Minggu, 28 April 2013

Bertualang Rasa di Gang Gloria


Sebut saja dia Budi (karena satu dan lain hal, ia minta namanya disamarkan). Dia berteman dengan saya semenjak SMP. SMA pun kami satu sekolah. Begitu pula ketika kuliah. Bahkan kami juga sering mengambil kelas Grammar yang sama, mengulang berkali-kali dan hanya berhasil mendapat nilai C. Menyedihkan.

Sejak dulu, Budi selalu jadi partner saya dalam petualangan rasa. Badannya yang besar nan tinggi, seakan membuktikan pada saya kalau lambungnya bisa diandalkan untuk menerima asupan makanan dalam jumlah yang cukup banyak. 

Namun betapa kecewanya saya ketika mengajaknya wisata kuliner ke Gang Gloria, dan ia hanya mendegut ludah sembari berkata, "jangan wisata kuliner lah. Wisata alam saja." 

Aduh, apa benar ini Budi kawan saya yang suka sekali makan itu? Jangan-jangan Jakarta dan korporasi tempatnya bekerja sudah sedemikian hebat mencuci otaknya dan menguras fisiknya. Hingga sekadar wisata kuliner pun ia enggan.

Namun penolakan itu rupanya hanya basa-basi. Ketika kemarin lusa saya mengajaknya untuk menelusuri Gang Gloria demi segelas es Kopi Tak Kie dan seporsi Kari Lam Medan, ia mengangguk dengan cepat. Sudah lupa dengan keluhan dan penolakannya beberapa hari lalu.

Maka jam 10 pagi tadi, Budi sudah nangkring di tempat saya menumpang selama di Jakarta. Tak perlu waktu lama, kami langsung membelah jalanan Jakarta yang sedang tobat: sepi. Maklum, akhir pekan. Para pengisi jalan reguler sedang memuaskan diri beristirahat seharian di rumah. Dari Harmoni kami meluncur ke Glodok. Di sebuah daerah padat itu, Gang Gloria berada.

Gang ini kecil saja. Cenderung sangat padat dengan penjual beraneka ria makanan dan camilan di kanan kirinya. Di masa kini, orang menyebutnya dengan Jalan Pintu Besar Selatan III. Namun Gloria masih nama yang terlalu seksi untuk diganti dan dilupakan. Jadilah hingga sekarang gang ini masih lebih dikenal dengan nama lamanya.

Di kanan kiri gang ini, para penjaja makanan akan menyambut anda dengan ajakan makan yang khas.

"Mau apa? Nasi campur? Nasi tim?"

"Berapa? Dua porsi ya?"

"Mie pangsit? Langsung dibuatin?"

"Ayo makan di sini saja kak"

Semua pekerja warung-warung kecil di kiri kanan gang itu begitu cekatan. Bahkan ada yang saking cekatannya, begitu saya sejenak menatap papan menu yang ditempel di kaca, sang penjual langsung menyiapkan dua piring sembari berujar, "makan di sini dua kan?"

Namun perut masih terlalu dini untuk diisi makanan berat. Kami melangkahkan kaki menuju kedai kopi Tak Kie. Bagi banyak pengunjung Gang Gloria, kedai kopi Tak Kie adalah pusat perhatian dari semua jenis kuliner yang ada di gang legendaris itu.

Tempatnya tak terlalu besar. Tak ada papan nama besar. Bagian depannya malah tertutupi oleh gerobak penjual nasi campur. Sangat sederhana untuk sebuah kedai kopi yang sudah berdiri sejak tahun 1927.

Segelas es kopi susu kami pesan. Tak perlu waktu lama bagi saya untuk menandaskan isi gelas hingga tersisa es batu saja. Panas terik sekali di luar.

"Ada camilan gak?" tanya Budi sembari berharap. Ia sudah mulai beraksi rupanya.

Saya bertanya pada pelayan. Namun sayang, camilan hanya tinggal Bakcang. Namun tawaran untuk mencoba seporsi pangsit rebus dan bakso sapi susah sekali ditampik. Jadilah kami memesan satu porsi pangsit dan bakso untuk disantap berdua. Isinya: 5 pangsit rebus dan 5 bakso sapi.

Dan aduhai, saya bersumpah demi Toutatis, itu pangsit rebus terenak yang pernah saya makan. Budi pun setuju. "9 dari 10 Ran," katanya pendek sembari menyeruput kuah pangsit terus-terusan.

Selagi matahari belum terlalu meninggi, kami meninggalkan sejenak Tak Kie.

Baru saja melangkah beberapa depa, kami sudah bingung. Pasalnya terlalu banyak makanan yang layak coba di Gang Gloria. Pilihan kali ini berujung di dua kubu: Gado-gado Direksi atau Karilam Medan.

