Rabu, 27 Agustus 2014

Jadi Pertapa?

Kemarin adik bungsu saya cerita dengan semangat, sekaligus kesal, soal antrian pembeli bensin di Jember. Katanya, antrian mencapai ratusan meter. Ia tak sedang melebih-lebihkan. Menurut berita yang saya baca di berbagai surat kabar, antrian kendaraan pembeli bensin premium di Jember ini mencapai 500 meter. Adik bungsu saya sampai rela tidur di Mastrip, di rumah saudara, demi menghemat pengeluaran bensin. Maklum, rumah kami jauh dari daerah kampus.

BBM memang direncakan akan naik. Tentu ada banyak pro kontra. Semua dengan teori ilmiah dan perhitungan masing-masing.

Yang pro, mengatakan kalau subsidi BBM sudah mengambil banyak jatah APBN. Konon angka subsidi itu mencapai 330 triliun rupiah. Demi penghematan, agar APBN tak jebol, maka harga BBM harus naik. Penghematan itu bisa dilakukan untuk membangun infrastruktur. Jalan, pelabuhan, jembatan, sekolah, dsb.

Sedang yang kontra mengatakan, kenaikan harga BBM bukanlah sesuatu yang patut didahulukan. Yang harus dibenahi lebih dulu adalah sektor hulu. Memberantas mafia migas, misalkan. Para kaum kontra kenaikan harga BBM juga mengatakan ada banyak opsi lain yang bisa diambil selain menaikkan harga BBM.

Salah satunya adalah menaikkan pajak kendaraan bermotor.

Saat ini, Indonesia termasuk negara dengan pajak kendaraan bermotor yang rendah. Hanya 1,5 % dari harga kendaraan. Dan tiap tahun pasti turun, mengikuti harga kendaraan yang juga akan turun. Ditambah dengan kemudahan memiliki kendaraan bermotor, maka melonjaklah jumlah kepemilikan kendaraan bermotor tiap tahunnya.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia, ada 86 juta unit motor pribadi dan 10,54 juta unit mobil pribadi pada tahun 2013. Masing-masing meningkat 11 persen dari tahun sebelumnya. 

Tahun ini diprediksi ada kenaikan masing-masing 1 juta kendaraan.

Perdebatan pro kontra kenaikan BBM ini panjang, akan selalu panjang, dan nyaris tanpa ujung. Saya sendiri, secara pribadi, menolak kenaikan harga BBM. Ada beberapa alasan. Alasan yang sok heroik: kenaikan harga BBM selalu diikuti oleh kenaikan harga barang pokok. Itu artinya, pengeluaran semakin bertambah, sedangkan pemasukan jalan di tempat.

Tahun lalu, kenaikan harga BBM menambah 1 juta penduduk miskin baru. Mereka yang sebelumnya masih berada tipis di atas garis kemiskinan, rawan terperosok ke bawah garis kemiskinan. Sedangkan mereka yang sudah miskin, akan semakin miskin.

Alasan yang lebih sederhana dan personal, dan ini alasan yang juga sangat penting buat saya: kenaikan ini akan menambah beban para pekerja seperti saya dan para pekerja yang tadinya berada tipis di atas garis kemiskinan.

Tadi sore Poetra, office boy di kantor, menawarkan beli bakso. Menggiurkan bukan, menyantap bakso kala sore datang. Sayang, dompet bikin meringis. 10 hari sebelum gajian memang masa pertapaan. Masa nelangsa. Masa prihatin. Masa yang jika berlangsung terus-terusan bisa membuatmu jadi sufi dan pertapa.

Saya akhirnya menolak ajakan Poetra beli bakso. Mending duitnya saya simpan buat beli bensin saja, batin saya. Namun ternyata Tito, seorang kawan reporter, berbaik hati membayari saya dan beberapa orang kawan makan bakso. Semoga itu bukan uang jale. Hihihi.

