Senin, 16 Januari 2012

Hamburg Part 3: Die Sündige Meile?

Jika di siang hari aktivitas bisnis dan perdagangan mendominasi kesibukan di pusat kota dan pelabuhan, maka di malam hari geliat itu berpindah ke Red Light District. Kawasan khusus dewasa ini disebut-sebut banyak turis sebagai yang terbesar di Eropa, mengalahkan pesaingnya di Amsterdam.

Kemunculan Red Light District terkait erat dengan suburnya bisnis distribusi barang di pelabuhan. Para pelaut, yang terus merangsek bak lebah di musim semi, rupanya tak cukup terpuaskan oleh hiburan dari The Beatles. Peluang inilah yang diambil rumah-rumah bordil. Kawasan prostitusi paling kondang di St. Pauli saat ini adalah Reeperbahn. Publik menjuluki jalan ini “die sündige meile” atau kurang lebih berarti “ jalan penuh dosa”. Saya bisa menemukan barisan bar, kasino, bioskop gay, hingga klub penari.

Neon-neon mereka berpendar tiap malam untuk menggoda serangga serangga yang lapar. Seksi, liar, dan sangat berbahaya bagi mereka yang lemah iman tentunya. Tapi St. Pauli dan Reeperbahn tak melulu soal seks. Masih ada ruang untuk jiwa-jiwa yang damai. Kita bisa menemukan St. Pauli Theater yang rutin mementaskan drama musikal. Berjalan beberapa menit ke arah barat, terdapat Gereja St. Michaelis, landmark berusia ratusan tahun yang didesain bergaya Baroque. Gereja ini pernah menjadi saksi gerakan reformasi gereja yang dilancarkan kaum penganut Protestan di Jerman pada periode 1500-an. Tak heran, Martin Luther begitu dipuja hingga dibuatkan patung di depan gereja.

St. Pauli dengan segala warnanya adalah tempat yang aman bagi wisatawan. Angka kejahatan terbilang minim. Lain waktu saya melihat seorang gelandangan tua yang menuntun anjing Rottweiler berbadan tambun; anak-anak punk yang bergerombol sembari berdiskusi soal pasar bebas dan ide-ide Chomsky; serta wanita mabuk bertatanan rambut sangat buruk yang menyeret bebek karet mainan berwarna kuning menyala. Pelaut haus hiburan, musisi asal Inggris, penggemar teater, hingga anak punk yang membenci pialang saham. Semua orang punya tempat di rumah besar bernama St. Pauli.


 


“Coba kamu susuri kanal di Hamburg.Kamu akan jatuh cinta,” ujar Marianne Bruchert, perempuan paruh baya yang mengizinkan saya tinggal di apartemennya di bilangan Issestr. “Saya percaya kanal-kanal di Hamburg lebih indah ketimbang di Venesia" ujarnya sembari tersenyum simpul. Tangannya memegang gelas yang berisi red wine. Fortin Plaisance, Saint- Emilion tahun 1995.

Saya kini hendak membuktikan ucapannya. Marianne meminjamkan perahu berwarna merah miliknya. Perahunya lumayan besar, cukup untuk mengangkut empat penumpang. Sebelum berangkat, Marianne menyodorkan peta dan merekomendasikan rute terbaik, lalu memberikan wejangan: “Hati-hati, angin sedang keras. Kalau angin menghantam, jangan melawan, biarkan saja angin membawa perahumu. Kalau sudah tenang, baru kamu bisa mendayung lagi.”

Prediksinya akurat. Sore ini, angin berembus kencang. Saya menjejakkankaki ke perahu dan mulai mendayung. Rencananya saya akan menelusuri kanal kecil yang membelah Klosterstern dan Eppendorfer Baum, lalu ke pelabuhan wisata Streekbrucke, terus ke pelabuhan wisata Krugkoppelbrucke, hingga akhirnya mencapai Danau Ausenalster. Tapi agenda ini sepertinya sulit diwujudkan. Angin terus melabrak
perahu. Saya harus berjuang keras seorang diri mendayung perahu berkapasitas empat orang. Tak lama, stamina tubuh terkuras. Untungnya, perjalanan ini tak sepenuhnya berakhir bencana.