Nama pertama yang disebut adalah merk gado-gado legendaris. Namanya sudah jaminan mutu. Namun tempatnya, alamak sempit sekali. Hanya cukup memuat 4 atau 5 orang saja. Sematan nama tambahan "direksi" karena gado-gado ini adalah langganan para jajaran direktur perusahaan yang berada di sekitar daerah ini.

"Gado-gado sih bisa ditemui dimana saja, kalau Kari Medan kan gak semudah itu" ujar saya memberi usul. Budi menimbang dengan singkat, lalu setuju dengan saya.

Maka tujuan kami berikutnya: Karilam Medan. Ini kari khas Medan. Sedikit berbeda dengan kari ala Aceh yang kuat sekali tendangan bumbunya. Kari Medan ini juga favorit Bondan Winarno, sang penikmat kuliner mahsyur itu. Seporsi Karilam (tinggal pilih, mau kari ayam atau kari sapi) biasanya disantap dengan nasi putih atau bihun. Tinggal pilih saja. Namun karena saya bersepakat dengan Budi untuk tidak terlalu memforsir kerja lambung, kami hanya memesan seporsi untuk berdua. Tanpa nasi ataupun bihun.

Budi juga mendecak kagum dengan sayatan rasa yang ditinggalkan oleh kari ini. Dengan kuah yang keruh, tak dinyana bumbunyaringan saja. Justru ini menarik bagi Budi. Karena ia terbiasa memakan kari dengan jejak bumbu yang kuat. Budi merem melek menyendok kuah kari ini, sementara saya menyuap sedikit saja. 

Kami lalu sepakat untuk mengistirahatkan kerja usus dan lambung barang sejenak. Kami kabur sebentar ke lapak penjual majalah dan buku bekas tak jauh dari Gang Gloria. Saya mencomot beberapa majalah bekas dengan harga yang murah meriah: 10.000/3 eksemplar.

Matahari makin tak tahu sopan santun. Panasnya meneriki kepala tanpa ampun. Kami yang bagai mahluk nokturnal, berlarian kembali menuju Gang Gloria. Karena petualangan ini belum selesai.

Bondan Winarno pernah merekomendasikan satu sajian favoritnya di Gang Gloria: Nasi tim A Ngo. 

"Nasi tim-nya harum dan sangat lembut. Mungkin yang terbaik di seluruh Indonesia" puji Bondan. 

Siapa yang tak tergiur dengan rekomendasi seperti itu? Maka kami berulang kali menyusuri Gang Gloria. Dari depan hingga ke belakang, lalu kembali ke depan lagi. Tapi tak kunjung kami temukan nasi tim A Ngo. Saking seringnya kami mondar-mandir, para penjual makanan di bibir gang sudah malas untuk sekedar menawarkan dagangannya pada kami. Toh kalian tak beli juga, mungkin begitu pikir mereka.

Akhirnya karena menyerah, kami memutuskan untuk makan nasi tim di salah satu warung yang menyediakan menu ini. Kami berpikir mungkin ini yang dimaksud oleh Pak Bondan --sapaan akrab Bondan Winarno. Karena di sepanjang Gang Gloria tak jua kami temukan penjual nasi tim dengan papan nama A Ngo.

Namun dugaan kami salah. Setelah nasi tim ini ludes --dan tak lembut seperti rekomendasi Bondan. Jelas saja, karena bukan ini rekomendasi Bondan-- kami baru tahu kalau A Ngo berjualan di belakang restoran tempat kami makan ini. Namun lapaknya sudah tutup sedari tadi. Ini kami ketahui dari penjual cakue yang berjualan di restoran nasi tim tempat kami bersantap.

A Ngo memang sudah berusia lanjut. Bondan mengatakan kalau sang maestro nasi tim itu hanya berjualan pada akhir pekan saja, dan dengan durasi yang tak terlampau panjang. Saya menengok jam. Sudah lebih dari jam 1. A Ngo mungkin sekarang sudah beristirahat di kamarnya sembari mengibaskan kertas koran di depan wajahnya untuk mengusir peluh akibat terik yang kurang ajar.

Akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri petualangan kuliner ini di... Tak Kie lagi. Pesona es kopinya memang agak susah ditolak di hari yang teramat gerah ini. Namun kali ini kami memesan es kopi saja, tanpa susu. Harganya murah untuk ukuran kedai kopi legendaris: hanya 10.000 rupiah saja. Tambah 1.000 rupiah jika memakai susu.

Siang ini saya pungkasi dengan mengobrol banyak dengan Latif, pengelola Tak Kie sekarang. Darinya saya mendapat banyak cerita menarik tentang Tak Kie. Tulisan tentang kedai kopi bersejarah ini akan saya tulis khusus nanti.