Mico, kawan karib saya yang lain, juga ingin makan bakso. Tapi dasar lelet, ia terlambat bilang iya. Sehingga Poetra sudah membeli berdasar pesanan. Saat Poetra menawarkan diri untuk pergi beli bakso lagi, Mico menggeleng. Ia sama seperti saya. Tak punya uang berlebih untuk jajan di sore hari.

Kejadian menggiriskan ini terjadi sebelum harga BBM naik. Bayangkan kalau harga BBM sudah naik. Berapa puluh atau ratus ribu uang jajan, uang rokok bagi para perokok, atau uang beli buku yang harus hilang? Harus dialihkan ke uang beli bensin.

Saya sendiri kepikiran alokasi dana untuk jajan rock --istilah saya dan kawan-kawan untuk menyebut alokasi dana untuk beli CD musik, kaos band, atau beli buku. Sementara beli CD dan kaos bisa ditunda, karena tak selamanya ada CD atau kaos yang layak dibeli, tak demikian halnya dengan buku.

Meski saya tak segila beberapa kawan saya yang lain dalam hal membeli buku, bagi saya beli buku adalah kewajiban tiap bulan. Ia bukan lagi kebutuhan tersier. Sudah masuk dalam tahapan kebutuhan primer. Tiap bulan saya selalu mengalokasikan dana sekitar 200 hingga 300 ribu untuk beli buku.

Mungkin ini tampak sekedar sepele belaka. Namun ditambah dengan beban aneka cicilan dan pengeluaran bulanan yang lain, para pekerja seperti saya atau Mico rawan jatuh dalam golongan, yang oleh pemerintah disebut sebagai: orang miskin.

Atau mungkin sebaiknya saya berlatih jadi pertapa sejak hari ini? []

Senin, 25 Agustus 2014

Untuk Mereka yang Ketakutan

Ingat adegan dalam film Dead Poet Society? Ketika itu, John Keating, sang guru yang diperankan dengan baik oleh Robin Williams, menyuruh seorang murid untuk membacakan definisi puisi. Sang murid menurutinya.

Lalu apa yang dilakukan Keating?

"Robek halaman itu."

Si murid kaget. Tapi Keating bersikeras. "Iya, robek saja. Go on!"

Adegan itu, selain bersejarah, juga merupakan sebuah simbol yang sangat dahsyat. Bahwa puisi tak seharusnya dibatasi oleh ini itu. Puisi bukan matematika. Bukan ilmu pasti. Dari sorot mata Keating, memperlakukan puisi seperti memperlakukan matematika adalah sebuah penghinaan.

Saya merasa simbol itu bisa diterapkan pada hal lain. Apapun itu. Menulis misalkan. 

Dulu di UKM saya, hampir semua penulis jago analisis. Mau analisis bahasa, pendedahan dengan teori cultural studies, hingga filsafat. Tulisan mereka canggih. Saya sedikit keder. Tapi saya selalu diajari bahwa menulis lah lebih dulu. Tak usah terbebani dengan ini itu. Free your mind and start to write, kata para senior saya di UKM Tegalboto dulu.

Menulis, bagi saya, adalah usaha pembebasan. Paling tidak membebaskan pikiran di kepala. Karena itu agak sedikit merepotkan kalau seorang penulis merasa terbebani dengan hal-hal lain di luar tulis menulis.

Maka saya menulis apa saja yang saya suka. Curahan hati. Menulis musik. Menulis perjalanan. Terus menulis dan menulis. Betapa sangat menyenangkannya hal itu. Menulis tanpa pretensi apapun. Tak berharap dibaca orang. Tak berharap tulisan ini akan membantu umat manusia. Apalagi mengubah nasib mereka.

Sebut saya naif. Tapi kesukaan saya menulis karena berawal dari hal itu. Betapa menyenangkannya melakukan sesuatu hal tanpa keinginan macam-macam. Ini juga berlaku pada hobi saya yang lain. Pada awal saya suka jalan-jalan lintas kota, saya hanya berangkat dari keinginan melihat kota, bertemu manusia, dan merasakan betapa gagahnya rambut gondrong yang tertiup angin saat berdiri di pintu kereta. Saya terinspirasi oleh Roy! 

