Rabu, 25 Desember 2013

Gita Wiryawan Yang Serupa Sisifus

"[...] manusia terlalu sering bertepuk sebelah tangan."

Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia

***

Saya pikir kutipan Pram itu tak akan pernah dikutip sampai kapanpun. Terutama karena ia kalah dengan kutipan-kutipan Pram yang lain. Yang jauh lebih mahsyur. Juga yang lebih menggugah semangat.

Tapi ternyata akhirnya saya kutip juga. Itu karena saya ingat tentang Gita Wiryawan. Sebelum anda membaca lebih lanjut, perlu diketahui ini bukan Gita Wirjawan yang menteri dan berparas rupawan itu. Ini adalah Gita lain, yang beda nasib. Juga beda tampang, tentu saja. Jadi kalau anda mengira ini tulisan tentang si tampan, anda salah. Ini tulisan tentang si Gita yang tak tampan --karena buruk rupa terlalu kasar.

Tak tampan kan?

Saya tak pernah menyangka bisa berkawan dengan pria keling asal Purwokerto ini. Sebelumnya saya hanya mengenalnya sebagai kawan dari Prima. Prima Sulistya, perempuan yang saya kenal dari Ekspresi, Unit Kegiatan Mahasiswa asal Universitas Negeri Yogyakarta.

Namun ternyata saya bisa juga bertemu dengan Gita. Saat itu Yogyakarta baru saja diguyur hujan deras hingga sore. Saya menjemput Gita di depan Universitas Pembangunan Nasional. Ia bilang ingin menginap di kontrakan saya sehabis kemping bersama kawan-kawannya di sebuah pantai.

"Halo mas, akhire ketemu pisan," ujar Gita sembari cengengesan. Quite impressive. Karena ia sedikit membuyarkan pandangan saya tentangnya.

Di blognya, ia sering menulis hal-hal yang serius dan reflektif. Seakan ia adalah pria yang bijak bestari. Mungkin karena itu pengaruh dari buku-buku yang ia baca. Ia suka Pram. Sering mengutip Nietzsche. Tak jarang berkisah tentang Albert Camus. Sesekali menyitir Pablo Neruda. Juga mengkoleksi buku Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad. Tak heran, beberapa tulisannya sedikit bernafas GM. Reflektif, mengajak merenung, walau sebenarnya tak jelas juga apa yang harus direnungkan.

Saya dan Gita cukup dekat. Parameter yang saya gunakan adalah bisa gojlok-gojlokan hingga sangat parah. Ia bahkan dengan kurang ajar menuliskan wawancara fiktif dengan saya. Untungnya, sampai saat ini, kami belum pernah tersinggung satu sama lain. Ini adalah salah satu parameter lain yang saya gunakan untuk menggambarkan kedekatan hubungan.

Blognya pula yang membuat saya sedikit salah sangka terhadap Gita.

Saya adalah salah satu orang yang percaya bahwa orang yang pandai menulis pasti punya banyak fans. Baik laki atau perempuan. Dalam bayangan saya, Gita adalah salah satu orang yang termasuk golongan itu. 

Itu karena blog Gita begitu memukau. Alamatnya saja gagah: redemptionsoldier. Tentara penebus? Atau tentara penyelamat? Terdengar gagah, revolusioner, sekaligus heroik. Tagline blognya pun sangat filosofis: Dumadi, karena hidup adalah sebuah proses menuju jadi. Wow! 

Karena blognya itu, saya selalu membayangkan Gita adalah orang yang kalau berjalan selalu mendongakkan dagu dengan angkuh; lengkap dengan pelayan yang melempar flower confetti dari belakang; sibuk menanda tangani ini dan itu; dan yang pasti: ripuh menolak para perempuan yang menangis-nangis minta diterima cintanya.

Ternyata saya salah besar. Sangat teramat besar.

Gita ternyata sering ditolak!

