mencapai 7 menit 10 detik ini.

Coffee People cukup menghentak. Dari awal yang berjalan pelan –maaf Lou Reed, saya kutip namamu sekali lagi—lantas lagu ini berisik dengan suara solo gitar yang cukup eksplosif untuk ukuran sebuah band britpop yang biasanya terkenal kalem kalau berbicara mengenai solo gitar. Saya membayangkan J.Irwin memainkan solo gitar sembari bersimpuh di lantai dan mengibaskan rambutnya –yang sayang sekali terlalu pendek untuk dikibas-kibaskan.

Tapi kalau berbicara mengenai solo gitar yang ciamik, saya mengacungkan jempol pada lagu “Hilangkan”. Lagu yang memasukkan unsur psychedelic ini dengan leluasa memberikan ruang lapang untuk solo gitar. Sebelum solo gitar, ada permainan solo singkat keyboard. Setelah solo keyboard muncullah permainan solo gitar, yang meskipun singkat, cukup bisa membuat saya kembali membayangkan adegan permainan solo gitar di lagu “I’ve Got A Feeling” versi Mongolian Chop Squad yang megah dan memorable itu.

***
Pagi menjelang subuh tadi, saya berdiskusi seru dengan Ayos. Dia bilang album Ode Buat Kota ini overrated. Saya yang baru bangun tidur langsung melek, dan meladeni diskusi musik pagi hari itu. Ayos berkata ada banyak pengulangan di album ini. Saya menduga pengulangan ini termasuk banyaknya bebunyian harmonika (Ode Buat Kota, Train Song, Penat, dan Catch Me When I Fall).

“Masa si Soleh ngasih 4 bintang buat album ini? Aku sih cukup ngasih 2 bintang saja” kata pria berkacamata ini.
“Lah, kamu udah denger album ini belum?” tanya saya. 2 bintang? Bahkan Kerispatih dan Warteg Boyz mendapatkan 3 bintang dari Rolling Stone Indonesia.

“Udah. Dan karena pengulangan itu, tak ada yang begitu bagus. Suara Acum juga beberapa kali meleset. Lantas alasan apalagi yang membuat aku agar tak menghapus file album ini?” jawab dia songong. Oh, saya begitu ingin menampol pantatnya kalau ia mencoba untuk sinis seperti Hasief Ardiansyah.

Berbicara mengenai suara vokalis yang fals, saya selalu berpendapat bahwa band yang bagus tak melulu harus mempunyai suara vokalis yang merdu. Lalu saya mengalihkan topik pembicaraan, agar tak berbicara mengenai tekhnis. Tapi Ayos mengejar saya.

“Gak bisa ran! Ini album musik, karena itu harus berbicara mengenai tekhnis” kata Ayos. Hehehe, sialan bener bocah ini, dia tahu kalau saya tak suka membahas hal-hal tekhnis.

“Lah, kau pikir suaranya Risky itu merdu? Suara dia malah lebih fals ketimbang Acum” balas saya mengacu pada Risky sang vokalis band progressive rock dari Yogya favorit si Ayos, Risky Summerbee and the Honey Thief.

“Yo jangan dibandingin sama Risky Summerbee, mereka beda aliran” jawabnya. Eits, mulai mengelak nihhh.

“Lha, kamu bandingin Bangkutaman sama siapa?” tanya saya lagi, berusaha mengejar Ayos yang sudah terpojok.

Lantas pria penuh lemak ini mengetikkan suatu nama di layar YM kami: STONE ROSES.

UASUUUU! Jangkrik! Si Ayos kurang ajar bener. Membandingkan Bangkutaman dengan Stone Roses?! Bukannya Bangkutaman tidak bagus. Tapi membandingkan Bangkutaman dengan sang idola mereka sendiri adalah perbuatan pamali, dan tidak sopan. Rawan difatwa haram oleh MUI (Majelis mUsik Indonesia). Saya pikir akan lebih adil kalau membandingkan Bangkutaman dengan Pure Saturday.

Lantas saya mengeluarkan jurus pamungkas saya.

“Asu koen. Yo wis, gelem gak Risky Summerbee tak bandingno karo Pink Floyd? (Anjing. Ya sudah, mau gak kalau Risky Summerbee aku bandingkan dengan Pink Floyd?)” kata saya jumawa. Saya tahu Ayos tak akan bisa menjawab apa-apa lagi.

“Hehehehe” itulah kata-kata penyerahan dirinya.

Kalau terpaksa memberikan rating, saya memberikan 3,5 bintang dari 5 bintang. Mengenai bintang yang kebanyakan itu saya sepakat dengan Ayos. 4 bintang seperti yang diberikan oleh Soleh sepertinya terlalu banyak. Selain faktor repetisi, untuk sebuah band yang berusaha memasukkan unsur psychedelic dan blues, Bangkutaman kurang mengeksplor bebunyian ala psychedelic dan blues.

Tapi tetap, Bangkutaman telah dengan semena-mena membuat saya jatuh cinta. Bahkan Pure Saturday tak bisa membuat saya jatuh cinta. Bangkutaman dengan cerdas dan bijaksana memasukkan banyak unsur baru dalam musik mereka. Mulai dari harmonika, slide guitar ala Delta Blues, synth ala psychedelic hingga harmonisasi vokal ala the Beatles. Karena album ini, saya percaya bahwa pendewasaan itu bisa terjadi pada sebuah grup musik.

Bangkutaman telah membuktikannya pada saya melalui Ode Buat Kota []


Jember, 3 September 2010

Kepala pening karena gak bisa tidur

Hidung tersumbat karena pilek

Tapi telinga terhibur karena Ode Buat Kota


1 komentar: