|
The Yellow House, oleh Vincent Van Gogh |
Setelah
setahun tinggal di Rumah Susun Berlian Tebet, saya dan Rani akhirnya memutuskan
pindah. Ada banyak alasan kenapa kami harus pindah dari tempat yang menyenangkan
ini.
Rusun
kami tak bisa dibayar bulanan. Ini cukup memberatkan bagi pasangan yang baru
menikah seperti kami. Kami mencari kontrakan yang bisa bulanan, atau setidaknya
dibayar per 6 bulan. Sayang, di Tebet sangat susah cari kontrakan yang bisa
dibayar bulanan, maupun setengah tahunan.
Lalu unit
yang kami tempati sudah banyak kerusakan. Sadarnya sih waktu musim hujan
datang. Kalau sudah deras, maka tembok akan dirembesi air hujan. Karena
rembesan itu, kami seringkali tak sadar. Tahu-tahu lantai sudah banjir.
Lalu
perihal rayap yang menggerogoti kusen jendela. Sewaktu tidur, tahu-tahu saja
kusen kami lepas dan kaca jatuh. Pecah berantakan. Ternyata ini tak menimpa
unit kami saja. Beberapa hari setelah kusen kami lepas, tetangga paling atas
juga mengalami hal yang sama. Suara kacah jatuh menarik perhatian banyak orang. Akhirnya
dengan berbagai pertimbangan itu, kami memutuskan untuk pindah. Mulai lah saya
dan Rani mencari kontrakan. Tak mudah, memang.
Di
Jakarta, ada dua pilihan kontrakan. Tinggal pilih yang mana.
1. Lokasi
strategis dan hunian nyaman? Harganya pasti mahal.
2. Murah.
Lokasi jauh, dan seringkali tak manusiawi.
Karena
tak mungkin membayar mahal untuk kontrakan, akhirnya kami memilih opsi nomer
dua. Sebelumnya
kami sempat keliling Tebet. Kenapa harus lokasi ini? Karena Tebet lokasinya pas
sekali. Dekat ke kantor Rani atau pun saya. Karenanya, lokasi ini jadi pilihan
pertama kami.
Sayang,
kami tak dapat kontrakan yang kami cari. Ada beberapa kontrakan yang bisa
bulanan, murah, tapi masuk gang sempit hanya cukup satu motor, dan tak mendapat
sinar matahari.
Daerah
Mampang, Kalibata, Jalan Bangka, hingga Cilandak sempat kami lirik. Tapi
akhirnya pilihan kami jatuh pada sebuah kontrakan di Jalan Mujair, di TB
Simatupang.
Rani yang
menemukan lokasi ini. Waktu itu saya sedang ada di luar kota. Rani yang melihat
kontrakan ini dan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Setelah saya
sampai di Jakarta lalu melihat kontrakannya, saya juga setuju. Enaknya lagi,
kontrakan ini bisa dibayar bulanan. Bahkan, memang sistemnya bayar bulanan.
Setelah
menemukan lokasi ini, kerja berikutnya adalah yang paling berat dan akan saya benci seumur
hidup: pindahan.
Saya tak
sangka kalau barang kami berdua lumayan banyak. Buku, baju, lemari, peralatan dapur,
gitar, mesin cuci, kulkas, hingga rak buku. Plus, unit kami di Rumah Susun ada
di lantai 3. Ini artinya tiga kali kerja keras.
Untung
ada Arif Budiarto, kawan karib saya sejak SMP yang tinggal dekat kami. Ia
banyak membantu mengangkat dan menurunkan barang. Kalau tak ada Budi, mungkin
saya sudah mati kelelahan duluan. Akibat pindahan ini, tangan saya seperti
kram selama 4 hari. Luar biasa.
Rumah
kontrakan baru kami cukup luas. Modelnya seperti kosan. Ada 8 unit kontrakan di
satu area. Tiap unit ukurannya sama. Satu kamar tidur, ruang tamu, dapur, dan
kamar mandi.
Tak
seperti di Tebet yang selalu ramai, daerah kontrakan kami cukup tenang. Tak
banyak penjual makanan. Tak banyak lalu lintas. Kalah jauh kalau dibandingkan dengan di Tebet yang nyaris tak pernah sepi. Namun
ini artinya hidup jadi lebih tenang. Karena banyak pohon besar, kalau pagi, ada
banyak burung gereja yang mampir dekat rumah. Nikmat sekali bung.
Namun setelah
beberapa hari naik motor ke kantor, kami baru sadar satu hal: TB Simatupang itu
jauh!
Biasanya,
dari Tebet ke kantor Rani hanya makan waktu 10-15 menit saja. Kalau tak macet
malah bisa cuma 5 menit. Ke kantor saya pun cuma 15 menit. Sekarang, kami butuh
40-50 menit ke kantor Rani.
Kerak inti neraka
dunianya ada di Mampang Prapatan. Dulu sewaktu saya belum jadi Homo Jakartaensis,
Andrey Gromico, kawan baik saya, pernah ngomong sesuatu saat terjebak kemacetan
di Mampang.
