Senin, 02 Februari 2015

Dua Toko Kaset Terakhir di Kota Jember

Beberapa hari lalu, saat pulang ke Jember, saya menyempatkan mampir ke toko kaset Melody dan Metal.

Itu adalah dua toko kaset yang tersisa di Jember. Saat masa jaya kaset, ada banyak sekali toko kaset di Jember. Tapi yang paling terkenal ada tiga: Pinokio, Metal, dan Melody. Uniknya, ketiga toko kaset ini berada dalam ruas jalan yang sama.

Saya pertama mampir ke Melody. Toko ini pernah jadi toko kaset terbesar di Jember. Berdiri sejak 1986, toko ini berdiri dengan modal yang besar. Karena itu bisa sangat ekspansif. Semasa masih laris, Melody sampai punya tiga cabang. Salah satunya ada di Johar Plaza Jember, atau orang Jember menyebutnya sebagai Matahari.

Saya membayangkan koleksi kaset Melody masih banyak. Sewaktu terakhir berkunjung ke sini tahun 2010-an, koleksi kasetnya masih banyak. Sayang, harganya masih tetap normal. Saya sebagai mahasiswa tak bisa belanja sesuka hati.

Sebelum datang ke Melody, saya sudah membayangkan kaset-kaset yang akan saya borong. Warrant. Bon Jovi. Cinderella. Steelheart. The Black Crowes. Wah, saya gembira.

Tapi kecewa segera datang karena ternyata Melody sudah tak jual kaset lagi.

Melody Kini: Nyaris nihil kaset

"Itu tinggal yang ada di sana," ujar Cik Linda, pemilik Melody, sembari menunjuk rak di ujung toko.

Buyar semua bayangan kaset yang akan saya beli. Dengan langkah gontai saya berjalan ke pojokan. Melewati beberapa tape deck dan headsetnya. Dulu, ada banyak orang duduk di kursi dan mencoba kaset sembari mengangguk-anggukkan kepala.

Koleksi kaset Melody tinggal beberapa ratus. Jauh menurun ketimbang dulu yang mencapai ribuan kaset. "Dulu karena saya distributor Billboard, saya setiap tahun diundang ke acara penghargaan musik di Jakarta," kata Cik Linda.

Saya melongok kaset yang tersisa. Ada Mike Tramp, albumnya Remembering White Lion. Sama sekali tak menarik. Ada pula kaset Greatest Hits Blondie, saya sudah punya, mengambil dari koleksi kaset Mas Taufiq beberapa tahun silam.

Sempat mau mengambil kaset Tracy Chapman, mata saya terbentur oleh kaset berwarna biru pucat, dengan garis kuning di pinggir kiri.

To Records Only Water for Ten Days by John Frusciante.

Saya akhirnya mengambil kaset ini. Saya suka John Frusciante, tentu karena karya-karyanya bersama Red Hot Chili Peppers. Beberapa kali saya mendengarkan proyek solonya. Cukup menyenangkan didengar, walau tak sampai meninggalkan kesan mendalam.

Di kasir, saya sempat ngobrol dengan Cik Linda yang turun tangan langsung. Cik Linda, yang merupakan generasi kedua pemilik toko, adalah orang yang ramah. Ia selalu menyiapkan air mineral gelas dan sekantung permen untuk para pembeli.

"Sekarang omzet jauh menurun. Sekarang tinggal 25 persen saja," kata Cik Linda.

Saya membayangkan di masa kejayaan Melody. Andai toko ini beromzet Rp 10 juta per bulan, sekarang hanya mendapat Rp 2,5 juta per bulan. Berat sekali memang. Ini berpengaruh besar pada jumlah karyawan yang ia punya.

"Dulu ada lima karyawanku, sekarang cuma dua," katanya.

Sekarang Melody banyak menjual CD dan VCD original. Walau koleksinya juga tak terlalu mengagumkan. Pembelinya adalah orang-orang bermobil yang masih setia memutar cakram di dalam mobil. Selain itu, kaset-kaset pengajian dan burung berkicau juga masih lumayan laris. Malah menempati rak paling depan di dalam toko.

"Sudah lama mau ganti bisnis, tapi masih terkendala modal," kata Cik Linda.

Saya sempat menanyakan apakah ia menjual Walkman, ternyata ia sudah tak ada. Dulu Walkman adalah salah satu barang yang laris manis di Melody.

"Coba kamu ke Metal, siapa tahu ada," ujar Cik Linda.

Saya menyebrang jalan. Iya, Melody dan Metal memang cuma dipisah seruas jalan saja. Benar-benar berhadapan. Tapi setahu saya mereka tak pernah saling sikut.

Metal dimiliki oleh satu keluarga besar Tionghoa. Selain kaset, mereka juga membuka usaha fotografi dengan nama yang sama. Usaha fotografinya cenderung tahan lama. Sampai sekarang masih ada dan tetap besar. Tokonya pas di samping Melody.



Metal sudah banyak berubah. Dulu toko ini mentereng dengan cat warna putih yang cemerlang, dan papan nama besar berlampu neon. Sekarang, cat pudar dan lampu neon sudah lama mati. Temboknya pun dimamah lumut.

Om Willy, pemiliknya, adalah satu-satunya karyawan yang tersisa. Ia menyilahkan saya melihat kaset-kaset yang tersisa.

"Masuk ae, lihat-lihat," ajaknya sembari membuka pintu.