Suara klakson kembali menggedor gendang telinga. Dingin dari es kopi sudah mereda. Saatnya menerabas panas kembali. 

Pulang.

post-scriptum: karena koneksi internet sedang jahanam, maka foto-foto akan saya unggah belakangan. Sementara tulisan dulu saja. Sekedar agar tak hilang dikhianati ingatan. 

Jumat, 19 April 2013

Masih Bolehkah Aku Pulang Padamu?


Lelaki berambut pirang itu tiba-tiba meradang. Ia berdiri dari kasur, menghempaskan uluran tangan sang perempuan yang duduk di bawahnya, sang kekasih. Wajahnya memelas. Sang lelaki tak mau tahu. Ia mengemasi gitarnya, melempar uang, lalu pergi keluar dari kamar hotel yang mereka tempati. Muntab sang lelaki tak hanya sampai disana. Ia melempar koper-koper milik perempuan dari mobilnya. Lalu ia pergi begitu saja. Sang perempuan menangis. Hatinya berantakan, lalu pergi. Malam harinya, sang lelaki tergopoh mencarinya. Penyesalan merona dari tatapnya.*

***

Pada dasarnya, manusia adalah mahluk yang belajar dari kesalahan. Pada suatu hari semasa SD, saya tahu kalau 1+1 adalah dua, bukan sebelas. Itu saya tahu setelah saya melakukan kesalahan. Dari sana, saya belajar.

Blow a kiss from your hand 
I'll catch it before it hits the ground 
Cry a little for our fears baby, baby
I'm so scared there's something wrong 
I hid you in the corner of my empty room 

Kemarin penyair Saut Situmorang menuliskan nukilan puisi yang begitu menyayat, "...maukah kamu menerima cintaku yang pernah kecewa?" Cinta yang pernah kecewa adalah cinta yang begitu defensif. Cinta yang siaga memasang barikade  pertahanan. Selalu ada pertanyaan, juga dari Saut, masihkah cinta yang pernah kecewa adalah cinta yang murni?

Dan ketika keadaan memburuk, ketakutan meruyak kuat. Meruap dari titik-titik pori kulit. Aku hanya bertahan dan melakukan sesuatu: menyembunyikanmu di sudut ruangan. Berharap agar tak ada siapapun yang mampu mencurinya.

Namun ternyata itu bukanlah permasalahnnya. Ternyata ketakutan lah yang membunuhku. Tak ada pencuri. Tak ada yang  akan dicuri. Bahkan menguasai ketakutan pun aku masih sering gagal. 

Namun api sudah terlanjur tersulut bukan? Maka sekalian kita siram saja dengan bensin. Agar malam pekat semakin hangat. Agar tak ada dingin yang tersisa di sudut-sudut hati yang penuh dengan sarang laba-laba.

Dengan dingin itu, kita saling menghunus belati. Menusukannya pelan-pelan ke tubuh dari kita. Agar tak ada yang  tahu, namun sakitnya perlahan datang. Kita saling menyakiti. Sesekali terkadang memang kita menjadi masokis, suka sekali dengan rasa sakit. Setelah itu, rasa sakit yang kita dambakan pelan-pelan mencapai puncaknya. Kita menyiram bensin ke tubuh kita sendiri, lalu menyulut dengan sadar:

I know I caused you so much pain 
I promise that I'll never hurt you again 
Even though the scars remain 
With a little time i know we can win 
Can't stop this fire 
Lost control over my desire 
Still it burns for you like it always used to do 

Namun orang bijak berkata, biar waktu yang menyembuhkan. Apa iya waktu sedemikian hebat? Entahlah. Sejauh pengalamanku, waktu memang menyembuhkan. Walau itu juga tak berarti kita tak berdarah-darah lagi. Sang orang bijak sepertinya lupa menambahkan: waktu menyembuhkan, namun prosesnya panjang dan berdarah-darah. Mungkin.

Perang kita mungkin sudah usai. Belati sudah disarungkan. Luka sudah mengering. Senyum sudah tersungging. Aku sekarang letih sekali. Ingin merebahkan diri sekali lagi di haribaanmu. Dekap yang sudah lama begitu aku rindukan. Bolehkah aku pulang kepadamu? Masih bolehkah aku menitipkan rindu untukmu?

And after the war is over 
And all the fighting's through 
Can I make my peace with you 
I wanna come home to you 

post scriptum: nukilan berbahasa Inggris adalah lirik lagu grup MSG (McAuley Schenker Group) yang berjudul Anytime. Tulisan ini untuk perempuanku, Rani Basyir, have a great Friday :) * Adegan ini adalah potongan dari video klip lagu tersebut.

