Minggu, 11 Maret 2012

Banyuwangi, Bali, Chili, Gili (Part 2)

"Nggoooongggg"

Suara bel kapal laut mulai terdengar sayup dari kejauhan. Naga-naganya saya sudah nyaris sampai di pelabuhan Padang Bay. Benar saja, beberapa detik setelah bunyi itu terdengar, saya memasuki mulut pelabuhan. Setelah pemeriksaan surat-surat, maka saya mengarahkan motor ke loket. Membayar Rp. 101.000 untuk satu motor dan penumpang, lalu masuk ke dalam antrian motor. Kapal kira-kira akan berangkat 30 menit lagi.

Berdasarkan info dari petugas pelabuhan, kapal feri menuju Lombok diberangkatkan tiap 2 jam sekali. Selagi menunggu, saya memesan segelas kopi susu. Ia datang dengan asapnya yang mengepul. Membuat saya memonyongkan bibir untuk meniup kopi susu itu agar lekas hangat dan bisa diminum. Saya kemudian mengedarkan pandangan. Mengamati manusia.

Ada kakek-kakek berdandan mirip dukun, berbaju serba hitam dan memakai banyak kalung serta gelang. Di kepalanya, terikat udeng dengan warna yang sama. Ia memakai celana klombor diatas mata kaki. Jenggotnya yang putih tampak berkibar dielus angin laut yang lengket. Ia melempar senyum balik, ketika saya tersenyum dan menganggukkan kepala pada beliau.

Ada pula satu keluarga dengan anak kecil yang begitu aktif. Meloncat kesana-kemari. Bertanya ini itu. Ada juga rombongan turis manca yang memanggul tas carrier berukuran besar. Sebagian tas mereka adalah Deuter, merk yang selama ini menjadi idaman saya tapi belum berhasil saya beli. Harganya cukup bikin kepala pengangguran macam saya ini berdenyut.




Beberapa menit setelah kopi susu tandas dan tersisa ampas, petugas membuka pintu antrian. Motor-motor yang sedang antri langsung bergerak. Masuk ke dalam kapal. Memarkir tanpa dikunci setir. 

Saya langsung naik ke atas dek penumpang. Kapalnya tidak bagus-bagus amat. Dek penumpang berupa ruangan luas dengan jejeran kursi berbahan spon dan dilapisi kulit imitasi berwarna cokelat. Ada satu TV kecil yang suaranya tidak begitu jelas terdengar. Acara Komeng dan Adul, dua pelawak favorit saya. Meski suaranya tidak jelas, saya bersyukur acaranya bukan live concert Nafa Urbach.

Setelah menunggu nyaris 30 menit, kapal dengan pongah mengeluarkan bunyi ultra keras. "Ngggoooonggg". Suara klakson kapal itu membelah udara. Membuat camar-camar kalang kabut berhamburan. Kapal pun bergerak perlahan. Banyak orang berdiri di dek, menatap nanar pulau Bali yang perlahan tampak kecil. Semakin kecil. Lalu hilang, seperti ditelan lautan.

So long Bali!

***

Saya bangun setelah mendengar pengumuman bahwa kapal akan merapat di pelabuhan Lembar. Hmm, sudah 5 jam rupanya. Saya bangun dari kursi keras itu. Lalu keluar, menuju dek paling atas. Rambut saya langsung diterpa angin, berkibar. Ah, kalau begini saya jadi merindukan rambut gondrong saya. Percayalah, perasaan ketika rambut gondrong berkibar diterpa angin itu adalah perasaan yang paling menyenangkan.

Angin pulau Lombok langsung menyapa dengan gelegak rindu. Awan gelap tampak menggelayut bergulung-gulung. Tanda akan turun hujan. Ah, sudah 3 tahun saya tidak menginjakkan kaki di pulau ini. Jejeran bangunan di pelabuhan sudah menampakkan diri. Saya tidak bergegas. Ingin menikmati dulu angin lautan yang membebaskan. Membuat saya melambungkan angan menuju Sulawesi, Papua, atau Mentawai. Tanah-tanah impian yang belum sempat saya jelajahi, airnya belum saya reguk, dan anginnya belum saya peluk. Nanti ya, nanti.



Kapal makin dekat dengan dok pelabuhan. Saya memanggul tas, memasang jaket dan syal, lalu bergegas turun. Setelah nemplok di atas sadel, saya menghidupkannya. Suara mesin motor tidak jelas terdengar karena kalah dengan suara mesin kapal, hanya terasa getarannya. Pintu kapal dibuka, tali tambang sudah ditambatkan. Lombok menyapa dengan ramah.