Koleksi kaset Metal sekarang jauh lebih sedikit ketimbang Melody. Dulu, Metal sempat berjaya. Maklum, toko kaset ini pecahan dari toko kaset yang lebih lama, Pinokio.  Toko kaset itu sudah ada sejak tahun 70-an. Bisa dibilang toko kaset pertama di Jember. Nama awalnya adalah Maranz. Entah kenapa diubah jadi Pinokio.

Pinokio merupakan tempat bersejarah bagi saya. Masih lekat dalam ingatan, sepulang dari Johar Plaza, kami sekeluarga berjalan kaki. Saya melihat poster promo album Pandawa Lima milik Dewa 19. Beberapa malam sebelumnya, saya melihat video klip "Kirana" yang tampak aneh, sekaligus mengagumkan. Musiknya enak.

Saya meminta kaset itu, dan ayah dengan senang hati mengabulkannya. Jadilah Pandawa Lima sebagai kaset pertama yang saya punya.

Tapi Pinokio lantas pecah kongsi. Om Willy akhirnya mendirikan toko kaset baru, Metal pada tahun 1983. Pinokio sendiri lebih dulu menemui ajal. Ia bangkrut sekitar 3-4 tahun lalu.

Saya menengok koleksi kaset di rak Metal. Tak ada yang istimewa. Ada beberapa album Blur, Muse, Radiohead, tapi tak saya ambil karena bukan favorit saya. Plus, saya sudah punya beberapa album mereka. Hasil merampok mas Taufiq. Hehe.

Lalu ada pula kaset-kaset Senam Kesehatan Jasmani. Saya sempat tergoda membelinya karena pernah membaca tulisan mas Budi Warsito soal kaset senam ini. Dalam tulisan itu, seakan-akan lagu senam zaman Orde Baru ini begitu menghipnotis dan membuat kita otomatis bersemangat.

Tapi saya ternyata tak sehipster mas Budi, jadinya batal membeli kaset ajaib ini.

Pilihan akhirnya diputuskan sewaktu melihat kaset Native Tongue milik Poison. Ini album keren. Kebetulan saya belum punya kaset ini. Langsung saja saya sambar.

Saat mau membayar, lha kok ndilalah saya lihat album Permission to Land-nya The Darkness. Ini album yang menyelamatkan rock n roll di awal tahun 2000. Iya, album ini. Bukan album Is This It milik The Strokes yang biasa saja itu.

Akhirnya saya beli dua album itu. Harganya masih harga lama. Native Tongue dihargai Rp 19 ribu, Permission to Land Rp 23 ribu. Lebih murah ketimbang harga kaset di Melody.

Selepas membayar, saya sempat menengok bagian dalam Metal. Bagian kanan toko, yang dulu dipenuhi kaset lintas genre, kini dipenuhi oleh pigura foto dan kardus-kardus berisi pigura dan album foto.

"Ya sekarang lebih banyak bantu-bantu kakak di studio foto sih," kata Om Willy.

Saya tak pernah membayangkan bisa menjadi saksi surutnya sebuah kebudayaan, sebuah cara menikmati musik. Iya surut, bukan mati total. Di Jakarta, kini sedang demam mendengarkan kaset kembali. Tata niaga kaset bekas kembali menggeliat. Beberapa band bawah tanah juga mulai kembali merilis album dalam bentuk kaset. Walau dalam skala kecil.

Tapi di Jember, kota kecil berjarak ratusan kilometer dari Jakarta, mendengarkan musik melalui kaset sepertinya sudah akan menemui ujungnya. Gaung bangkitnya kaset di Jakarta, seperti tak terdengar di sini.

Melody dan Metal kini seperti sedang menghela satu-dua napas terakhir. Sebelum akhirnya menunduk kalah dan menutup tirai. []

9 komentar:

  1. saya belum pernah mampu beli walkman, salah satu benda yg sedari dulu saya ingin punyai :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekarang murah sih mas. Merk Sony, yang second, itu kisaran 200-300 ribu. Hehehe,

      Hapus
  2. Selera lah, bebas. Tapi perlu diketahui Is This It itu impactnya besar loh, gerakan garage rock revival itu sampai ke Indonesia, melahirkan The Brandals dan The S.I.G.I.T , melahirkan banyak band garage rock di Surabaya dan Malang. Biasa saja chordnya, tapi atmosfirnya itu yang ga biasa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eruh kok Fan nek pengaruhe Is This It besar. Iku gak iso dipungkiri. Tapi gerakan revival revival iki nek jareku overated. Segala macam revival,

      Lagian menurutku album Permisson to Land iki solid banget, dan attitude british bollock dari The Darkness iki sing bikin album makin yahud.

      Oh ya, soal Is This It nang tulisan, iku mocking konco2 Jakartabeat kok :D

      Hapus
  3. Senasib dengan Aquarius Bandung yang tutup beberapa tahun kemaren. Selepas sekolah hari jumat biasanya saya mampir ke Dago untuk cari cari kaset.

    Kaset pertama yang saya beli sedikit mengecewakan untuk diingat ingat, yaitu "New Kids On The Block" karena keracunan teman teman SD. alhamdulillah saya "diselamatkan" kakak yang melihat saya hampir terjerumus dengan dengan membelikan kaset appetite for distruction GNR.

    duh kangen beli kaset terus buka cover albunya dan membaca "thanks to" nya. hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehehe. Untung lah sempet mendengarkan Appetite for Destruction :D Iya mas Philardi, yang paling menyenangkan dari denger kaset itu baca liner notes di sampul kasetnya. Hehehe

      Hapus
  4. Semuanya hanya tinggal kenangan

    BalasHapus