Rabu, 25 Januari 2012

MOBS 2: Kix - Don't Close Your Eyes



Selalu ada anomali dalam segala hal. Bahkan untuk hair metal yang selalu dianggap homogen dan identik. Kix adalah salah satu contohnya. Di saat band hair metal lain menuliskan tema cinta untuk lagu ballad mereka, Kix lebih memilih tema lain yang sangat jarang diangkat oleh band segenerasi mereka: bunuh diri.

Bahkan hingga sekarang, bunuh diri masih menjadi momok bagi para remaja yang labil. Pada tahun 1980, tercatat ribuan kasus bunuh diri remaja. Emile Durkheim sendiri menjelaskan ada tiga tipe bunuh diri: Tipe pertama adalah altruistic suicide, dimana sang pelaku bunuh diri menganggap bunuh dirinya akan menguntungkan bagi kelompok atau masyarakat. Contoh terbaik adalah para pilot kamikaze Jepang di Perang Dunia II. 

Tipe kedua adalah egoistic suicide: dimana bunuh diri lahir dari lemahnya sebuah kelompok dalam memberi rasa nyaman dan aman bagi para anggotanya. Sedang yang ketiga adalah anomic suicide, dimana bunuh diri ini dipicu oleh rasa kesepian, isolasi, kesendirian, dan penyakit kejiwaan lainnya. Bunuh diri jenis ini juga bisa dipicu oleh rasa kehilangan, seperti kehilangan orang tua baik dalam arti meninggal atau broken home, atau kehilangan teman.

Kix menganggap isu bunuh diri remaja sebagai isu yang serius. Karena itu ditulislah lagu berjudul "Don't Close Your Eyes". Lagu ini terdapat pada album keempat band asal Maryland ini; Blow My Fuse. Di luar dugaan banyak pengamat musik, lagu ini sukses keras, menapak ke posisi 11 dalam jajaran Billboard Hot 100 pada tahun 1988. Mengejutkan karena rata-rata band hair metal menuliskan lagu ballad dengan tema cinta.

Lagu ini juga menjadi bukti betapa soulful-nya Steve Whiteman dan solidnya barisan pendukungnya. Steve bernyanyi dengan sangat baik, ia terpejam, bersimpuh, dan juga berteriak, seakan yang akan melakukan bunuh diri adalah orang terkasihnya.

Lagu ini juga menceritakan penyebab keinginan bunuh diri: rasa kehilangan orang tua. Perasaan kesepian dan ditinggalkan ini tercermin dari lirik

Whatcha doin out in the night time?
Why'd ya callin me on the phone?
Your mama can't solve the problems
When's daddy, ever get home?

So you did your little move and cried
In the middle of a suicide.

Saya sendiri menemukan lagu ini dari sebuah kaset tanpa kover, kaset telanjang dari kardus kaset warisan om saya. Kaset ini bertajuk "Best of Rock Ballad". Selain Kix, ada Tesla, Skid Row, hingga White Lion. Hingga sekarang kaset itu masih ada. Sama seperti Kix yang juga masih aktif hingga sekarang. Kix masih aktif bermain di gigs kecil hingga yang berskala besar seperti Rocklahoma.

Oh ya, Kix juga menjadi nama merk sebuah sereal dengan tagline terkenal (yang mungkin bisa jadi alasan kenapa mereka bisa aktif hingga sekarang): Kid tested; mother approved.

Yeah! :D

Marah dan Diam

Apa yang sedang anda lakukan ketika marah besar?

Dave Buznik adalah seorang pekerja kelas menengah yang sebenarnya tidak begitu pemarah. Ia bisa menghadapi dan mengatasi kemarahan, sama seperti orang biasa. Tapi sebenarnya, zona tempat dia hidup sangat rentan untuk menghasilkan kemarahan. Bosnya licik, pacarnya ditaksir banyak orang, dan lain-lain.

Akhirnya pada suatu kejadian di pesawat, ia lepas kontrol. Ia marah sejadi-jadinya. Dan karena itu, ia diperintahkan oleh hakim untuk mengikuti terapi kemarahan, atau lazim disebut anger management. Akhirnya Dave diserahkan ke ahli kejiwaan bernama Dr. Buddy Rydell. Tapi ternyata sang dokter bukanlah dokter biasa. Ia malah cenderung tidak dapat ditebak dan lebih psycho ketimbang Dave. Ia bahkan sering melampiaskan kemarahan dengan cara yang tak biasa.

