Mungkin jika ada perlombaan perkawanan absurd, perkawananan saya dengan beberapa teman SMA bisa masuk nominasi pemenang. Ikatan yang sudah dimulai sedari 6 tahun silam, bisa jadi sangat kuat sekaligus rapuh di saat bersamaan. Dan kami semua yang membuat simpulnya, bersama-sama.
Jika ada orang tak mengenal kami, bisa jadi ia akan menduga bahwa kami bermusuhan. Pasalnya adalah cara berkomunikasi kami yang berbeda dengan ikatan perkawanan lain. Kalau beberapa orang bersahabat dengan cara saling mendukung, kami malah saling menghina. Jika beberapa orang bersahabat dengan cara saling memberikan kata pujian, kami malah mengobral semua kata-kata terkejam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Semua itu terbentuk secara alamiah di kala SMA. Hobi kami sudah saling menggojlok. Apa saja bisa dijadikan bahan gojlokan. Mulai disetrap, ditempeleng guru, mabuk yang kelewat batas, hingga kisah cinta. Kebiasaan itu berlanjut hingga sekarang. Kami masih tetap saling melontarkan hinaan hingga ke titik yang paling ekstrim.
Tapi semua tak pernah terjadi di dunia maya.
Entah kami harus berterima kasih atau memaki pada Mark Zuckerberg. Pria keriting ini menciptakan Facebook, yang tidak hanya menjadi jejaring sosial paling fenomenal, tapi juga bisa membuat kultur gojlokan diantara kami masih terus terpelihara, meski jarak memisahkan.
Awalnya kami semua sepakat kalau kebiasaan menggojlok itu tak dibawa hingga ke ranah maya. Cukup di dunia nyata saja. Hingga suatu saat Ade Defrizal menaut foto Eka Pradika. Foto itulah yang menjadi pemicu awal terseretnya kultur gojlokan menuju dunia maya. Dunia yang tidak memiliki aturan baku. Untuk kisah lengkap sejarah terseretnya kebiasaan gojlokan ke dunia maya, silahkan baca tulisan ini.
Gojlokan kami terus berlangsung. Saat itu tak ada yang mengumbar emosi. Saya yakin semua saling tertawa di depan komputer atau di depan layar handphonenya. Saya sangat yakin.
Sampai suatu saat saya mengunggah foto Rayis. Di foto yang sebenarnya biasa saja itu, saya menaut mantan pacar Rayis. Gerombolan penggojlok ini begitu bahagia dengan sang mantan yang membuka semua rahasia Rayis. Mereka memancing, sang mantan pacar menyaut umpan dengan ganas. Sekiranya sang mantan itu memang tipikal perempuan haus perhatian.
Rupanya Rayis tersinggung dengan guyonan di foto yang mencapai sekitar 300 komentar lebih itu. Singkat kata, Rayis menghapus beberapa orang dari daftar kawannya. Mulai saya, Ade, Nova, hingga Nyen. Hanya Fahmi yang tak dihapusnya, karena memang pria keling ini tak ikut menggojlok saat itu. Sayangnya, penghapusan kawan di dunia maya ini diikuti dengan penghapusan kata teman di dunia nyata. Rayis, pria kelahiran 1985 yang selalu dijadikan obyek gojlokan ini tak mau bertemu dengan kami.
Beberapa kali ditemui di tempat kerjanya, beberapa kali itu pula ia menolak menemui kami. Ya sudahlah, life must go on. Sejak saat itu, kami tak pernah bertemu lagi dengan Rayis. Tapi belakangan, Rayis mulai melunak. Dia sudah mau bertemu dengan Nova. Hanya ia masih belum mau ketemu dengan Saya dan Ade yang dianggap biang kerok semua penghinaan itu :D Lain kali saya akan datang sendiri dan meminta maaf sebagai lelaki :)
Gojlokan masih saja berlanjut. Temanya sebenarnya tak jauh-jauh dari masalah cinta ataupun fisik. Ade misalnya. Pria kurus ini adalah tipikal makanan empuk bagi para penggojlok. Semua hal pada dirinya bisa dijadikan bahan gojlokan. Mulai kisah cintanya yang bagai sinetron Raam Punjabi, masalah fisik, hingga beberapa kejadian konyol yang seperti karib baginya. Ditambah pula ia tak pernah marah, jadilah ia selalu dijadikan sasaran tembak bagi kami.
