Beberapa waktu lalu saya pergi ke Jakarta. Karena macet yang sangat bedebah, saya pun datang terlambat ke Stasiun Kota, melewatkan kereta bisnis Gumarang yang berangkat tak lebih dari 5 menit sebelum kedatangan saya. Tiket di tangan saya sia-sia sudah. Dengan segala tipu daya dan muka memelas, saya akhirnya bisa naik kereta eksekutif Bima. Tapi apa lacur, tak ada yang gratis di dunia ini anak muda. Saya masih harus menambah "saweran" ke kondektur sebesar 120 ribu. Brengsek.
Tapi memang ada harga ada rupa. Naik kereta eksekutif memang menyenangkan. Saya ingat ketika medio 2007 silam, saya dan beberapa orang teman dengan tujuan Bandung terpaksa naik kereta api eksekutif Turangga karena ketinggalan kereta bisnis Mutiara Selatan. Dengan harga 200 ribu, kami dapat makan, selimut, plus suasana yang adem dan nyaman. Setimpal, meski saya sebenarnya lebih memilih uang sebesar itu untuk beli buku atau kaset musik.
Karena memori eksekutif-pasti-dapat-makan itulah saya tak menampik piring berisi bistik lengkap yang disodorkan oleh pramugari kereta Bima. Bistik ini tampak sangat mengenyangkan dengan sayur mayur macam kentang, buncis, plus sebongkah nasi. Piring stainlessnya masih terasa hangat. Daging bistiknya besar dengan kuah kental berwarna coklat tua. Semacam membuat saya meneteskan liur.
Waaah, enaknya naik Bima. Pikir saya waktu itu.
Saya pun makan dengan lahap, mengiris potongan daging dengan antusias, menyuapkan butiran-butiran nasi ke mulut saya, dan mengoleskan saus diatas kentang goreng yang berwarna kuning kecoklatan. Nikmat. Setelah makan, perut kenyang, dan saya berniat tidur. Malam itu sepertinya terasa sempurna, sampai...
"Bistik daging, jadi 38 ribu" ujar pramugari yang tadi menyodorkan piring berisi satu porsi bistik itu.
Saya bengong. Lah, bukannya itu fasilitas ya? Itu yang ingin saya tanyakan, tapi urung saya lakukan karena dua orang penumpang di barisan sebelah sudah kadung menanyakannya.
"Bukan bu. Itu makanan dari restorasi" ujar si pramugari tenang. Muka lu licik.
Sesudah mendapatkan jawaban yang datar dan memuakkan itu saya langsung mengeluarkan lembar 50 ribu terakhir di dompet tanpa banyak tanya, apalagi mendebat. Sudah terlalu lelah. Sisa uang di dompet saya hanya satu lembar uang 10 ribu.
Tiba-tiba saja bistik yang tadinya menggiurkan jadi terasa tidak enak. Ada saja kekurangannya. Yang bistiknya kurang matang lah, kurang empuk lah, kentang yang hambar lah, buncis dan wortel yang rada basi lah, hingga nasi yang sama sekali tidak punel.
Yang membuat rasa itu berubah drastis tentu adalah kenyataan bahwa saya harus membayar untuk makanan yang saya tak tahu itu gratis atau berbayar. Setahu saya ada perbedaan antara orang "menjual" dan orang yang "memberikan". Dalam hemat saya, sang pramugari melakukan yang namanya "memberikan", bukan "menjual", apalagi "menawarkan".
Mari ambil contoh penjual makanan di restorasi kereta ekonomi. Mereka jelas tampak menjual makanan, bukan memberikan. Karena mereka berseru "Nasi goreng, nasi campur, teh anget, kopi", bukannya langsung menyodorkan makanan ke penumpang.