Lalu bagaimana kisah Dave? Silahkan tonton sendiri di film yang berjudul Anger Management. Film komedi ini dibintangi oleh Adam Sandler dan Jack Nicholson. Filmnya sendiri lumayan menghibur.

Apa yang coba saya ungkapkan disini adalah: bagaimana cara saya, kamu, kalian, kita, dalam melampiaskan kemarahan?

Saya sebenarnya orang yang jarang marah. Lingkungan tempat saya hidup penuh dengan orang humoris yang nyaris tak pernah mengumbar kemarahan. Mulai teman SMA, teman kuliah, teman organisasi, hingga teman main, nyaris semua tumbuh dengan kultur sering bercanda. Malah bagi banyak orang di luar lingkup kami, cara bercanda kami sedikit keterlaluan. Meskipun begitu, jarang dari kami yang bermarahan gara-gara guyonan. Mungkin itu sebabnya saya jarang marah.

Tapi pasti ada satu atau beberapa momen dimana saya merasakan marah. Saat itu jelas saya butuh pelampiasan. Saya tak pernah punya kiat khusus atau agenda khusus dalam melepas kemarahan. Kadang saya dengar musik, kadang saya lihat film komedi, kadang saya nongkrong, kadang saya tidur. Tidak tentu dan random.

Tapi kalau kemarahan saya sudah mencapai ubun-ubun, sudah mencapai puncak, saya lakukan hal yang menurut saya adalah puncak dari segala rantai kemarahan: diam.

Diam, bagi saya adalah puncak dari kemarahan. Mamak saya seringkali ngomel ketika marah pada saya. Segala macam hal ia omelin. Itu sudah saya anggap biasa. Tapi kalau beliau diam, saya kelimpungan. Berarti ia marah besar. Saya ngomong, ia mengacuhkan. That's how I know that I'm fucked up.

Sama ketika saya ditipu oleh sahabat saya semasa SMP. Dia datang ke rumah untuk menginap. Ternyata dia mencuri hp saya. Saya marah besar. Kalau saja ia bilang butuh uang, mungkin saya bisa bantu walau tak banyak. Tapi mencuri hp itu bukan cara yang pantas. Apalagi dilakukan kepada teman akrab. Ketika ketemu nyaris 5 bulan kemudian, saya hanya menghampirinya, menunjuk wajahnya, tak mengucap sepatah kata pun, saya berlalu. Ia jelas tahu kalau saya marah besar. 

Diam juga adalah cara yang paling aman. Setidaknya untuk menjaga mulut kita agar tak mengaum sembarangan dan mengeluarkan kata-kata yang nantinya akan kita sesali.

Dr. Laurence J. Peter, seorang guru yang juga penulis, pernah mengatakan hal yang sama, "Ketika kau berbicara saat marah, kamu akan mengeluarkan kata-kata yang kelak akan kau sesali". Dia benar. Bisa jadi karena itu saya lebih memilih diam ketika marah besar.

Siddharta Gautama juga pernah menjabarkan analogi yang keren. Ia menggambarkan bahwa kemarahan itu seperti memegang aspal panas dengan maksud melemparkan aspal panas itu ke orang lain. Tapi alih-alih bisa melemparkan, tangan kita dulu yang akan terbakar. Okay, I get the point master.

Tapi saya bukan Buddha yang sukses melepas segala kesenangan duniawi dan bisa menuju nirwana. Saya dan banyak orang lain adalah manusia biasa yang seringkali berurusan dengan marah. Marah karena jalan macet; marah karena anggota DPR kayak jancuk; marah karena berita di TV isinya mencret semua; marah karena musik di Indonesia belakangan kayak ghornea; marah karena ada tawuran antar suporter bola; marah karena ada orang-orang megalomaniak; marah karena cemburu; dan banyak hal yang membuat kita sadar bahwa marah adalah hal yang membuat kita hidup. Setidaknya di Indonesia.

Tapi ketimbang marah lalu melakukan tindakan destruktif, percayalah, diam itu lebih ampuh. Orang yang biasa bergaul dengan kita, ketika melihat kita diam, pasti mereka tahu kalau ada yang tidak beres. Tapi itu hanya dalam kasus tertentu.

Kalau dalam kasus anggota DPR minta 2 milyar untuk perbaikan toilet, sedangkan masih banyak anak yang tidak bisa sekolah, marahmu harus disalurkan dengan meninju muka anggota DPR  itu satu persatu. Atau mementungi kepala mereka dengan botol bir. Biar mereka tahu kalau kita tidak hanya bisa diam ketika marah!