Senin, 02 Januari 2012

Pertikaian Yang Biasa Saja

Baru saja saya mendapat sms dari seorang kawan akrab.

"Wes cuk. Aku wis berdamai dengan diri sendiri. Dan minta maaf for being a bitch nang Immanuel Kant (bukan nama sebenarnya). Puas?"

Saya tersenyum simpul.

Beberapa waktu ini ada sedikit perpecahan yang terjadi antar dua orang karib saya. Antara Malcom Gladwell (bukan nama sebenarnya, si pengirim SMS) dan Immanuel Kant itu. Sebabnya mungkin sepele: masalah perempuan. Tapi saya salah. Perempuan tidaklah "sepele". Perempuan adalah salah satu pemicu beberapa kejadian besar nan menggemparkan. Sebut saja satu yang paling terkenal: perang Troya.

Perang yang melegenda itu dipacu oleh sebuah kejadian pada sebuah malam di Akhaia. Saat itu ada pesta yang diadakan oleh Menelaus, sang raja Sparta. Tamu yang diundang adalah pasukan kerajaan Troya.

Dalam pesta itu, tumbuh cinta terlarang (asu, bahasane silit banget) antara Paris dan Helen. Kenapa terlarang? Karena mereka adalah fans Broery dan Dewi Yull. Aduh, kenapa saya jadi melawak? Oke, serius. Karena Helen adalah istri dari Menelaus. Sudah jadi hukum tak tertulis kalau mengambil istri orang itu tak bagus, malah bisa tersandung masalah hukum.

Akhirnya, dalam suatu percakapan hangat di ranjang, Helen setuju untuk ikut Paris ke Troya. "Penculikan" itu membuat Menelaus marah besar dan membawa seluruh pasukannya ke Troya --termasuk Achiless yang legendaris itu-- dengan maksud mengambil kembali Helen sekaligus menghancurkan Troya.

Maka terjadilah salah satu perang terbesar sepanjang masa itu. Pangkal masalahnya memang "hanya" perempuan. Tapi masalah perempuan itu lantas diikuti dengan harga diri yang terluka, dan juga keinginan untuk berkuasa atas perempuan. Maka terjadilah perselisihan itu.

Begitu pula yang terjadi pada dua orang sahabat saya itu. Saya tak perlu menceritkannya disini. Itu urusan bidang infotainment.

Perpecahan itu memang kecil, tapi membawa dampak yang besar. Karena mereka berasal dari satu lingkaran perkawanan dan komunitas, bisa ditebak bahwa suasana perkawanan dan komunitas itu menjadi sedikit canggung. Banyak malah. Memang konflik antara mereka tak sampai menghancurkan suatu negara, tak sampai membunuh ribuan orang. Tapi tanpa disadari, permusuhan dua orang adalah permusuhan yang paling sengit. Permusuhan yang bisa membunuh pelan-pelan.

Saya juga merasakannya. Saya sudah kenal si Gladwell yang berambut keriting itu semenjak tahun 2006. Hingga sekarang kami telah melewati berbagai fase hidup bersama. Mulai fase patah hati, berburu cinta, hingga tidur bareng berselimutkan sarung apek. Saya kenal si Kant sejak tahun 2007. Ketika itu dia masih junior yang culun, berkacamata dan berwajah mirip Bambang Pamungkas yang bercampur dengan cambang ala Ridho Rhoma. Saya juga menghabiskan ribuan detik waktu bersama hibrid Bambang Rhoma, (atau Ridho Pamungkas?) ini. Sekedar bermain solitaire (dan yang kalah harus buka baju, kalau kalah terus ya berarti harus membuka celana), berdiskusi, maupun ngopi.

Intinya mereka berdua adalah sahabat saya. Dan merupakan kesedihan yang tak pernah saya ungkapkan melihat mereka berdua renggang lalu perlahan menjauh.

Saya berusaha mendamaikan mereka dengan usaha kecil-kecilan. Menyebut nama mereka berdua dalam percakapan di facebook, menggoda mereka dengan menaut nama mereka berdua di satu percakapan yang sama, menyarankan pertemanan di facebook, dan hal-hal lain. Tapi sepertinya usaha itu sedikit membentur tembok. Harga diri memang bukanlah sesuatu yang gampang dipugar. Sekali ia runtuh, akan sangat sulit memugarnya kembali. Akan ada tembok kukuh yang mencegah orang lain untuk memugar puing harga diri itu.

Sampai akhirnya datang sms yang menyenangkan itu. Saya senyum berkali-kali membaca sms si Gladwell itu. Memang resolusi konflik ini belum selesai sepenuhnya. Akan butuh waktu buat menyembuhkan luka yang ada. Tapi saya yakin, semua akan kembali seperti dulu. Semoga saja.

Si Gladwell lalu melanjutkan omongannya, "Aku sing salah. Period"

"Enggak. Kamu gak salah, Kant juga gak salah. Ini cuma proses yang emang harus dilewati sepasang sahabat" ujar saya sok bijak. Entah darimana saya mendapat kalimat sok bijaksana dan terdengar sangat gay itu. Tapi setidaknya itu sedikit banyak merujuk pada persahabatan ala Melbi. Dimana persahabatan adalah "...sering duduk-duduk, bercanda, saling memusuhi lalu berdamai sebelum permusuhan berikutnya."

Di luar sedang hujan deras. "Live Forever" dari Oasis mengalun pelan dari headset...

Maybe I don't really wanna know
How your garden grows cos I just wanna fly
Lately did you ever feel the pain
In the morning rain as it soaks you to the bone

Maybe I just wanna fly
Wanna live, I don't wanna die
Maybe I just wanna breathe
Maybe I just don't believe
Maybe you're the same as me
We see things they'll never see
You and I are gonna live forever

I said maybe I don't really wanna know
How your garden grows cos I just wanna fly
Lately did you ever feel the pain
In the morning rain as it soaks you to the bone

Maybe I will never be
All the things that I wanna be
But now is not the time to cry
Now's the time to find out why
I think you're the same as me
We see things they'll never see
You and I are gonna live forever

5 komentar:

  1. Entah darimana saya mendapat kalimat sok bijaksana dan terdengar sangat gay . hahaha..
    oasis \m/

    BalasHapus
  2. kalo masalah kyak gini dlm satu komunitas, bisa2 jd bom atom iki... hahaha.. wholesss

    BalasHapus