Nah itu yang pramugari Bima lakukan: menyodorkan makanan, bukan menjual, apalagi menawari. Jadi saya tak salah dong kalau orang macam saya atau dua orang yang duduk di baris sebelah --yang dimana mungkin kami sangat jarang naik kereta eksekutif-- menganggap itu pemberian? (nyolot, hahaha). Karena untuk makanan kecil macam kacang atau keripik, mereka membawa grobak sembari berteriak "kacang kacang, keripik pedas, coklat". Ah, macam pedagang asongan di Logawa saja kau mbak.
Seharusnya manajemen Bima --dan kereta eksekutif yang berlagak brengsek lainnya-- harus belajar ke para awak restorasi Logawa atau Sri Tanjung.
Yang lebih mengagetkan dan semakin menebalkan keinginan saya untuk melahap bistik ini adalah harganya. Hanya 25 ribu rupiah! Tanpa misuh seperti bistik Bima tentu saja. Dimanakah saya bisa mendapatkan seporsi besar bistik komplit ala borjuis dengan harga kelas proletar seperti ini?
Ternyata tempat yang menjual bukan restoran biasa.
Nama restoran ini adalah Sumber Hidangan. Terletak di Braga, daerah yang terkenal sebagai simbol wisata kota Bandung, restoran ini ternyata sudah berdiri sejak tahun 1929. Sumber Hidangan ini dulu bernamakan Het Snooephuis, sebuah bakery --bukan Bakrie-- tertua di Bandung. Rasanya seperti tidak mungkin melihat kenyataan bahwa seporsi bistik komplit di restoran legendaris di kota yang tinggi biaya hidupnya, hanya dibanderol 25 ribu rupiah. Coba bandingkan dengan Restoran Oen di Malang.
"Iya bener, 25 ribu, masih ada bonnya nih. Cuma agak-agak ada teka-tekinya: 'Jam berapa saja sebenarnya Sumber Hidangan buka?' (ini beruntung, pas lg buka ketika ke sana)" ujar Tita Larasati, seorang komikus keren domisili Bandung yang mempunyai hak cipta foto bistik komplit diatas.
Sepertinya kebodoran mengenai jam buka ini adalah tanda kalau sang pemilik tidak begitu perduli pada uang atau laba. Mungkin sang pemiliknya adalah anak pantai yang suka hidup santai.
Tapi setelah saya googling, disebutkan kalau restoran klasik ini buka mulai jam 08.30 sampai jam 19.00. Itu sebenarnya kebijakan baru. Karena kebijakan lama pernah menerapkan penutupan restoran saat jam tidur siang, antara jam 13.00 sampai jam 16.00. Sepertinya sang pemilik benar-benar anak pantai, hehehe.
Sebagai salah satu restoran klasik yang masih tegak berdiri, Ibu Poppy, sang penerus yang merupakan generasi kedua (dan dia sudah berumur 81 tahun), mengatakan bahwa sistem produksi hingga cara penyajian produk masih menggunakan cara lama yang digunakan sejak restoran ini berdiri. Seperti roti yang tanpa bahan pengawet dan pembungkus yang berupa kertas, bukan plastik seperti roti modern. Bahkan nama produknya pun masih menggunakan bahasa Belanda. Sebuat saja ananas taart, krenten brood, chocolade rotjes, atau mocca truffle.
Mbak Tita sendiri, sebagai oknum yang harus bertanggung jawab atas kengileran ini memesan es krim kopyor (6 ribu), linzen Cake (7 ribu), hingga hot dog (10 ribu). Semua tampak lezat.
Dengan view Braga yang kental aroma nostalgia, makanan yang enak dan murah, apa lagi yang bisa menunda saya untuk segera mencicipi makanan di Sumber Hidangan? Siapa tahu dengan memakan makanan bernamakan Belanda, saya bisa sekolah di Belanda kelak, amiiiin.