Awalnya saya tak pernah tahu kisah cintanya. Tapi Gita adalah tipikal orang yang suka bercerita tanpa harus diminta. Andreas Rossi, kawan baiknya, juga menceritakan tabiat Gita itu.

Tak jarang, tanpa aba-aba atau pertanda, Gita sering bercerita tentang kisah cintanya yang pedih. Dari perempuan yang ditaksirnya tapi masih cinta sama mantan; hingga kolega satu kampus yang akhirnya menerima cinta orang lain, padahal Gita sudah menunjukkan tanda-tanda.

Gita tak tahu, atau belum tahu, bahwa perempuan tak butuh pertanda. Perempuan hanya butuh kepastian. Bersikap manis belaka tak akan membuatmu cintamu otomatis bersambut. Apalagi kalau kamu tak setampan Brad Pitt, sekaya Bill Gates, atau seromantis Don Juan.

Boleh saja kamu pintar setinggi langit, tapi tanpa bisa memperlakukan perempuan dengan baik dan pantas, kamu tetap akan sendiri dan menggigit jari.

Awalnya tentu saya tak ada keinginan untuk menggojloki Gita tentang kisah cintanya. Tapi toh itu terjadi juga. Salahkan wajah dan tingkah laku Gita yang dengan kuat menguarkan aura minta digojloki. Saya tak sendiri dalam merasakan hal ini.

Panjul, kawan saya yang sering ditulis di blog ini juga, turut merasakan aura yang sama. Ia termasuk salah satu dalam rombongan kereta penggojlok Gita.

Bagaimana tidak ingin menggojlok. Seperti misalnya, tanpa gelagat, suatu malam Gita tiba-tiba mengirimkan capture gambar perempuan yang menolak cintanya. Bahkan orang yang pemalu sekalipun akan menertawainya keras-keras. 

Pernah pula, suatu hari Gita mengirimkan kabar kalau ia akan ke Jakarta. Karena kebetulan saya sedang berada di Jakarta waktu itu, kami mengadakan janji ketemu.

Saya berpikir Gita ada urusan yang genting sampai rela datang ke Jakarta. Bagi yang belum tahu, Gita, lulusan Sekolah Tinggi Akutansi Negara, ini dinas di Bangko, Jambi. 

Ternyata Gita datang hanya untuk menagih kepastian kepada seorang perempuan yang ia taksir. Juancuk!

"Aku gak nembak mas, dia sudah balikan sama mantannya," kata Gita melas sembari menenggak sebotol bir yang sepertinya juga eneg mendengar cerita cinta pahit ala Gita.

Ingin rasanya saya memasukkan Gita ke tong sampah dan membuangnya jauh-jauh ke Kali Ciliwung. Biar ia mati dimakan ikan mutan hasil evolusi genetik dari limbah pabrik.

Bagaimana mungkin, seorang pria datang, membelah lautan, melintas pulau, hanya untuk menerima kenyataan bahwa gadis idamannya telah balikan dengan mantan.

Oke, balikan dengan mantan adalah satu perkara yang lain. Yang bikin saya kesal adalah Gita sama sekali tak menyatakan perasaannya. Sama sekali!

Mungkin Gita menganggap semua perempuan bisa membaca isi hatinya. Atau tepatnya, harus bisa membaca isi hatinya. 

Malam itu Gita menghabiskan botol dua bir. Juga kenyang oleh makian dan gojlokan dari saya dan Andre --ia menyebut Gita sebagai fosil-- yang menemaninya patah hati di pojokan sebuah minimarket di Jakarta Selatan. Menjelang subuh, Gita tertidur. Saya melihat ada setetes air mata di ujung pelupuk. Komikal sekali.

Tapi berkat itu, akhirnya saya tahu bahwa Gita adalah tipe-tipe pria masokis. Pria yang suka sekali tersiksa dan tersakiti. Tandanya jelas, ia suka sekali mengulang hal yang sama --menyukai perempuan tanpa harus memberi kepastian-- hanya untuk berakhir dengan ratapan saat perempuan yang ia sukai berlabuh pada pria lain.