Kamis, 18 April 2013

Selamat Jalan Pak Heru!


Hupp! Saya dan Ayos melompat turun dari truk yang membawa kami dari Sumbawa Besar. Kami baru sampai di Bima. Truk yang kami tumpangi sedang bongkar muat. Bang Lorentz, si supir truk, tampak repot membereskan barang-barang di bak truk. Musedu, si kenek belia, turut cekatan membantunya.

"Kalian makan dulu saja di warung depan itu," kata Bang Lorentz. Kami mengiyakan sarannya. Warung sepelemparan batu dari gudang bongkar muat itu bernama warung "Kediri." 

Pemiliknya adalah sepasang suami istri berusia lanjut. Mereka ramah sekali, terutama si suami: Pak Heru.



Sosoknya gampang dikenali. Berbadan tambun dan suka sekali tertawa. Rambut di kepalanya sudah nyaris tertumpas oleh usia.  Hampir tak ada supir truk lintas Nusa Tenggara yang tak mengenalnya. Sebab warungnya memang sering dijadikan tempat persinggahan truk. Pak Heru juga kocak bukan buatan. 

"Kamu anak muda, berani gak minum brotowali?" tantang Pak Heru dengan wajah yang usil. Saya yang sudah pernah mencicipi pahitnya ramuan itu jelas menggeleng kepala. Ayos yang lugu mengiyakan. Lalu pak Heru meminta sang istri membuat segelas ramuan brotowali. Dari warnanya yang gelap saja sudah tertebak kalau itu ramuan iblis.

Ayos malah menenggak habis semuanya! Ugh, entah kapan pahitnya bisa hilang dari lidah. Muka Ayos langsung berubah pucat setelah meminum ramuan keparat itu. Pak Heru tertawa keras sekali. Tubuh tambunnya sampai terguncang-guncang. Masih dengan tertawa, ia meminta istrinya mengambil madu, untuk menghilangkan rasa pahit dari brotowali.

Mengetahui kami adalah musafir, Pak Heru bersemangat sekali. 

"Truknya Lorentz masih lama, ayo kita jalan-jalan," ajak beliau. Kami jelas tak menolak. Maka dibawalah kami keliling kota Bima dengan mobil carry tua berwarna merah, mobil kesayangannya. Dari melihat Kesultanan Bima yang pernah berjaya pada masa lampau, ke pelabuhan Bima, hingga ke bekas galangan kapalnya.

Pak Heru memang pernah berprofesi sebagai pembuat kapal. Ia juga sempat berprofesi sebagai pendulang emas. Pernah juga ia berbisnis bibit ikan dengan skala masif. Segala macam pekerjaan sepertinya pernah beliau lakukan. Sekarang ia membuka warung dan sangat menikmati masa tuanya. Anak-anaknya sudah sukses dan berpencar. Namun setahun sekali mereka pulang dan berkumpul.

Selepas Isya, saya dan Ayos melanjutkan perjalanan dengan truk bang Lorentz. Kami berjanji akan mampir lagi sepulang dari Flores. 

Janji itu kami tepati. 

Dari Labuan Bajo, saya dan Ayos menaiki kapal Tilong menuju Bima. Dari pelabuhan kami naik ojek menuju RM Kediri. Pak ojek ternyata kenal dengan pak Heru. Dia bilang nyaris tak ada orang pelabuhan yang tak kenal pak Heru. "Dulu pak Heru kan juragan kapal," kata si tukang ojek.

Kami numpang mandi dan makan kenyang di RM Kediri. Tetap bayar untuk makan, namun dengan harga anak sendiri. Murah meriah. Selain itu, rasa masakan Jawa yang kami rindukan seakan menemukan jawabannya di RM Kediri. Kami meninggalkan RM Kediri dengan diantar Pak Heru ke pinggir jalan untuk mencegat bis Langsung Indah. Kami bayar separuh harga, karena salah satu anak Pak Heru kerja jadi petinggi di PO bis ini.

Itu cerita tahun 2009. Itu adalah kala terakhir saya bertemu dengan Pak Heru. 

Tahun 2011 akhir, seorang kawan asli Jember yang bekerja di Bima, sedang mudik ke Jember. Ketika dia mau balik ke Bima, saya menitipkan buku hasil perjalanan saya dengan Ayos untuk pak Heru. Kebetulan, kawan saya ini bertetangga dengan Pak Heru.