Berangkat!
post-scriptum: semua foto saya ambil dari facebook mbak Tita Larasati. Makasih mbak :)
Tapi memang ada harga ada rupa. Naik kereta eksekutif memang menyenangkan. Saya ingat ketika medio 2007 silam, saya dan beberapa orang teman dengan tujuan Bandung terpaksa naik kereta api eksekutif Turangga karena ketinggalan kereta bisnis Mutiara Selatan. Dengan harga 200 ribu, kami dapat makan, selimut, plus suasana yang adem dan nyaman. Setimpal, meski saya sebenarnya lebih memilih uang sebesar itu untuk beli buku atau kaset musik.
Karena memori eksekutif-pasti-dapat-makan itulah saya tak menampik piring berisi bistik lengkap yang disodorkan oleh pramugari kereta Bima. Bistik ini tampak sangat mengenyangkan dengan sayur mayur macam kentang, buncis, plus sebongkah nasi. Piring stainlessnya masih terasa hangat. Daging bistiknya besar dengan kuah kental berwarna coklat tua. Semacam membuat saya meneteskan liur.
Waaah, enaknya naik Bima. Pikir saya waktu itu.
Saya pun makan dengan lahap, mengiris potongan daging dengan antusias, menyuapkan butiran-butiran nasi ke mulut saya, dan mengoleskan saus diatas kentang goreng yang berwarna kuning kecoklatan. Nikmat. Setelah makan, perut kenyang, dan saya berniat tidur. Malam itu sepertinya terasa sempurna, sampai...
"Bistik daging, jadi 38 ribu" ujar pramugari yang tadi menyodorkan piring berisi satu porsi bistik itu.
Saya bengong. Lah, bukannya itu fasilitas ya? Itu yang ingin saya tanyakan, tapi urung saya lakukan karena dua orang penumpang di barisan sebelah sudah kadung menanyakannya.
"Bukan bu. Itu makanan dari restorasi" ujar si pramugari tenang. Muka lu licik.
Sesudah mendapatkan jawaban yang datar dan memuakkan itu saya langsung mengeluarkan lembar 50 ribu terakhir di dompet tanpa banyak tanya, apalagi mendebat. Sudah terlalu lelah. Sisa uang di dompet saya hanya satu lembar uang 10 ribu.
Tiba-tiba saja bistik yang tadinya menggiurkan jadi terasa tidak enak. Ada saja kekurangannya. Yang bistiknya kurang matang lah, kurang empuk lah, kentang yang hambar lah, buncis dan wortel yang rada basi lah, hingga nasi yang sama sekali tidak punel.
Yang membuat rasa itu berubah drastis tentu adalah kenyataan bahwa saya harus membayar untuk makanan yang saya tak tahu itu gratis atau berbayar. Setahu saya ada perbedaan antara orang "menjual" dan orang yang "memberikan". Dalam hemat saya, sang pramugari melakukan yang namanya "memberikan", bukan "menjual", apalagi "menawarkan".
Mari ambil contoh penjual makanan di restorasi kereta ekonomi. Mereka jelas tampak menjual makanan, bukan memberikan. Karena mereka berseru "Nasi goreng, nasi campur, teh anget, kopi", bukannya langsung menyodorkan makanan ke penumpang.
Nah itu yang pramugari Bima lakukan: menyodorkan makanan, bukan menjual, apalagi menawari. Jadi saya tak salah dong kalau orang macam saya atau dua orang yang duduk di baris sebelah --yang dimana mungkin kami sangat jarang naik kereta eksekutif-- menganggap itu pemberian? (nyolot, hahaha). Karena untuk makanan kecil macam kacang atau keripik, mereka membawa grobak sembari berteriak "kacang kacang, keripik pedas, coklat". Ah, macam pedagang asongan di Logawa saja kau mbak.
Seharusnya manajemen Bima --dan kereta eksekutif yang berlagak brengsek lainnya-- harus belajar ke para awak restorasi Logawa atau Sri Tanjung.
