Tampilkan postingan dengan label Ngomel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ngomel. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Februari 2015

Bahagia

Gambar dari situs Dezeen

Percaya atau tidak, hewan ternak yang bahagia cenderung punya rasa daging yang lebih enak. Sapi Kobe dikenal sebagai salah satu daging terbaik di dunia. Pakannya rumput kelas tinggi. Mereka bahkan rutin dipijat. Kalau itu belum cukup, mereka juga diberi minum bir kualitas yahud. Hasilnya? Daging yang lembut dan konon lumer di lidah.

Tentu hal ini bisa dijadikan perdebatan, apakah mereka benar-benar bahagia? Bagaimana mereka bisa bahagia kalau tak lama lagi akan disembelih dan menjadi pengisi perut para karnivora? Tapi biarkan saja perdebatan itu, dan anggap saja mereka bahagia.

Tahun 2003, para peneliti dari Penn State University, punya gawean selo. Mereka meneliti para ayam dengan kandang yang nyaman, juga ayam yang dibiarkan bebas berkeliaran di pekarangan. Hasil penelitiannya: telur ayam yang dihasilkan mengandung zat Omega 3 lebih tinggi. Juga lebih kaya vitamin A dan E.

Mungkin berangkat dari penelitian-yang-sekilas-tampak-selo-tapi-penting ini, para arsitek mulai dilibatkan untuk membangun kandang hewan ternak. Kenapa kandang? Karena rumah yang nyaman adalah salah satu pemasok kebahagiaan. Makanya ada istilah sandang, pangan, papan sebagai kebutuhan utama kita.

Proyek kandang tidak main-main. Riset dilakukan dengan serius. Bentuknya pun tak kalah dengan proyek arsitektur yang dibuat untuk manusia.

Arsitek asal Swedia, Torsten Ottesjö, misalkan. Membuat kandang ayam berbentuk sayap ayam. Ini penuh makna filosofis. Diharapkan, kandang ini bisa berlaku sebagai sayap induk yang selalu melindungi.

Tak kurang, Torsten membuat desain kandang ayam ini dengan sangat detail. Ia mengatur jarak antar kayu, supaya ayam tetap mendapat pasokan cahaya alami yang cukup. Kalau masih merasa kurang atas keseriusannya, bayangkan: kandang ini dibangun di atas bebatuan pantai barat Swedia. Langsung menghadap ke laut.

Bahkan mungkin seumur hidup, saya tak akan mampu membangun rumah di daerah itu. Mahal jeh.

Proyek kandang ayam juga dikerjakan oleh arsitek asal Belanda, Frederik Roije. Ia membuat desain kandang yang diberi nama Breed and Retreat.

Desain ini ia pamerkan dengan bangga di Galeri Ventura Lambrate di pagelaran Milan Design Week 2010. Kala banyak arsitek memamerkan desain rumah mewah, atau gedung dengan desain yang rumit, meneer Belanda ini dengan bangga memamerkan kandang ayam.

Tak sekedar bangunan biasa, kandang ayam buatannya mengandung makna filosofis. Ia mengharapkan kandang ayam ini bisa mengingatkan kita untuk 'menghormati' ayam yang sudah berjasa memasok protein bagi umat manusia.

"Kandang ini untuk menghilangkan keasingan dari asal usul kita. Menghormati alam itu sangat perlu. Dengan mendesain tempat yang istimewa, ini artinya memberi ruang bagi alam, bahkan di masyarakat urban sekalipun," katanya. Filosofis bukan?

Baru-baru ini, biro arsitek terkenal asal New York, Architecture Research Office (ARO) membuat kandang ayam yang memadukan lempengan logam dan kayu. Lagi-lagi, desain dan detailnya pun dibuat dengan serius.

Lantainya saja, selain dilapisi jerami, tanah, dan serbuk kayu, juga diberi penghangat di lapisan terbawahnya. Ini untuk menjaga ayam tetap hangat.