Pemandangan kota Hamburg terlihat menawan dari kanal. Mungkin ini sebabnya banyak Hamburger (sebutan untuk penduduk Hamburg, bukan nama makanan) gemar menghabiskan senja di atas air—berperahu, berkano, atau menaiki kapal feri. Saya melewati Streekbrucke, lalu Krugkoppelbrucke. Jika merujuk pada peta, maka sebentar lagi perahu akan memasuki tepian Danau Ausenalster. Tapi berhubung energi sudah habis, saya membelokkan perahu ke kanal kecil Bellevuebrucke. Kanal ini teduh dan tenang.

Pohon-pohon memayungi jalan, angsa mengapung di samping perahu, dan anak-anak di taman melambaikan tangan dengan wajah sumringah. Suasananya seperti gambar di kartu-kartu pos wisata. Saya menaruh dayung dan membiarkan angin mendorong perahu. Tak jelas sudah berapa lama saya melaju. Di tempat sedamai ini, lupa waktu adalah tindakan yang bisa dimaafkan.

***
Getting there:
Penerbangan Jakarta- Hamburg dilayani antara lain oleh KLM ($1.324), Emirates ($1.292), dan Cathay Pacific ($1.329)—semua harga pp di Januari. Dari Bandara Internasional Hamburg, Anda bisa naik kereta bawah tanah S-Bahn dan U-Bahn yang melayani rute ke pusat kota (€1-3). Transportasi lain di dalam kota adalah bus, kapal feri, dan taksi.

When to go  :
Arus turis terbanyak di Hamburg berlangsung di periode Mei hingga Oktober, yakni saat cuaca cerah dan warga menggelar banyak festival, mulai dari Kathleen Mass hingga Full Moon Festival. Hamburg International Short Film Festival juga lazim digelar di pertengahan tahun. Musim dingin di akhir tahun bukanlah waktu berkunjung yang ideal, karena tubuh Anda akan tersiksa saat harus menyusuri jalan dan kanal.

Where to stay:
Berdiri di kawasan Bugenhagenstrasse, Hotel bintang lima ParkHyatt Hamburg menawarkan panorama taman hijau dan Danau Alster [Bugenhagenstrasse 8, T.49 40 3332 1234, hamburg.park.hyatt.com, mulai  dari $312]. Radisson Blu Hotel, yang berada cukup dekat dari pusat perbelanjaan, menaungi 556 kamar dengan tiga konsep desain berbeda [Marseiller Strasse 2, T.49 40 35020, www.radissonblu.com, mulai dari $171]. Hotel bintang empat Lindner Park- Hotel Hagenbeck terletak di dekat pusat olahraga [Hagenbeckstrasse 150, T.4940 800808, www.lindner.de/en, mulai dari $104].

What to do:
Naik perahu adalah salah satu cara alternatif menikmati keindahan Hamburg. Kota ini memiliki lebih banyak jembatan dibandingkan gabungan jumlah jembatan di Amsterdam, Venezia, dan London. Kanal-kanalnya pun tak kalah menarik dibandingkan di Venezia atau Amsterdam. Layak dicoba adalah tur Alsterrundfaht yang mengarungi Danau Alster (www.alstertouristik.de, tarif €15). Untuk belanja, ada dua pilihan: pasar ikan tradisional di Pelabuhan Landungsbrucken yang beroperasi tiap Minggu pagi, atau kawasan Mönckebergstraße yang dikenal sebagai distrik belanja tertua di Hamburg.





 Tapi jika Anda tidak suka pasar atau butik modern, kunjungi saja Flohmarkt (pasar loak). Berbagai penganan tradisional Jerman dan barang antik dijajakan, mulai dari gelas, cangkir, buku, kamera, hingga sepatu bot. Penting diingat, pasar loak ini selalu berpindahpindah (cek jadwal di www.hamburg.de/flohmarkt).

2 komentar:

  1. Leeeeengkaaaaap kaleeeee! Suka iri sama orang yg bisa buat postingan blog ky gini T.T

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, gak boleh iri atuh, iri itu dibenci tuhan, hihihih :p aku juga iri sama kamu, bisa nulis tulisan yang bikin orang ketawa :) eh, masih di italia neng?

      Hapus