Waktu itu saya berpikir, jalan-jalan ya jalan saja. Sama sekali tak ada keinginan muluk-muluk. Mengubah nasib kaum miskin kota, misalkan. Hanya ingin berjalan-jalan. Titik. Ada yang salah dengan itu? Kalaupun iya, apa saya peduli pendapatmu? Tentu tidak. Hehehe.

Dan betapa merepotkannya melakukan sesuau sekarang. Mau berjalan-jalan tanpa visi misi, dibilang hanya melakukan kegiatan yang hedon dan narsis. Mau menulis apa adanya, dibilang bisa merusak suatu destinasi. Aduh. Merepotkan benar ya?

Padahal waktu Ernesto Guevara berkelana bareng Alberto Granado, mereka sama sekali tak punya keinginan heroik. Mereka hanya ingin merasakan romantika lelaki. Walau kelak perjalanan itu mengubah banyak hal dalam hidup mereka, toh mereka tak dengan pongah menuntut para pejalan untuk mengikuti jejaknya; tak juga menyuruh ini dan itu; bahwa pejalan harus ini dan itu. Mungkin mereka sadar, bahwa perjalanan itu adalah kegiatan yang sangat personal dan tak perlu dipaksakan. Tak perlu diseragamkan. Apalagi diberi definisi.

Beberapa orang terpenjara ketakutan-ketakutan macam itu. Dalam menulis, acap orang takut bahwa tulisannya akan jelek, tak layak baca. Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan lanjutan: Apakah tulisan saya akan dibaca banyak orang? Apakah tulisan saya akan menyelamatkan dunia? Apakah tulisan saya akan merusak sebuah tempat? Biasanya ketakutan dan beban macam itu yang akan membuat kertasmu polos. Tak tertulisi apa-apa.

Ketakutan itu malah jadi penjara. Ra sido nulis malahan.

Dan orang yang berangkat menulis dengan pretensi muluk-muluk menyelamatkan dunia itu biasanya adalah orang yang snobbish sekaligus naif. Mereka merasa dunia bisa diselamatkan hanya dengan tulisan. 

Yes, idea and writing can change the world. Tapi hanya sekedar tulisan bisa menyelamatkan dunia? Itu sama dengan berpikir bahwa dunia akan jadi lebih baik dengan rock n roll. Never happen. Will never happen

Lennon menuliskan "Imagine", Jim Morrison menuliskan "Unknown Soldier" berpuluh tahun lampau. Lihatlah dunia sekarang, berpuluh tahun kemudian: orang masih berperang dan saling bunuh dengan aneka ria alasan sepele.

Kalau kelak ada orang yang menyalahkan tulisanmu, tenanglah: langit tak akan runtuh. Dan yang jelas, kau tak akan bisa menyenangkan semua orang. Itulah mungkin pentingnya menulis tanpa beban.

Saya tak ingin jadi seperti Mario Teguh: tulisanmu pada masa lalu, tulisan dengan mutu yang paling buruk, adalah proses belajar yang sangat baik. Tak ada tulisan baik tanpa tulisan buruk. Sampai sekarang saya masih menyimpan blog lama saya. Tak menghapusnya. Agar kalau kelak saya ingin menengok lagi ke belakang, saya tinggal membaca ulang. Sedikit banyak hal itu bisa memberi semangat. Bahwa kemajuan itu pasti terjadi kalau terus belajar.

Mungkin saya hanya akan mengulang apa yang diajarkan pada saya: Just write!

Tebet, 25 Agustus 2014
02.13 WIB

Post-scriptum: sebenarnya aku ingin sekali menyitir nama Jack Kerouac atau Hunther S Thompson: sifu yang mengajarkan pada dunia betapa pentingnya menulis bebas dan tanpa pusing dengan aturan ini itu. Tapi apa daya, internet saya ngadat dan tak bisa Googling "Jack Kerouac quotes". []