Beberapa hari kemudian, satu nomer asing menelpon saya. Ternyata pak Heru! Beliau menanyakan kabar saya dan Ayos. Menanyakan kapan kami datang ke Bima lagi. Ia kangen dengan kami berdua. Kami bilang kalau ada waktu pasti mampir Bima lagi. Percakapan kami diakhiri dengan harap pak Heru, "Semoga kalian sehat selalu dan dilindungi oleh Tuhan."

Ternyata itu saat terakhir saya bercakap dengan pak Heru.

Tadi pagi saya kaget. Kawan saya mengabarkan kalau pak Heru meninggal dunia minggu lalu. Saya yang baru saja bangun tidur langsung terjaga sepenuhnya, lalu tercenung. Mendadak mengingat pak Heru dengan segala kebaikan yang pernah terlimpah pada kami dan para musafir lainnya.

Selamat jalan Pak Heru. Kenangan tentangmu akan selalu lekat pada orang-orang yang pernah merasakan kebaikanmu. Kapan-kapan racuni Ayos dengan brotowali lagi ya! :)

Selasa, 09 April 2013

Ode Untuk Mereka


Yogyakarta tidak pernah menjadi kota yang asing bagi saya. Selalu ada kawan-kawan yang menyambut dengan tangan terbuka. Mereka dengan senang hati menjemput saya di stasiun atau terminal. Atau mengantar keliling kota. Mereka juga akan membelikan saya makan sembari jutek kalau saya memaksa bayar sendiri. "Uang Jember tak laku disini!" seloroh mereka.

Cahyo Purnomo Edi misalnya. Lelaki anggota UKM Pers Mahasiswa Ekspresi ini pernah menjemput saya dan Miko di suatu malam yang ditingkahi hujan deras di tahun 2008. Itulah saat pertama kali saya mengenal Cahyo. Pada malam yang kuyub itu pula, kami melakukan hal gila: berboncengan tiga menuju Stasiun Lempuyangan. Dengan menggunakan jas hujan, kami cuek saja membelah jalan dari Malioboro menuju stasiun. Tanpa takut akan kemungkinan ditilang.

Sejak saat itu saya akrab dengan Cahyo. Saling gojlok menggojlok.

Salah satu momen yang paling saya ingat adalah ketika saya datang ke Yogya beberapa hari setelah lebaran tahun 2008. Rencananya saya akan pergi ke Bandung. Sesampainya di Yogya, tak ada kawan yang bisa menjemput karena masih mudik. Akhirnya Cahyo yang menjemput saya. Menemani saya menginap di kontrakan kawan-kawan Ekspresi yang sedang melompong. Lalu seharian menemani saya, hingga dipungkasi dengan mengantar saya ke stasiun pada sore hari. Oh ya, sore itu hujan juga. Entah kenapa setiap diantar Cahyo ke stasiun, hujan selalu datang.

Selain Cahyo, ada pula Ardyan M. Erlangga. Saya pertama kali bertemu dengan pria kribo ini ketika dia datang ke Jember beberapa tahun silam. Sebelumnya kami beberapa kali mengobrol via dunia maya. Obrolannya tentu tak jauh-jauh dari musik atau film, dua hal yang sama-sama kami gemari. Satu hal yang membuat saya geleng-geleng kepala, Yandri seakan menyediakan ruang kosong di kepalanya untuk diisi banyak band-band cult maupun film-film di luar arus utama.

Yandri adalah kawan yang baik. Gaya guyonnya kadang-kadang ganjil. Namun tetap bisa memancing tawa yang keras. Berbincang dengannya selalu menyenangkan.

Satu hal yang paling saya ingat dari kebaikan Yandri adalah ketika saya datang untuk memulai hidup baru di Yogyakarta pada akhir tahun 2011. Saat itu saya sudah terlambat mau mencari kos, sudah penuh. Namun Yandri mengajak saya keliling untuk mencari kos. Dari Pogung hingga Bulaksumur. Akhirnya karena tak kunjung dapat kos, Yandri mempersilahkan saya untuk tinggal di kontrakannya sampai saya dapat hunian. Maka saya tinggal di kontrakannya selama nyaris 1 bulan.

Dan pada suatu malam, dengan lampu padam dan bertelanjang dada, kami saling berkisah tentang banyak hal. Ya ya ya, kami macam dua orang lelaki pecinta sesama jenis. Kami bercerita tentang perempuan-perempuan yang membuat kami patah hati. Atau para perempuan yang menangis gara-gara kami. Hingga akhirnya kami capai sendiri mengoceh dan tertidur dengan sendirinya.

Ada  pula Akhmad Khadafi alias Dafi. Pria keturunan kyai ini punya banyak sekali kisah lucu yang siap untuk diceritakan kalau suasana sedang suntuk. Bawaannya yang tenang dan jenaka juga seringkali membuat kawan-kawannya menggodanya. Oh ya, kisah cintanya cukup membuat saya miris. Duh.