Sebelum mendesain kandang yang cukup bagi 8 ekor ayam indukan untuk berkejaran ini, ARO sampai merasa perlu melakukan riset dan kebiasaan ayam. Ini dilakukan untuk mendapatkan data semisal berapa luas ideal ruang yang diperlukan ayam, bagaimana panas yang baik, atau seperti apa ventilasi yang dibutuhkan ayam agar bisa berkembang dan bereproduksi dengan baik.

"Kami mengawasi segalanya, dari ukuran kandang yang cocok untuk ukuran ayam, lokasi kotak untuk telur ayam, dan akses untuk memanen telurnya," kata Stephen Cassell, arsitek kandang ini sekaligus salah satu pendiri ARO.

Kandang ayam ini dibuat dari papan kayu, yang membentuk cembungan seperti busur. Penutup dinding dibuat dari kayu cedar. Sirapnya terbuat dari alumunium, dengan ujung yang ditekuk. Selain memberi ruang untuk masuknya cahaya, tekukan ini menghasilkan bayangan yang indah saat kandang diterpa sinar matahari.

Kandang ini punya dua pintu di ujung. Satu untuk ayam, dan satu lagi untuk manusia. Di dalam kandang, tiap sisi dinding diisi oleh delapan kotak tempat ayam bertelur dan mengeram. Selain itu, ada beberapa tiang untuk tempat menclok si ayam.

Selama masa pembuatan dan riset, tim ARO juga mengindentifikasi enam jenis predator yang bisa membahayakan ayam dan juga telurnya. Mulai dari musang, hingga burung pemangsa. Tim ARO lantas membuat pondasi dari beton, supaya pemangsa tidak bisa menggali tanah untuk masuk dalam kandang.

Segitu perhatiannya. Mengharukan sekali.

Kandang ayam ternak seperti ini seolah menyindir dan memukul telak peternakan ayam industrial yang mengorbankan kenyamanan ayam demi untung yang lebih besar.

Dalam film dokumenter Food, Inc. kita bisa menyaksikan betapa kejam peternakan ayam industrial itu. Kandang besar, namun menampung ayam dalam jumlah yang berlebihan. Ayam berdesakan, banyak yang mati karena kekurangan nafas. Para peternak yang menjual ayam mereka untuk restoran waralaba ini juga menutup celah untuk masuknya cahaya. Konon, ini cara cepat untuk menggemukkan ayam.

Namun hasilnya bisa kita rasakan sama-sama. Daging ayam yang kita makan di restoran waralaba internasional itu memang tebal. Namun sonder rasa, meskipun konon sudah dibumbui dengan "resep rahasia turun temurun".

Bisa jadi ini karena hidup ayam itu sama sekali tak bahagia.

Kandang yang dibuat oleh beberapa arsitek di atas itu seharusnya membuat kita sadar, hewan ternak tak jauh beda dengan manusia: sama-sama membutuhkan rumah yang nyaman. []

Selasa, 30 Desember 2014

27 and Life

Saya selalu berpikir kalau hidup saya akan berakhir di umur 27.

Atau setidaknya bunuh diri di umur 27.

Ternyata perkiraan yang saya buat saat masih berambut gondrong dan mengimani The Doors mati-matian, meleset total. Saya masih hidup hingga sekarang, beberapa hari setelah usia saya resmi 27. Saya belum mati. Pun, belum bernyali untuk bunuh diri. Mendadak saya jadi tertawa kecil mengingat kemauan saya dulu. Saya dulu ingin mati bunuh diri, seandainya saya tak mati di umur 27. Sekarang, keinginan itu terasa seperti mimpi lugu para remaja yang terlalu banyak menenggak LSD dan mendengar Janis Joplin.

Umur 27 saya sambut dengan biasa saja. Walau konon umur itu adalah umur keramat. Yang konon juga, akan menentukan jalan hidupmu kelak. Beberapa keputusan penting dalam hidupmu akan dibuat di umur 27. