Sabtu, 05 Mei 2012

Tentang Dua Orang Asing Di Batas Waktu

"Kamu Carpicorn?" tanyanya padaku. Matanya menatap mataku. Tajam.

"Iya, ada masalah?" tanyaku balik. Aku balas menatap matanya. Teduh.

"Gak ada sama sekali. Pantas. Kau melankolis, sifat dasar seorang pemilik zodiak Carpicorn" ledeknya. Lalu tawanya memecah sunyi malam. Bahananya menyayat kepulan asap rokok dari bibirnya yang merah dan menggemaskan. Basah. Ingin rasanya aku menggigit bibir ranum yang kurang ajar itu.

Setelah berbatang-batang rokok terbakar, baru terbongkar satu rahasia: ternyata perempuan di depanku ini pemilik zodiak yang sama denganku. Perempuan yang membuatku jatuh hati dengan mudah. Memang gampang untuk menitipkan hati pada perempuan ini: perempuan dengan rambut ikal panjang terurai, bola mata yang bulat jernih dan sering suka membelalak, kulit yang kecoklatan, tawa yang menggemaskan, kuluman senyum yang menggumpal indah, dan yang paling penting: ia suka The Doors, band favoritku sepanjang masa nomer dua setelah Guns N Roses. Pula, juga tak enggan mendengarkan Motley Crue, salah satu band favoritku lainnya. Sesekali ketika sedang gulana, ia menyanyikan "Crazy" dari Aerosmith dengan meratap, seakan ia Steve Tyler versi perempuan.

Selalu mudah bagiku untuk tertarik dengan perempuan seperti itu.

Sama seperti yang ia bilang, Carpicorn memiliki sifat dasar melankolis. Ternyata ia malah jauh lebih melankolis ketimbang aku.

Suatu hari aku mencari segala sesuatu tentang dia. Bukan stalking, lebih tepatnya mengintai, yang diperhalus dengan bahasa: penasaran. Maka setelah nyasar ke situs kampusnya, mengetahui mata kuliah apa yang sudah ia ambil, akun jejaring sosialnya, akhirnya aku menemukan buku diary dunia maya miliknya. Dari warna dasarnya yang hitam, sudah terlihat kalau ia adalah perempuan gelap. Perempuan kelabu. Perempuan yang menyimpan luka. Itu yang membuatku meringis.

Ia riang, ia bersemangat, berjingkrakan dengan lagu AC/DC, tapi menabung luka yang laten, lengkap dengan laba yang makin bertambah seiring masa yang terus berjalan, berjejaring. Luka itu, menurutnya, adalah luka kambuhan. Luka yang ia tahu betul: begitu perih, tapi terus ia pelihara.

Masokis tanpa ia pernah sadari. Atau sadar, tapi berusaha ia ingkari.

Selalu mudah bagiku untuk tertarik dengan perempuan seperti itu. Dan biasanya memang sekedar tertarik. Tapi entah kenapa, perempuan ini berbeda. Ia seperti dengan mudah menelusuk, menalu pintu yang selama ini nyaris tertutup rapat. Ditambah, ia perempuan kelabu. Aku selalu suka warna kelabu. Dan apakah aku sudah bilang kalau ia suka The Doors?

"Kenapa kau tetap jatuh cinta dengan lelaki itu? Padahal kau tahu bahwa dia penyebab lukamu" tanyaku memecah lantunan‘the Girl from Ipanema’ yang diminta oleh seorang pengunjung pria paruh baya yang menekuri gadgetnya. Suara saxophone Stan Getz meliuk lincah diantara jejeran toples berisi kopi Toraja, Bali, dan Flores.

Ia tak menjawab. Hanya menatapku dengan bola matanya yang bulat, mengangkat dagunya perlahan, menjajarkan matanya dengan mataku. Bola mata itu, sendu bukan buatan. Tapi dengan lekas ia membuang muka, menghisap rokok putihnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke malam yang sudah nyaris rubuh. Mungkin sudah bosan ditanyakan pertanyaan yang sama ribuan kali oleh ribuan orang pula. Aku paham, dan tak mau bertanya lagi. Lalu aku menatap matanya. Mata yang sayu. Mata yang menggetarkan.

Ia melankolis. Tipikal manusia Carpicorn. Plus, ia perempuan. Bukannya aku patriarkis atau seksis. Tapi berdasarkan pengalamanku, perempuan lebih sering menggunakan perasaan ketika menyikapi segala sesuatu. Termasuk dalam menyikapi kenangan.