Lalu Fahmi. Kisah cintanya yang bisa dibilang mengenaskan, dijadikan santapan favorit bagi kami. Juga masalah fisik. Kulitnya yang keling --walau ia selalu menyangkalnya dengan menyebut dirinya berkulit sawo matang-- selalu saja dianggap sebagai guyonan yang tak ada habisnya. Sepertinya kami harus meminta maaf pada Nelson Mandela :D
Belum lagi Eka Pradika, yang akrab kami panggil dengan sebutan Dika. Kisah cintanya yang lucu dan selalu menimbulkan tawa, selalu berhasil dijadikan perangkap kematian bagi Dika. Jika kami sudah membahas mengenai prol tape, kutukan jomblo seumur hidup, atau kebiasaan Dika membuat "GR" para perempuan, tak pelak tawa akan tersembur dari mulut kami. Diikuti dengan makian tak beradab dari Dika tentunya.
Entah kenapa, hanya saya dan Nova yang jarang dijadikan obyek gojlokan. Meski bukan berarti tak pernah. Foto saya ketika tidur bertelanjang dada dan memamerkan perut yang gemblung, pernah ditaut pada Rina. Saya cuma bisa ketawa pahit sambil memikirkan rencana balas dendam pada Dika yang mengunggah foto candid itu :D
Belakangan, frekuensi gojlokan kami sudah semakin tak beraturan. Gojlokan diantara kami itu ibarat nasi untuk makan. Jika tak ada nasi, maka bisa dianggap kami tak makan. Tiap hari ada saja wall post, foto, atau status yang isinya menggojlok.
Dan sudah menjadi hukum rimba, bahwa semua yang tak beraturan lambat laun akan menimbulkan chaos. Itulah yang terjadi pada kami.
Gojlokan kami sudah tak lagi menjadi ranah privat, melainkan beralih ke ranah publik. Beberapa orang yang tidak begitu akrab dengan kami, ikut dijadikan sasaran gojlok. Sebut saja perempuan yang ditaksir Dika, pacarnya Ade, pacarnya Vicho, Rina, hingga yang terakhir: perempuan yang pernah membuat hatinya Nyen pecah tak berbentuk untuk pertama kalinya.
Chaos pun terjadi dalam beberapa variasi bentuk. Ada kemarahan menggumpal yang tak tersalurkan oleh perempuan yang ditaksir Dika. Kemarahannya tertuju kepada Ade yang telah menyinggungnya. Lalu Dika yang merasa peluangnya mendekati sang perempuan menjadi turun drastis, kesal pada Ade. Ade juga kesal pada Fahmi yang dianggapnya ikut campur urusan ini. Fahmi yang merasa maksudnya baik, jelas tak terima dan ikut kesal dengan Ade. Lalu masalah Ade dengan sang pacar yang melibatkan banyak pihak menjadi tambah panas gara-gara aku dan Nova menjadi kompor. Semua seperti merembet bagai besin pada api ketika pacarnya Vicho marah pada aku dan Nova gara-gara kami dianggap bermulut rusak (padahal dia sendiri yang memancing keributan). Semua berkelindan bagaikan gulungan mbako untuk rokok lintingan, ribet nan ruwet.
Kasus teranyar adalah Nyen. Pria berjuluk Wee Man ini merasa kaget ketika mengetahui Nova berteman dengan sang perempuan yang telah membuat lecet hatinya dulu. Perasaan sang Wee Man jadi tak enak. Dan dia menulis status dan pesan yang berisi keinginan untuk meremove saya dan Nova agar kami tak menggojloknya dengan melibatkan sang perempuan (walau penghapusan teman itu tak jadi. Dan status itu malah dijadikan ajang saling gojlok diantara kami semua, hahahaha).
Pernah ada adagium yang berbunyi: di abad media, citra adalah segalanya. Itu pula yang dialami Nyen. Setahun ia membangun citranya, tapi dalam sekejap hancur berantakan gara-gara gojlokan kami. Meski masih belum begitu jelas, ia membangun citra itu untuk sang perempuan "itu", ataukah ia membangun citra itu untuk semua orang, tak pandang bulu.
