Kamis, 05 Februari 2015

Tentang Bagaimana Merusak Hari dan Membuatnya Indah Lagi

Rusaknya hari yang indah bisa terjadi dengan mudah dan tiba-tiba.

Pagi tadi cuaca mendung, tapi tidak hujan. Menyenangkan. Terik tidak, hujan pun tidak. Suasana sepoi.

Menjelang siang, seperti biasa, perut keroncongan. Niatnya mau pergi ke warung langganan di Cikini IV. Bagi yang belum tahu, di sana ada warung pinggir langganan saya. Saya sebut warung pinggir, bukan warteg, karena memang ini warung di pinggir jalan. Bukan bangunan permanen. Hanya ada terpal berwarna biru tua, beberapa meja yang sudah dilapisi alas, serta tiga kursi panjang.

Meski warungnya tampak sederhana, masakan empunya begitu dahsyat. Pertama kali dikasih tahu Putra tentang warung ini, saya sudah jatuh cinta dengan masakannya.

Pemiliknya, sekaligus juru masak, adalah seorang ibu paruh baya asal Jawa Timur. Masakannya pun tak lepas dari gagrak Jawa Timuran. Nasi pecelnya pedas, namun tak galak-galak amat. Bisa diterima oleh orang-orang Jakarta yang sepertinya lebih suka pecel yang sedikit manis.

Rawonnya, hitam pekat seperti malam tanpa cahaya. Dengan potongan daging dan kecambah yang generous. Rawon dan pecelnya selalu jadi rekomendasi saya kalau ada orang yang bertanya mana rawon dan pecel yang Jawa Timuran.

Di luar menu andalan itu, si Ibu jual banyak makanan ala rumahan. Mulai rempela ati masak kecap, tongkol bumbu merah, tempe orek, telur dadar, sampai oseng usus. Nah, makanan yang disebut terakhir ini yang bikin saya penasaran. Terakhir saya makan di warung tanpa nama ini, seorang pengendara motor datang.

"Ususnya masih ada? Bungkus dong, gak usah pake nasi."

Bagi saya, lauk yang membuat orang rela membungkus tanpa nasi, berarti lauk itu spesial. Titik.

Karena itu, menjelang berangkat ke warung siang tadi, bayangan nasi putih yang hangat mengepul, oseng usus, dan telur dadar penuh cacahan bawang daun, membayang di pikiran. Maka berangkatlah saya dengan semangat.

Sampai di sana, saya kaget. Bangunan semi permanen itu sudah tak ada. Di kursi panjang, saya lihat si Ibu duduk-duduk santai. Ada mendung di wajahnya. Melihat saya datang, ia senyum. Pahit.

"Libur dulu mas. Lagi ada pembersihan."

"Waduh, sudah mulai kapan Bu?

"Ya sudah semingguan lah."

Katanya mereka berjualan lagi menunggu suasana aman dulu. Ini membuat suasana semakin terasa menyedihkan. "Menunggu suasana aman" ini seperti menunggu Godot. Bisa besok. Bisa lusa. Bisa seminggu lagi. Bisa setahun lagi. Siapa yang tahu?

Saya memutar haluan dengan perasaan kecewa. Juga sedih. Seminggu mereka libur jualan, mereka makan apa? Sepertinya terpaksa membongkar tabungan. Uang simpanan mereka cukup untuk berapa hari? Membayangkan peristiwa ini, membuat hari yang sebelumnya menyenangkan, jadi rusak berantakan.

Iya, sesederhana itu cara merusak sebuah hari yang indah.

Di tengah jalan, saya ingat ada sebuah warung Tegal yang lokasinya di pengkolan Jalan Probolinggo. Warungnya berada di bangunan yang semi permanen, cuma kondisinya lebih baik. Lantainya disemen.

Saya memutuskan untuk mampir ke sana.

Laiknya warung Tegal kebanyakan, lauknya beragam. Sejenak melongok, saya melihat opor ayam, telur dadar, telur balado, rempela hati masak kecap, tempe dan tahu goreng, juga beraneka sayuran. Mulai sayur toge, urap, bayam, oseng kacang panjang, hingga sayur labu

 Tapi satu yang membuat saya tertarik. Ikan dalam genangan kuah berwarna kuning pucat, bersantan, dengan lingkaran minyak, plus irisan cabai yang mengambang. Lengkap dengan potongan petai yang hijau menggoda. 

"Ini apa bu?" tanya saya.

"Ikan asap."

Dengan kompulsif, saya menunjuk lauk itu. Untuk teman baiknya, saya pilih sayur labu. Suapan pertama, jreng! Saya terkejut. Rasa ikan asap yang dibanjur kuah bersantan ini melampaui ekspektasi saya.

Ini ikan asap --saya menduga ini ikan pe-- dengan kuah mangut ala Pantura. Pedasnya tegas. Bisa bikin berkeringat, tapi juga menambah nafsu makan. Tak perlu waktu lama bagi saya untuk menandaskan sepiring nasi dengan ikan asap dan sayur labu itu. Saat membayar, saya tersenyum senang. Total kerusakan cuma Rp 10 ribu. Sepertinya saya akan sering ke sini.

Dan, sesederhana ini pula, cara mengembalikan hari yang terlampau rusak, menjadi hari yang kembali menyenangkan. []

2 komentar:

  1. Wah nduk endi iki cak? tulisanmu jan nyampleng tenan koyo ikan asapmu kuwi ha ha

    BalasHapus
  2. Mas, bolehlah kamu nulis tentang kuliner pinggiran macam ini lagi di Jakarta Raya sana Mas, siapa tahu bisa dijadikan acuan. :))

    BalasHapus