Selasa, 10 Mei 2011

Pasar Malem Tjap Toendjoengan 2

Sepulang dari Jakarta saya mampir Surabaya. Sekedar menemui dan mendengarkan curhat sang kakak yang sedang galau gara-gara putus dengan pacarnya. Selain itu saya juga menyempatkan bertemu Rina yang sedang sibuk menyelesaikan thesisnya. Belakangan anak itu sedang ultra sibuk, rawan stress. Makanya saya ajak dia jalan-jalan biar otaknya gak keriting kayak rambutnya.

Tujuan kami adalah sebuah acara tahunan bertajuk Pasar Malem Tjap Toendjoengan. Pasar malam ini berada di pelataran parkir Sogo Mal. Saya kesana pas akhir pekan, sedang ramai-ramainya. Tahun lalu saya juga pergi ke tempat ini bersama kawan-kawan dari Sacharosa macam Fajar, Ochi, Rizki, dan juga Angga. Saya ingat menghabiskan jagung bakar dan jus duren dan pulangnya langsung sakit perut.


Pasar Malem Tjap Toendjoengan ini bisa dibilang sebagai karnaval makanan yang meriah. Ada banyak stan yang menjual berbagai jenis makanan. Sayang, banyak kritik yang dilemparkan terhadap penyelenggara acara ini dikarenakan makanan yang dijual kebanyakan bukan makanan asli Surabaya. Tapi saya tak ambil pusing. Karena sikap primordial dalam dunia kuliner itu haram hukumnya. Makan ya makan aja. Makanan enak akan tetap terasa enak, dari manapun asalnya.

Begitu saya sampai, kepala sudah terasa pusing karena melihat kerumunan orang yang menyemut. Ramai banget. Semua ngalor ngidul. Saya dan Rina memutuskan untuk berkeliling dulu baru memutuskan apa yang akan dimakan. Saya melihat ada Surabi khas Bandung, rujak cingur, nasi jamputan, coklat ala Surabaya, sop kaki kambing khas Jakarta, jus durian, hingga makanan internasional macam takoyaki, pizza, sampai lasagna. Setelah selesai berkeliling, bukannya langsung memilih, kami malah semakin pusing dengan beragamnya pilihan.

Karena haus, akhirnya pilihan pertama kami adalah jus durian. Minuman seharga Rp. 10.000 ini sangat menyegarkan. Pun rasa duriannya kental tercicip di lidah. Sembari menyeruput jus, kami terus berjalan. Pilihan kedua adalah pentol iga. Pentol dengan rombong unik berwarna oranye ini menggoda perhatian Rina. Ia pun membeli. Tapi sayang, rasanya biasa saja. Tak ada beda dengan pentol sapi biasa. Malah cenderung aneh karena diberi saus mayonaise. Rina malah ingin menambahi kecap tapi saya cegah. Bukannya apa, saya ngeri membayangkan rasa perpaduan antara mayonaise dan kecap.









Sembari memakan pentol, Rina mengajak saya pergi ke deretan kios yang menjual baju dan pernak-pernik. Aih, bisa lama jadinya. Ternyata benar, Rina dengan telaten memilih baju yang bagus, sambil sesekali bertanya apakah baju itu cocok dengannya atau tidak. Saya yang pusing kalau menunggu perempuan berbelanja akhirnya memutuskan untuk menonton ludruk. Sungguh menyenangkan melihat kesenian khas Surabaya ini. Yang lebih menyenangkan lagi, penontonnya juga banyak, dan responnya pun semarak.

Tak berapa lama Rina datang menyusul saya dengan muka yang bersungut. Ada apa gerangan?

"Kamu kemana aja? Barusan aku mau nanya bajunya bagus atau gak. Eh, kamu gak ada. Bajunya aku taruh, mau manggil kamu. Pas balik, eh bajunya udah diambil sama mbak itu" kata Rina sembari menunjuk seorang perempuan muda berambut pendek yang memakai syal. Muka Rina yang tadinya cerah jadi mendung.

Entahlah. Saya tak paham apa yang ada di pikiran para perempuan. Hanya gara-gara kalah rebutan baju, mood pun bisa porak poranda bak diterjang beliung.

Daripada terus-terusan bersungut, akhirnya saya mengajak dia kembali jalan-jalan mengisi perut. Pilihan Rina untuk makan malam kali ini cukup aneh: sate kuda. Apakah ini pengaruh mood yang buruk? Mungkin saja. Atau bisa saja mengingat sate kuda ini berkhasiat untuk kejantanan, Rina mungkin berpikir bisa menjadi jantan setelah makan sate ini. Lalu melempar perempuan yang sudah merebut baju yang ia incar, setelahnya baru menghajar saya yang memilih untuk menonton ludruk ketimbang menemaninya berbelanja baju.

Akhirnya saya setuju untuk makan sate kuda ini. Semoga para nomad di Mongolia sana mengampuni dosa kami.

Kami memutuskan untuk memesan sate kuda tanpa nasi ataupun lontong karena kami sudah makan malam sebelumnya. Satu porsi sate kuda berisi 10 tusuk dibandrol Rp. 17.000. Cukup mahal sebenarnya, tapi wajar mengingat kuda bukanlah hewan konsumsi seperti kambing atau ayam. Jujur saja, rasa daging kuda ini hambar, tak segurih daging ayam atau kambing, bahkan daging kobra yang pernah saya makan di Solo dulu. Teksturnya lebih alot dan berserat ketimbang daging lain yang pernah saya coba. Ketika digigit, daging memberikan perlawanan. Tapi kehambaran dan kealotan daging ini tertolong dengan campuran bumbu kacang dan kecap yang sedap. Makan malam ini ditutup dengan minum es blewah yang menyegarkan. Membawa saya ke ingatan bulan Ramadhan.




Setelah makan, kami berkeliling. Mengelilingi jejeran stan makanan itu beresiko mengalami lapar mata. Itu yang kami alami. Sedikit-sedikit pingin ini, sebentar-sebentar pingin itu. Di sela-sela lapar mata itu, ada roti tuna isi dua seharga Rp. 5.000 yang masuk ke perut. Lalu akhirnya kami memutuskan untuk membungkus terangbulan mini 7 rasa seharga Rp. 10.000, takoyaki salmon isi 4 seharga Rp. 10.000 dan juga kulit ayam crispy seharga Rp. 8.000.

Malam makin larut, kaki sudah gempor. Kami pun pulang dengan perut kenyang.Dan muka Rina pun masih cemberut kalau ingat tragedi kalah berebut baju.

Tahun depan semoga ada yang jual pecel semanggi ya...

4 komentar:

  1. wah, aku seng arek sby kalah mbek awakmu ran. aku durung mrunu... :(

    nek nggolek semanggi ben awan onok seng liwat ngarep kost an, aku tau tuku.. hhhmmm sedap boy, hampir sama dg petjel

    BalasHapus
  2. fajar: hehehe, koen sih dolan nang luar kota wae :D tahun wingi aku mrene karo awakmu kan :D hayoo, koen mangan opo wae tahun wingi?

    BalasHapus
  3. Rina mungkin berpikir bisa menjadi jantan setelah makan sate ini.

    percoyo akulah karo sliramu su

    BalasHapus
  4. hehe semalem ada liputannya lho di JTV

    BalasHapus