Setelah dipikir-pikir (telat amat mikirnya), memang gojlokan kami adalah tipikal image destroyer, sang penghancur citra. Semua kata-kata yang keluar dari bibir kami adalah racun adanya. Dan semua mengakui kalau tak ada racun yang baik. Kami kadang tak pernah berpikir kalau gojlokan kami bisa berpengaruh hingga ke dunia di luar dunia kami.
Kami memang terlalu asyik dengan dunia kami sendiri. Dunia buatan kami sendiri, yang membiarkan kami jadi apa yang kami mau, sejenak melupakan semua beban, tuntutan dan kewajiban untuk jadi dewasa. Dunia artifisial ini semacam jadi eskapis, tempat singgah dan pelarian sementara ketika semua hal di dunia nyata menjadi pahit dan memuakkan. Kami semua begitu mencintai dunia buatan ini. Kami seperti menertawai dunia dan merutuk seisi penghuninya, sembari berkata dengan jumawa, "why so serious, people!"
Tapi semua menjadi "salah" ketika kami membawa orang lain, orang yang tak terbiasa dengan kultur gojlokan kami yang keras, masuk ke dunia ini. Meski sebenarnya ia enggan. Itu kesalahan terbesar kultur gojlokan kami saat ini, menyeret orang lain yang tak berdosa :D
Tak usahlah saya bercerita mengenai kondisi persahabatan kami ketika kami sedang serius. Biar saja orang menganggap kami sekumpulan pria bermulut rusak, tak dewasa, dan tak tampak sebagai sahabat "sejati." Biar saja orang tahunya kami saling menjatuhkan. Juga biarkan mereka berpikir kalau kami tak saling mendukung. Biarkan saja. Karena apa yang kami alami dan kami perbuat, cukup kami saja yang tahu.
Melalui tulisan yang sama sekali bukan pledoi ini, saya dan teman-teman ingin meminta maaf kepada orang yang dengan sangat terpaksa terseret masuk ke dalam dunia buatan kami dan marah karenanya.
Selanjutnya...
Mari gojlok-gojlokan lagi! Hahahaha :D
Jika ada orang tak mengenal kami, bisa jadi ia akan menduga bahwa kami bermusuhan. Pasalnya adalah cara berkomunikasi kami yang berbeda dengan ikatan perkawanan lain. Kalau beberapa orang bersahabat dengan cara saling mendukung, kami malah saling menghina. Jika beberapa orang bersahabat dengan cara saling memberikan kata pujian, kami malah mengobral semua kata-kata terkejam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Semua itu terbentuk secara alamiah di kala SMA. Hobi kami sudah saling menggojlok. Apa saja bisa dijadikan bahan gojlokan. Mulai disetrap, ditempeleng guru, mabuk yang kelewat batas, hingga kisah cinta. Kebiasaan itu berlanjut hingga sekarang. Kami masih tetap saling melontarkan hinaan hingga ke titik yang paling ekstrim.
Tapi semua tak pernah terjadi di dunia maya.
Entah kami harus berterima kasih atau memaki pada Mark Zuckerberg. Pria keriting ini menciptakan Facebook, yang tidak hanya menjadi jejaring sosial paling fenomenal, tapi juga bisa membuat kultur gojlokan diantara kami masih terus terpelihara, meski jarak memisahkan.
Awalnya kami semua sepakat kalau kebiasaan menggojlok itu tak dibawa hingga ke ranah maya. Cukup di dunia nyata saja. Hingga suatu saat Ade Defrizal menaut foto Eka Pradika. Foto itulah yang menjadi pemicu awal terseretnya kultur gojlokan menuju dunia maya. Dunia yang tidak memiliki aturan baku. Untuk kisah lengkap sejarah terseretnya kebiasaan gojlokan ke dunia maya, silahkan baca tulisan ini.
Gojlokan kami terus berlangsung. Saat itu tak ada yang mengumbar emosi. Saya yakin semua saling tertawa di depan komputer atau di depan layar handphonenya. Saya sangat yakin.
