Minggu, 03 April 2011

Kartu Pos Bergambar Masjid Agung Palembang*

Tadi malam, saya beres-beres perpustakaan. Semua gara-gara saya memergoki adanya serbuk kayu di lemari buku. Ternyata itu adalah residu kayu santapan rayap. Perasaan saya langsung tak enak. Langsung saja saya mengeluarkan koleksi buku yang ada di lemari itu. Ternyata memang benar, ada rayap sialan yang bersarang di lemari buku itu.

Almarhum ayah mempunyai sejarah permusuhan panjang dengan rayap. Sekiranya sudah ratusan, atau bahkan ribuan buku beliau yang sudah habis dimamah rayap. Dalam titik terendahnya menghadapi rayap, ayah pernah ingin membakar semua koleksi bukunya. Saya bersyukur ayah tak pernah melaksankan niat itu. Tapi sepertinya saya akan melanjutkan tradisi peperangan itu.

Untungnya tadi tak banyak buku yang dikudap hewan dari ordo Isoptera ini. "Hanya" 4 buku yang sedikit hancur. Satu buku Marry Higgins Clark, John Grisham, dan dua buku Karl May. Dua buku terakhir itu yang bikin hati saya miris. Saya tumbuh besar dengan buku-buku klasik Karl May keluaran tahun 70-an dengan kertas coklat beraroma khas. Melihat bagian tengahnya berlubang dan ada koloni rayap di dalamnya, membuat hati saya hancur. Saya merasa tak bisa menjaga warisan ayah saya. Karena itu sepertinya saya akan membuat lemari buku baru dari besi, biar rayap tak lagi bisa memamahnya.

Tapi semua pekerjaan malam hari itu seperti membawa cerita lain. Ketika saya memeriksa lembaran buku-buku John Grisham, saya menemukan sebuah kartu pos bergambar Masjid Agung Palembang terselip di antara buku The Chamber.

Tak ada tanggal yang tertera di kartu pos itu. Saya lalu bertanya pada mamak, tahun berapa kartu pos ini dikirim. Setelah mamak sedikit mengingat, rupanya kartu pos ini dikirim ayah pada awal tahun 1995. Waktu itu mamak sedang mengandung 5 bulan si anak bungsu, Shasa.


Mamak bercerita bahwa saat itu ayah ada keperluan dengan bekas mahasiswanya dulu. Ayah lantas mencari sang bekas mahasiswa dengan bekal sebaris alamat yang didapat dari bagian TU kampus. Ayah berhasil menemukan mahasiswa itu. Sang sarjana itu ternyata tinggal di sebuah daerah transmigrasi dengan lahan pertanian yang subur, di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Katanya keluarganya sudah sukses. Ayah mengenang bahwa saat itu jarak antar rumah bisa mencapai 5-10 km. Suasanaya sepi nan mencekam, apalagi kala malam datang.

Setelah urusannya selesai, ayah lantas diantar sang mahasiswa ke terminal. Di tengah perjalanan panjang menuju daerah kota, ayah membeli sebuah kartu pos. Lantas ditulisnya bahwa ayah sedang berada di Lubuk Linggau, dan mengingatkan kami untuk terus berpuasa. Kami yang dimaksud adalah saya dan kakak saya, Kiki. Kartu pos itu lantas dikirim ke SD kami. Sampai dengan selamat.

Saya tak pernah tahu keberadaan kartu pos ini hingga tadi malam. Ketika saya mengeluh karena rayap brengsek. Tak dinyana keluhan itu membawa saya pada sekeping kenangan kecil berwujud selembar kartu pos. Ternyata ayah setiap berpergian selalu mengirimkan kartu pos kerumah. Sekedar bukti kalau meski ia sedang jauh, ia selalu ingat rumah dan keluarga.

Aku rindu kamu ayah.

Semoga engkau baik-baik saja disana :)


Ditulis di rumah Nova, setelah minum STMJ bareng Gang Macan.
*Judul tulisan ini sedikit menyadur judul puisi Sapardi Djoko Damono, Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco.

5 komentar:

  1. hati saya bergetar membaca ini mas.. sumpah..!

    Nice post :)

    BalasHapus
  2. manis sekali, saya nangis baca ini.
    Semoga ayah mas nuran baik2 disana. amiin.

    BalasHapus
  3. nice posting mas...

    rada mellow..

    BalasHapus
  4. Akhirnya ketemu jg kartu pos yg bikin km penasaran :) syukur deh :D

    BalasHapus