"Mampang
iki ncen neroko. Asu tenan."
Beberapa
tahun kemudian, saya merasakan kemacetan yang sama. Juga memaki hal yang sama.
Tapi mau gimana lagi, ya harus dinikmati. Ini adalah konsekuensi tinggal di rumah yang jauh dari tempat kerja. Di Jakarta pula.
Tapi
penderitaan saya menghadapi pindahan dan konsekuensinya ini tentu tak ada apa-apanya dibandingkan
dengan masalah pindahan Pak Natahendra.
Beliau
adalah penduduk Desa Cipaku, Sumedang, yang saya temui sewaktu tugas liputan ke
Sumedang beberapa waktu lalu. Bagi yang belum tahu, Cipaku adalah salah satu desa yang akan
ditenggelamkan untuk proyek waduk Jatigede. Selain Pak Hendra, ada 700 lebih kepala keluarga yang akan dipindah dari desa itu.
Proyek
ini sebenarnya sudah dimulai sejak 1963. Kala itu Soekarno yang punya ide.
Sempat mangkrak selama belasan tahun, Soeharto akhirnya memulai pembebasan
lahan di Desa Cipaku pada tahun 1982. Tahun 1983, lahan mulai diukur. Setahun
setelahnya, pembayaran dimulai.
Masalahnya,
pengukuran dan pemberian harga sama sekali tak melibatkan warga. Waktu itu,
tahun 1984, pemerintah membeli sawah warga seharga Rp 8 ribu per tumbak (14
meter persegi). Alias cuma Rp 500 rupiah lebih sedikit untuk tiap meter persegi
sawah produktif. Padahal waktu itu harga pasaran sawah mencapai Rp 20 ribu,
hingga Rp 30 ribu per tumbak.
Belum
lagi salah kelas. Sawah produktif, yang harusnya harganya lebih mahal, acap
dimasukkan ke kelas tanah darat, yang jauh lebih murah karena berupa lahan tak
produktif atau hutan belantara.
Penduduk
yang melawan atau protes, langsung saja digelandang ke markas Komando Distrik
Militer. Bukan disuruh makan combro, tapi dihajar habis-habisan.
"Ada
Pak Rahmad, dihajar sampai tangan dan kakinya patah. Ia lumpuh seumur hidup.
Beberapa ada yang tuli karena telinganya dipukuli," kata Pak Hendra.
Toh
proyek pembangunan waduk Jatigede ini mangkrak lagi hingga puluhan tahun
kemudian. Beberapa penduduk yang sudah terlanjur pindah, kembali lagi ke
Cipaku. Namun, tahun itu juga, Bupati Sumedang memerintahkan tak boleh ada
pembangunan apapun di Desa Cipaku. Tidak jalan beraspal, tidak pula listrik.
Desa yang seperti lukisan mooi indie ini baru dialiri listrik pada tahun 2000.
Pembangunan
waduk ini dilanjutkan lagi di era Susilo. Lalu Presiden Jokowi baru saja
menandatangani Peraturan Presiden soal waduk Jatigede ini.
Menteri
Pekerjaan Umum bilang waduk Jatigede yang menelan biaya hampir Rp 6 triliun ini
sudah siap 99 persen. Sisa 1 persennya? Ya persoalan sosial warga yang enggan
pindah. Kenapa harus pindah, kalau mereka merasa dirampok oleh pemerintah sendiri?
Selain
persoalan ganti rugi yang belum menemui titik temu, para penduduk Cipaku juga
menuntut pemerintah merelokasi mereka dan memberikan konsep pengembangan
ekonomi. Mayoritas penduduk Desa Cipaku bekerja sebagai petani. Kalau pindah,
mereka akan kerja apa? Nah, penduduk Cipaku inginnya pemerintah punya kejelasan
soal ini.
Sayang,
Peraturan Presiden yang diteken Jokowi sama sekali tak mengatur pengembangan
ekonomi masyarakat setelah dipindah nanti.
Pun,
rumah yang disiapkan untuk penduduk Cipaku ini jauh dari kata layak. Kata
Hendra, selain sempit, bahan bangunannya juga berkualitas buruk. Kusen
jendelanya, misalkan, dibuat dari kayu mangga yang masih basah. Sama sekali tak
pantas.
"Orang
desa ini, bahkan kalau mindah sapi pun selalu disiapkan dengan baik. Nanti
kandangnya di mana, sumber makanan dari mana, bagaimana membuang kotorannya.
Setelah semua siap, baru sapi dipindah. Lha, ini pemerintah mau mindah manusia
lho. Kok kesannya serampangan," kata Hendra kesal.
Saya jadi ingat adegan di film Better Call Saul. Ketika Michael "Mike" Ehrmantraut berkata pada James Mc Gill. "It's human nature to want to stay close to home. Nobody wants to leave home." Sudah naluri manusia untuk ingin berada dekat rumah. Tak ada seorang pun yang ingin meninggalkan rumah.
Menyaksikan
polemik relokasi warga ini, pindahan kontrakan saya jadi terasa begitu sepele.
[]