"Selamat datang di Lombok monseur! Jelajahi saya dengan senang hati!"

Saya menarik gas, motor pun melesat, mengiris sore di Lombok yang dihiasi gerimis.

***

"Kamu dimana Ran?" 

Sebuah sms masuk. Dari Rafli. Pria bernama lengkap Lalu Rafli ini adalah mantan Pemimpin Umum Tegalboto, organisasi pers mahasiswa tempat saya bernaung selama beberapa tahun. Saya sudah nyaris 3 tahun tak bertemu dengannya. Terakhir bertemu ketika saya dan Ayos main ke Lombok tahun 2009 silam. Hmm, bagaimana kabar pria berkulit gelap dan bertampang mesum ini sekarang? 

Setelah saya kasih tahu alamat tempat saya menginap, saya pun menunggunya datang. Oh ya, di Lombok ini saya menginap di rumah kak Ririn, seorang sepupu dari pihak ibu saya. Ia sudah nyaris 6 tahun tinggal di Mataram. Sekarang ia tinggal di Karang Genteng (huruf E dibaca dengan lafal E pada kata 'edan'), sebuah daerah yang terkenal sebagai sentra penjual mutiara.

Tak berapa lama, Rafli datang. Olala, ia tak jauh berubah. Masih saja berkulit gelap, rambut tegak berdiri macam kaktus, dan seringainya tetap saja mengesankan mesum yang tak akan bisa dihilangkan. Tapi ada beberapa hal yang berubah. 



Yang pertama, ia sudah tidak single. Ia sudah menikah beberapa bulan silam. Istrinya sama-sama orang Lombok, mantan teman sekantornya di sebuah bank. Lalu perubahan kedua sebenarnya tidak kentara kalau saya tidak jeli.

"Saya baru dari Mataram Mall nih sama istri"

"Rumah saya di Selong, Lombok Timur"

"Rencananya, saya mau ke Bali minggu depan"

"Aduh, saya kangen sama anak-anak Tegalboto"

Eureka! Itu dia. Rafli sekarang memakai kata 'saya' untuk menggantikan kata 'aku' sebagai kata ganti orang pertama. Dan entah kenapa, saya jadi geli mendengarnya. Ia berkali-kali saya gojlok perihal kebiasaan barunya ini.

"Meski raimu mesum, kamu sekarang udah pakai kata 'saya' ya?" gojlok saya.

"Hahaha, jancuk" balas Rafli.

Sore makin menua dengan cepat. Matahari tergelincir dan gegana memerah. Melihat waktu yang melesat, Rafli berpamitan. Rumahnya  di Selong, jauh dari Mataram, ada di ufuk timur. Memakan waktu sekitar 45 menit dari Mataram menuju Selong. Rafli dan sang istri lalu masuk ke dalam mobil jip-nya, bersayonara, dan berjanji akan menemui saya lagi.

Jip Rafli melaju perlahan, meninggalkan debu yang mengiringi hilangnya mobil dari pandangan mata.

Hari sudah sore, mari masuk ke dalam...

4 komentar:

  1. Wuishhh, wes nyampek lombok
    cumbuilah Rinjani, maka kau akan merasakan sensasinya menjadi seorang laki laki,hihihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalo naik gunung, ampun wis, gak kuat mbak. Perut sudah menggelambir, abotan nggowo weteng timbang nggowo carrier tibake, hahaha :))

      Hapus
  2. ini gak keliru fuk, di alinea awal2:
    "Membayar Rp. 101.000 untuk satu orang motor dan penumpang, lalu masuk ke dalam antrian motor."


    kalau aku baca2 tulisan2mu yg sekarang, terutama 2 catatan awal backpackingmu ini, aku kok jadi kangen kmu misuh2 ya, atau narsis2an di tulisanmu sendiri, hehe. Untungnya kangenku diobati dengan diksi-diksimu yg lebih kaya: ada 'gegana', 'mengiris sore', dll. Wah backpaker cum sastrawan ya mas? :p

    Ayo fuk, mana lanjutannya? :D :D :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe, makasih fuk. Sudah aku ganti barusan :)

      Ini kan lagi perjalanan galau fuk, jadi sok-sok gelap gitu deh, hihihi :p aku juga berusaha kembali ke gaya nulisku yang dulu, rada susah baliknya nih :D

      iya, ini mau aku aplot yang seri ke 3 :D

      Hapus