Sampai suatu saat saya mengunggah foto Rayis. Di foto yang sebenarnya biasa saja itu, saya menaut mantan pacar Rayis. Gerombolan penggojlok ini begitu bahagia dengan sang mantan yang membuka semua rahasia Rayis. Mereka memancing, sang mantan pacar menyaut umpan dengan ganas. Sekiranya sang mantan itu memang tipikal perempuan haus perhatian.
Rupanya Rayis tersinggung dengan guyonan di foto yang mencapai sekitar 300 komentar lebih itu. Singkat kata, Rayis menghapus beberapa orang dari daftar kawannya. Mulai saya, Ade, Nova, hingga Nyen. Hanya Fahmi yang tak dihapusnya, karena memang pria keling ini tak ikut menggojlok saat itu. Sayangnya, penghapusan kawan di dunia maya ini diikuti dengan penghapusan kata teman di dunia nyata. Rayis, pria kelahiran 1985 yang selalu dijadikan obyek gojlokan ini tak mau bertemu dengan kami.
Beberapa kali ditemui di tempat kerjanya, beberapa kali itu pula ia menolak menemui kami. Ya sudahlah, life must go on. Sejak saat itu, kami tak pernah bertemu lagi dengan Rayis. Tapi belakangan, Rayis mulai melunak. Dia sudah mau bertemu dengan Nova. Hanya ia masih belum mau ketemu dengan Saya dan Ade yang dianggap biang kerok semua penghinaan itu :D Lain kali saya akan datang sendiri dan meminta maaf sebagai lelaki :)
Gojlokan masih saja berlanjut. Temanya sebenarnya tak jauh-jauh dari masalah cinta ataupun fisik. Ade misalnya. Pria kurus ini adalah tipikal makanan empuk bagi para penggojlok. Semua hal pada dirinya bisa dijadikan bahan gojlokan. Mulai kisah cintanya yang bagai sinetron Raam Punjabi, masalah fisik, hingga beberapa kejadian konyol yang seperti karib baginya. Ditambah pula ia tak pernah marah, jadilah ia selalu dijadikan sasaran tembak bagi kami.
Lalu Fahmi. Kisah cintanya yang bisa dibilang mengenaskan, dijadikan santapan favorit bagi kami. Juga masalah fisik. Kulitnya yang keling --walau ia selalu menyangkalnya dengan menyebut dirinya berkulit sawo matang-- selalu saja dianggap sebagai guyonan yang tak ada habisnya. Sepertinya kami harus meminta maaf pada Nelson Mandela :D
Belum lagi Eka Pradika, yang akrab kami panggil dengan sebutan Dika. Kisah cintanya yang lucu dan selalu menimbulkan tawa, selalu berhasil dijadikan perangkap kematian bagi Dika. Jika kami sudah membahas mengenai prol tape, kutukan jomblo seumur hidup, atau kebiasaan Dika membuat "GR" para perempuan, tak pelak tawa akan tersembur dari mulut kami. Diikuti dengan makian tak beradab dari Dika tentunya.
Entah kenapa, hanya saya dan Nova yang jarang dijadikan obyek gojlokan. Meski bukan berarti tak pernah. Foto saya ketika tidur bertelanjang dada dan memamerkan perut yang gemblung, pernah ditaut pada Rina. Saya cuma bisa ketawa pahit sambil memikirkan rencana balas dendam pada Dika yang mengunggah foto candid itu :D
Belakangan, frekuensi gojlokan kami sudah semakin tak beraturan. Gojlokan diantara kami itu ibarat nasi untuk makan. Jika tak ada nasi, maka bisa dianggap kami tak makan. Tiap hari ada saja wall post, foto, atau status yang isinya menggojlok.
Dan sudah menjadi hukum rimba, bahwa semua yang tak beraturan lambat laun akan menimbulkan chaos. Itulah yang terjadi pada kami.
Gojlokan kami sudah tak lagi menjadi ranah privat, melainkan beralih ke ranah publik. Beberapa orang yang tidak begitu akrab dengan kami, ikut dijadikan sasaran gojlok. Sebut saja perempuan yang ditaksir Dika, pacarnya Ade, pacarnya Vicho, Rina, hingga yang terakhir: perempuan yang pernah membuat hatinya Nyen pecah tak berbentuk untuk pertama kalinya.