Lalu ada Yoga Noviantoro dan Aditya Ari. Dua orang punggawa Ekspresi ini jarang bertemu dengan saya di awal-awal saya sering ke Yogya. Yoga sibuk dengan organisasi pecinta alamnya, kerjaan menyablon (dan akhirnya bangkrut dengan sukses), atau sibuk melayani panggilan tante-tante girang. Sedang Adit saya masih acap bertemu dengannya. Dengannya saya pernah diajak makan di angkringan yang aneh. Adit dan kawan-kawan Ekspresi menyebutnya "Angkringan Salah Itung." Karena seringkali pemiliknya salah menghitung jumlah pembayaran. Namun meski jarang bertemu, mereka tak pernah alpha mengulurkan tangan ketika saya datang ke Yogya. Mengajak saya keliling kota atau makan di angkringan hingga kokok ayam sudah mulai memecah hari yang dini.

Ada juga Prasetyo Wibowo dan Rusli Harianto. Pras, pemuda berwajah rupawan ini mendadak hilang kontak dengan saya dan kawan-kawan sejak 2 tahun lalu. Entah dia sedang sibuk apa. Tapi dulu sekali saya pernah menginap di tempat tinggalnya. Saya terkesima dengan tumpukan buku-buku di kamarnya. Banyak sekali. Bisa dibilang itu ruang buku yang ada kasurnya, bukan kamar dengan buku. Lalu Rusli, aih susah sekali mengatakan apa yang mengesankan dari pria ini. Sebab ada banyak sekali yang bisa diceritakan. Dari kemahirannya menjual barang, kegapeannya menulis puisi absurd ala Sutardji Calzoum, atau pengalaman saya menyaksikan tititnya digigit anak kucing. Saya juga lama sekali tak melihatnya. Entah kemana dia sekarang.

Dan, saya belum bercerita tentang Eddward Samadyo Kennedy ya? Namanya keren sekali bukan? Siapa yang sangka, nama panggilannya begitu aneh: Panjul.

Rasanya tak berlebihan kalau saya memanggilnya sebagai sahabat. Meski saya geli sendiri kalau memanggilnya dengan sebutan itu. Dulu pertemuan kami terasa canggung. Kala itu di Jember, sekitar tahun 2009, saya pertama kali bertemu dengan lelaki berdarah campuran Padang dan Pulo Gebang ini. Dari kesan pertama, ia angkuh. Selanjutnya? Memang angkuh. Hahaha.

Tapi pria buncit ini mengajarkan saya banyak hal. Saya berterima kasih untuk itu. Ia seringkali memarahi saya ketika saya terlalu lembek. Atau memaki saya kalau dirasa saya menjadi orang menyedihkan.

Apa yang saya ingat tentang Panjul? Banyak sekali. Salah satunya adalah ketika kami berdua sama-sama patah hati akut. Lalu tanpa ada rencana langsung pergi ke Solo naik motor. Panjul menangis, menggerung, di punggung saya, bilang kalau hatinya sakit sekali. Lalu ia ingin hujan turun, agar orang-orang tak tahu kalau ia menangis.  Saya hanya bisa mengatakan, "yang tabah ya Ple." Dasar pria lemah.

Tapi dari perjalanan itu, sepertinya patah hati kami berangsur sembuh perlahan. Lalu kami bertemu dengan perempuan-perempuan idaman masing-masing. Yang lucu, hari jadian kami dan pacar nyaris sama, hanya beda sehari. Saya tanggal 12, Panjul keesokan harinya.

Saya dan Lelaki Tukang Curhat: Panjul

Good old times. 

Cahyo, Yandri, dan Panjul

Yoga, Rusli, Nasir, Pras

Kenapa saya tiba-tiba menuliskan ini? Entahlah. Awalnya karena sedikit cemas karena melihat kawan-kawan baik saya itu tak kunjung lulus dari kuliahnya. Iya, kecuali Yandri dan Dafi, nama-nama yang saya sebut diatas itu masih menyandang status mahasiswa yang terhormat. Sudah hampir 7 tahun mereka makan bangku kuliah. Hanya sisa beberapa bulan sebelum mereka dipaksa untuk minggat dari kampus.

Kebetulan tadi saya melihat status facebook  Yoga yang nyaris putus asa karena skripsinya tak kunjung menemui jalan terang. Saya kembali sedikit cemas.

Saya tentu bukan dosen atau orang tua mereka, yang punya hak untuk memarahi dan menyuruh mereka agar lekas lulus. Saya hanya seorang kawan yang punya impian untuk berfoto bareng mereka dengan mengenakan toga. Menyaksikan senyum mereka yang merekah. Melihat mereka bangga menggunakan toga setelah sekian lama penantian dan usaha keras.