***
Beberapa menit lalu, saya menjumpai foto seporsi besar bistik komplit. Dari visualnya, bistik ini oh sungguh aduhai tinggi tingkat menggodanya. Dari potongan daging sapi yang tebal dan tampak empuk, jejeran kentang yang gempal, potongan tomat merah yang genit, hingga saus berwarna coklat yang cantik dan tampak lezat. Air liur kontan menetes. Sluurrrp.Yang lebih mengagetkan dan semakin menebalkan keinginan saya untuk melahap bistik ini adalah harganya. Hanya 25 ribu rupiah! Tanpa misuh seperti bistik Bima tentu saja. Dimanakah saya bisa mendapatkan seporsi besar bistik komplit ala borjuis dengan harga kelas proletar seperti ini?
Ternyata tempat yang menjual bukan restoran biasa.
Nama restoran ini adalah Sumber Hidangan. Terletak di Braga, daerah yang terkenal sebagai simbol wisata kota Bandung, restoran ini ternyata sudah berdiri sejak tahun 1929. Sumber Hidangan ini dulu bernamakan Het Snooephuis, sebuah bakery --bukan Bakrie-- tertua di Bandung. Rasanya seperti tidak mungkin melihat kenyataan bahwa seporsi bistik komplit di restoran legendaris di kota yang tinggi biaya hidupnya, hanya dibanderol 25 ribu rupiah. Coba bandingkan dengan Restoran Oen di Malang.
"Iya bener, 25 ribu, masih ada bonnya nih. Cuma agak-agak ada teka-tekinya: 'Jam berapa saja sebenarnya Sumber Hidangan buka?' (ini beruntung, pas lg buka ketika ke sana)" ujar Tita Larasati, seorang komikus keren domisili Bandung yang mempunyai hak cipta foto bistik komplit diatas.
Sepertinya kebodoran mengenai jam buka ini adalah tanda kalau sang pemilik tidak begitu perduli pada uang atau laba. Mungkin sang pemiliknya adalah anak pantai yang suka hidup santai.
Tapi setelah saya googling, disebutkan kalau restoran klasik ini buka mulai jam 08.30 sampai jam 19.00. Itu sebenarnya kebijakan baru. Karena kebijakan lama pernah menerapkan penutupan restoran saat jam tidur siang, antara jam 13.00 sampai jam 16.00. Sepertinya sang pemilik benar-benar anak pantai, hehehe.
Sebagai salah satu restoran klasik yang masih tegak berdiri, Ibu Poppy, sang penerus yang merupakan generasi kedua (dan dia sudah berumur 81 tahun), mengatakan bahwa sistem produksi hingga cara penyajian produk masih menggunakan cara lama yang digunakan sejak restoran ini berdiri. Seperti roti yang tanpa bahan pengawet dan pembungkus yang berupa kertas, bukan plastik seperti roti modern. Bahkan nama produknya pun masih menggunakan bahasa Belanda. Sebuat saja ananas taart, krenten brood, chocolade rotjes, atau mocca truffle.
Mbak Tita sendiri, sebagai oknum yang harus bertanggung jawab atas kengileran ini memesan es krim kopyor (6 ribu), linzen Cake (7 ribu), hingga hot dog (10 ribu). Semua tampak lezat.
Berangkat!
post-scriptum: semua foto saya ambil dari facebook mbak Tita Larasati. Makasih mbak :)
mas nuraaaannn.. itu dong resto favorit aku. aku bisa abis 3 porsi eskrim (favorit : valencia, snow white, tutti fruti) setiap kesana dan cuma ngeluarin uang gak lebih dari 25 ribu.
BalasHapusbapak yang jaganya lucu. berwajah datar tapi baik banget. dan aku selalu ngumpulin bon belanja di restoran itu karna mirip sama bon belanja bahan bangunan.. hihihi..
ajeng: waaaah, berarti beneran yak murah banget? terakhir kesana kapan? gak ada perubahan harga yang drastis kan? :D kapan-kapan aku mau nyoba kesana ah :D
BalasHapustutup untuk tidur siang itu masih berlaku ran sampe skrg haha.. dan podo, pas pertama rene aku yo lgsng dlm hati mbandingno karo OEN! :P
BalasHapus