Gita juga tipikal pria yang susah dipegang janjinya kalau menyangkut soal perempuan. Ia pernah, dengan gagah, berkata pada saya kalau ia tak akan lagi berhubungan dengan perempuan-perempuan yang menyakitinya. 

Awalnya ia membuktikan dengan menulis tulisan-tulisan reflektif dan GM-esque (ini, ini, dan ini), tentang rasa cinta yang bertepuk sebelah tangan. Juga tentang rasa pedih yang ia rasa. Lengkap dengan keinginan untuk mengucap selamat tinggal dan berpisah jalan.

Namun tak berapa lama kemudian, ya sudah bisa ditebak, Gita berkomunikasi lagi dengan perempuan-perempuan itu. Dasar masokis!

Tapi masalahnya adalah: Gita sepertinya menyukai tokoh Sisifus. Tokoh ini adalah tokoh yang dikutuk untuk mendorong batu menuju puncak bukit, hanya untuk menyaksikan batunya meluncur ke bawah. Lalu ia dengan santai mendorong lagi batunya. Begitu terus hingga akhirnya dunia kiamat.

Gita sepertinya terkesan dengan absurdisme macam itu. Karena itu Gita terus melakukan hal yang sama. Hanya untuk apa? Disakiti lagi, dan lagi. Toh Gita menganggapnya sebagai hal yang menyenangkan.

Menukil Pram kembali, manusia memang terlampau sering bertepuk sebelah tangan. Gita adalah salah satu perwujudan yang paling hakiki dari manusia jenis itu.  Tak bisa dibantah. Absolut.

Namun toh Gita menganggap dirinya adalah Sisifus. Bisa apa kita kalau ia menyukai rasa sakitnya yang --saya pikir-- sia-sia belaka. 

Namun semoga ia tak menganggap hidup dan kisah percintaannya adalah perulangan basi dari sesuatu bernama kegagalan. Karena ia pernah menulis, "...Sisifus merupakan pengingat bahwa hidup sejatinya adalah repetisi atas sebuah kegagalan." Gelap dan kelam sekali.

Semoga saja tak selamanya begitu, Git. []

Post-scriptum: note pendek ini saya buat karena ternyata Gita membagi tanggal lahir yang sama dengan ibu saya. Gita juga sering merengek minta ditulis. Ya sudah saya tuliskan ini saja. Semoga berkenan Git. Ayo ditolak lagi! Eh salah, maksud saya, ayo berusaha lagi mencari cinta! Ya meskipun nanti akhirnya ditolak juga sih...

6 komentar:

  1. tulisan ini memperkuat dugaan saya bahwa mas gita memang sering ditolak wanita. wiww, semoga selalu tabah :p

    BalasHapus
  2. wih bangko ya, kota kecil di jambi dulu saya menghabiskan masa kecil, juga kota yang gak akan pernah terlupa karena disanalah perempuan paling agung bersemayam dalam tidur damainya.

    Tulisan yang keren cuk seperti biasa, salam knal om Gita..

    BalasHapus
  3. Huah menarik, kenalin donk dengan Gita Wirjawan yang satu ini. Beneran serius! :D

    BalasHapus
  4. sebagai orang yg tanggal lahirnya sama ama Gita, aku miris--karena bilang "malu" akan terkesan sangat belagu.
    cuk tenan Gita iku. rodok lucu tur rodok kemonthol gitu. karena kemaki sudah terlalu mainstream, mungkin?

    BalasHapus
  5. "Aku gak nembak mas, dia sudah balikan sama mantannya," sepertinya bisa dipertimbangkan untuk menjadi #template dari Gita

    BalasHapus
  6. ASuuuuuuu. Ngekek aku, cok! Hahahaha

    BalasHapus