Karena lulus kuliah tidak akan merugikan siapa pun kan?

Ayo semangat cuk!

Yogyakarta, 9 April 2013

Senin, 01 April 2013

Hikayat Tito


Tito sepertinya memang sudah akrab dengan paradoks sedari lahir. Ia lahir dari bapak dan ibu yang beda kasta. Sang bapak dari kasta biasa, sedang ibu dari kasta bangsawan. Tapi nyatanya cinta tidak pernah bisa disekat, bahkan oleh tingkatan kelas sosial sekalipun. Tito lahir ke dunia dengan mata yang masih terpejam. Baru setelah beberapa hari ia berhasil membuka matanya, dan menangis ribut.

Ia tidak lahir sendirian. Ada 3 saudara lain yang turut lahir bersamaan. Mereka kembar 4. Tito adalah anak bungsu. Dalam dongeng-dongeng tentang anak kembar, anak yang lahir terakhir justru adalah anak yang paling tua. Kalau begitu adanya, Tito adalah kakak bagi ketiga adiknya. 

Adik-adiknya lahir mengikuti trah sang ibu. Mereka anggun.  Matanya biru. Sedang Tito, sendirian saja, mengikuti darah sang ayah. Dari wajah Tito, terpancar aura proletar yang tak bisa, dan tak akan pernah bisa disangkal. Wajahnya tirus. Seakan sudah ditakdirkan untuk tampak seperti sosok kaum kelaparan.

Kala sudah cukup umur, adik-adik Tito sudah dipinang orang lain. Sementara tak ada orang yang menggamit tangan Tito. Alasannya klasik: Tito tidak sekeren adik-adiknya. Tito tercenung. Sedih sepertinya. Hingga pada akhirnya ada yang mengambil Tito dari pojok rumahnya yang gelap dan dingin.

Sejak saat itu Tito memutuskan untuk setia pada orang yang mengambilnya: ibuku.

***

Entah kenapa ibuku memberi nama Tito pada kucing kecil berbulu tipis itu. Asal saja sepertinya. Kucing berwarna putih gading itu tampak kurus dan menimbulkan iba. "Ini kucing buangan" kata ibuku berkelakar.

Tito memang lahir dari trah yang berseberangan. Ibu Tito adalah kucing Persia berbulu lebat yang anggun bukan buatan. Sedang sang ayah adalah tipikal kucing garong yang suka sekali menyusup ke dalam rumah untuk mencuri sepotong cakalang atau mengobrak-abrik meja makan. Namun toh akhirnya sang putri kucing itu mau saja digombali oleh si garong. Bisa jadi di sela-sela sang empu putri kucing sedang sibuk, sang garong masuk menemui sang putri, bercinta sesaat, lalu mengucap perpisahan. Begitu berulang kali.

Hingga hasilnya tampak: 4 orang anak kucing sekaligus. Adik-adik Tito beruntung mengikuti trah ibunya. Mereka anggun, berbulu lebat, dengan ekor yang menantang gravitasi. Sedang Tito cukuplah bersyukur dengan warna putih gading, namun berbulu pendek. 

Tapi ibu saya, entah kenapa, mau saja membelinya dari seorang dokter hewan. Kalau ada jatuh cinta pada pandangan pertama, ibu saya sepertinya mengalami itu ketika jatuh cinta pada Tito.

Dibawalah pulang si kucing yang dianggap malang itu. Ibu saya merawatnya seperti anaknya sendiri. Seringkali perlakuan ibu saya menerbitkan cemburu dari anak-anak kandungnya sendiri. Kadang kalau saya iseng, saya suka sekali memukuli kepala Tito. Atau menyentil penis dan biji pelirnya. Ibu saya marah lalu mengomeli saya. Seakan saya adalah kakak yang iseng pada adik lelakinya.

Saya lupa kapan Tito datang di rumah dan jadi penghuni. Seingat saya, ketika saya SMA, Tito sudah jadi penghuni rumah. Tahu-tahu ia sudah jadi anak kesayangan ibu saya. Saking dimanjakan oleh ibu, Tito jadi songong dan arogan. Ia tak pernah mau dielus oleh orang lain. Insting kucing liar turunan dari ayahnya membuat ia selalu waspada terhadap uluran tangan orang asing. Apalagi pada saya yang mungkin selalu dianggap berbahaya. 