Chaos pun terjadi dalam beberapa variasi bentuk. Ada kemarahan menggumpal yang tak tersalurkan oleh perempuan yang ditaksir Dika. Kemarahannya tertuju kepada Ade yang telah menyinggungnya. Lalu Dika yang merasa peluangnya mendekati sang perempuan menjadi turun drastis, kesal pada Ade. Ade juga kesal pada Fahmi yang dianggapnya ikut campur urusan ini. Fahmi yang merasa maksudnya baik, jelas tak terima dan ikut kesal dengan Ade. Lalu masalah Ade dengan sang pacar yang melibatkan banyak pihak menjadi tambah panas gara-gara aku dan Nova menjadi kompor. Semua seperti merembet bagai besin pada api ketika pacarnya Vicho marah pada aku dan Nova gara-gara kami dianggap bermulut rusak (padahal dia sendiri yang memancing keributan). Semua berkelindan bagaikan gulungan mbako untuk rokok lintingan, ribet nan ruwet.
Kasus teranyar adalah Nyen. Pria berjuluk Wee Man ini merasa kaget ketika mengetahui Nova berteman dengan sang perempuan yang telah membuat lecet hatinya dulu. Perasaan sang Wee Man jadi tak enak. Dan dia menulis status dan pesan yang berisi keinginan untuk meremove saya dan Nova agar kami tak menggojloknya dengan melibatkan sang perempuan (walau penghapusan teman itu tak jadi. Dan status itu malah dijadikan ajang saling gojlok diantara kami semua, hahahaha).
Pernah ada adagium yang berbunyi: di abad media, citra adalah segalanya. Itu pula yang dialami Nyen. Setahun ia membangun citranya, tapi dalam sekejap hancur berantakan gara-gara gojlokan kami. Meski masih belum begitu jelas, ia membangun citra itu untuk sang perempuan "itu", ataukah ia membangun citra itu untuk semua orang, tak pandang bulu.
Setelah dipikir-pikir (telat amat mikirnya), memang gojlokan kami adalah tipikal image destroyer, sang penghancur citra. Semua kata-kata yang keluar dari bibir kami adalah racun adanya. Dan semua mengakui kalau tak ada racun yang baik. Kami kadang tak pernah berpikir kalau gojlokan kami bisa berpengaruh hingga ke dunia di luar dunia kami.
Kami memang terlalu asyik dengan dunia kami sendiri. Dunia buatan kami sendiri, yang membiarkan kami jadi apa yang kami mau, sejenak melupakan semua beban, tuntutan dan kewajiban untuk jadi dewasa. Dunia artifisial ini semacam jadi eskapis, tempat singgah dan pelarian sementara ketika semua hal di dunia nyata menjadi pahit dan memuakkan. Kami semua begitu mencintai dunia buatan ini. Kami seperti menertawai dunia dan merutuk seisi penghuninya, sembari berkata dengan jumawa, "why so serious, people!"
Tapi semua menjadi "salah" ketika kami membawa orang lain, orang yang tak terbiasa dengan kultur gojlokan kami yang keras, masuk ke dunia ini. Meski sebenarnya ia enggan. Itu kesalahan terbesar kultur gojlokan kami saat ini, menyeret orang lain yang tak berdosa :D
Tak usahlah saya bercerita mengenai kondisi persahabatan kami ketika kami sedang serius. Biar saja orang menganggap kami sekumpulan pria bermulut rusak, tak dewasa, dan tak tampak sebagai sahabat "sejati." Biar saja orang tahunya kami saling menjatuhkan. Juga biarkan mereka berpikir kalau kami tak saling mendukung. Biarkan saja. Karena apa yang kami alami dan kami perbuat, cukup kami saja yang tahu.
Melalui tulisan yang sama sekali bukan pledoi ini, saya dan teman-teman ingin meminta maaf kepada orang yang dengan sangat terpaksa terseret masuk ke dalam dunia buatan kami dan marah karenanya.
Selanjutnya...
Mari gojlok-gojlokan lagi! Hahahaha :D
Arjasa, 3 April 2011
Sembari mendengarkan derap barisan pasukan hujan di luar sana
: deras
Sembari mendengarkan derap barisan pasukan hujan di luar sana
: deras
Tidak ada komentar:
Posting Komentar