Di depanku, kopi Bali yang dihidangkan dalam cangkir keramik putih sudah mulai larut. Aku masih berpikir: Ia melankolis, ditambah ia adalah perempuan. Ia pasti akan terjebak kenangan, entah itu pahit atau legit. Bagi perempuan sepertinya, kenangan patut dipelihara. Dan ia sepertinya enggan beranjak untuk membuat kenangan baru. Tanpa ia sadar kalau kenangan adalah ilusi. Sesuatu yang bisa dibuat. Dengan orang baru pula. Biasanya, aku paling sinis dengan orang-orang semacam ini. Bolehlah kau terjebak dengan kenangan, tapi jangan terlalu lama. Biasanya aku selalu menyindir orang macam ini dengan tohokan "kau cocok jadi sejarawan saja". Tapi tak bisa kulakukan padanya. Ia melankolis, ia perempuan, ia suka The Doors.

Dan, ia sudah mencuri sekerat hatiku dengan elegan.

"Kau tak berniat membuat kenangan baru dengan orang yang baru?" tanyaku dengan pandangan mata menggodanya. Bibirku menyinggungkan senyum jahil.

Ia melemparku dengan segumpal kertas yang sudah ia remas. Ia tersenyum. Manis sekali. Seperti martabak luka: manis spesial dengan luka, atau manis biasa tanpa luka. Tak penting. Yang jadi hal pokok adalah ia manis sekali. Dengan atau tanpa luka.

"Aku sedang ber-evolusi. Dan evolusi bukan revolusi. Ia butuh waktu yang lama. Tak sejenak. Aku harap setelah evolusi ini selesai, aku akan lebih tegap dalam berjalan. Akan susah berjalan dengan benar ketika hanya satu kaki kita yang bebas bergerak" jawabnya serius.

Kami lantas larut dalam diam. ‘the Girl from Ipanema’ menyusut dengan perlahan, sebelum kemudian hilang tuntas...

                                                                              ***

Kita adalah orang asing sebelumnya. Orang yang bahkan tak pernah bertatap mata. Kita hanya beranjak dari menggemari orang yang sama. Memujanya bagai umat pagan memuja pohon, api, dan matahari. Lalu tiba-tiba waktu terlipat, dan akhirnya kita bertemu. Di tengah remang mentari yang menua dan nyaris lindap dibalik pencakar langit yang angkuh.

Kita berdiri berhadapan di Jakarta yang buas. Aku dengan rambut gondrongku yang berkibar, wajah berminyak, kaos Jim Morrison berwarna hitam lusuh, dan celana jeans sobek di bagian lutut. Kau yang mencuri waktu kerja, berdiri anggun dengan celana khaki berwarna hitam, kaos Jim Morrison berwarna abu-abu cemerlang, blazer coklat muda, dan seutas senyum yang kau lempar. Senyum yang mengerat hati pelan-pelan. Sebelum kelak kau ambil nyaris semua.

Aku mengulurkan tangan, tanganmu menyua. Kita bersalaman. Menaik turunkannya dua kali. Mengenalkan nama. Aku ingat, aku memanggilmu dengan sebutan Hujan: anagram dari nama panggilanmu.

Lantas aku jadi mengenang secarik kertas yang kau berikan di hari pertama kita bertemu itu:

kala kita bersua nanti,
aku menginginkan kau mengulurkan tanganmu
lalu berkata:

"hello, stranger.."


dan kita berjabat tangan selayaknya dua orang asing bertemu tanpa sengaja disuatu senja disebuah kota...*

                                                                             ***

Dan disini kita sekarang. Dua orang asing yang sama-sama memendam luka. Dua orang mahluk berbintang kambing dengan tanduk melingkar. Dua orang sesama melankolis. Dua orang pecandu kafein. Dua orang yang sedang bersindikasi membunuh malam. Dua orang yang saling berhadapan. Dua orang yang...

Dua orang yang sama-sama berusaha mengenyahkan luka.

Lalu terdengar suara Bono di speaker:

You say you want
Diamonds on a ring of gold
You say you want
Your story to remain untold

But all the promises we make
From the cradle to the grave
When all I want is you


Kita berpandangan, lalu sama-sama berujar ke pelayan,”Mas, punya lagu The Doors gak?”[]

post-scriptum: * diambil dari kutipan puisi milik teman dunia maya, kepadanya tulisan ini dibuat.

3 komentar:

  1. Tulisannya baguuuuus kaya cerita :|

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini emang cerita, anggep aja cerita pendek fiksi :D

      Hapus
  2. setelah dibaca berulang-ulang, cerita ini terlalu keren buat dijadikan kenyataan. :p

    BalasHapus