Tito juga hanya mau menurut pada ibu saya. Ia selalu ikut kemana ibu saya pergi. Macam Hachiko, tapi versi kucing. Tiap ibu ke pasar, Tito selalu menunggu di depan rumah. Dan ia selalu melonjak bahagia ketika ibu datang. Itu artinya ada sepotong cakalang segar untuknya. Ini uniknya Tito. Ia tak suka makanan kucing seperti Whiskas atau makanan kering untuk kucing Persia pada umumnya. Ia suka sekali cakalang dan nasi. Warisan dari sang ayah sepertinya. Bulu-bulunya tak pernah rontok walau makan nasi campur cakalang. Ibu saya pun senang karena tak perlu merogoh kocek dalam-dalam. 

Hal itu membuat Ibu saya makin tak tergoyahkan cintanya pada Tito. Pernah pada suatu masa ibu saya berternak kucing Persia dan Anggora. Pada titik paling ekstrim, ada sekitar 20-an kucing dengan kadar lucu yang yaris maksimal di rumah saya. Namun ibu tak pernah sekalipun memalingkan muka dari Tito. Apalagi mengalihkan rasa sayang. Hanya Tito yang bisa tidur di kamar ibu, hanya Tito yang setia menunggu ibu sepulang dari pasar. Meski Tito seringkali bandel, tetap ia adalah anak kesayangan ibu.

Salah satu hobi Tito adalah berkelahi dengan kucing jalanan. Sepulang dari petualangan fisik itu, Tito acap berdarah. Ibu saya lazim mengobati luka-luka itu sembari mengomel. Omelannya macam omelan ibu ke anak lelakinya yang badung. Kalau sudah diomeli, entah percaya atau tidak, Tito melengos. Macam anak lelaki yang gerah karena dicerewetin ibunya. 

Pernah suatu ketika ibu saya mengomel karena Tito kembali berdarah-darah hasil berkelahi. Setelah diobat, Tito bangkit dari pangkuan ibu, lalu mengarahkan pantatnya ke ibu, lalu, duuuttt. Tito mengentut! Ibu saya tambah mengomel macam murka ke anak durhaka. Sembari tertawa tentunya. Karena tak percaya ada kucing yang bisa mengentut sebagai bentuk protes.

Tito sekarang sudah tua. Anggap saja ia lahir 8 tahun lalu. Itu sudah angka yang uzur untuk ukuran kucing. Satu tahun umur kucing, konon, sama dengan 10 tahun umur manusia. Andaikan Tito adalah manusia, ia sudah berusia 8 dekade. Umur segitu, artinya ia sudah pernah menonton Woodstock 1969, berteriak histeris karena album baru The Doors dan The Beatles keluar, atau tergetar oleh Appetite for Destruction.

Tito belakangan suka sekali berulah. Ia semakin sering keluar malam. Berkelahi dengan kucing-kucing liar. Ia juga sering tidur di tumpukan baju yang baru saja disetrika oleh Mbak Yus. Akibatnya banyak bulu-bulu yang lengket di baju. Ia juga --ini hal yang jarang terjadi-- buang air sembarangan. Kalau sekedar buang air kecil, ia sering melakukannya di sudut-sudut rumah, penandaan daerah kekuasaan. Namun ia nyaris tak pernah buang air besar sembarangan. Hingga beberapa hari terakhir ini.

Ia sudah tampak seperti manusia lanjut umur yang malas-malasan menunggu kapan nyawa dicabut. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk membunuh kebosanan, selain beradu cakar dengan kucing liar atau mengotori tumpukan baju bersih. Atau membuat Mbak Yus sibuk membersihkan kotorannya di pojok rumah. 

Saya membayangkan kalau Tito meninggal karena umur yang sudah mengizinkan. Ibu saya pasti akan menangis, lalu jatuh sakit. Dulu ketika kucing Persia pertamanya, yang saya namai Axl, meninggal, ibu jatuh sakit selama beberapa hari. Tentu dengan diiringi menangis yang tersedu sedan.

Tito sekarang sedang menyaksikan dunia dari sudut pandang seorang kucing yang sudah bosan menyaksikan dunia berputar. Ia sudah menyaksikan segalanya. Ia sudah menyaksikan keajaiban, kemustahilan, juga hal-hal remeh lainnya. Ia sendiri adalah bukti dari keajaiban kisah cinta ala dongeng. Baginya, hidup sekarang tinggal menunggu ajal datang menggamit.

Malam ini Tito kembali buang air besar di ruang komputer, setelah sebelumnya di perpustakaan. Gara-gara itu, saya menutup hidung sembari menulis memoar tentangnya. Sedang Tito, entah dimana, hanya akan menganggap itu keisengan rutin sebelum nanti ia mati. []

post-scriptum: Dulu saya punya beberapa foto Tito, tapi saya lupa menaruhnya dimana. Kalau sudah ketemu, nanti akan saya unggah sebagai bagian dari tulisan ini.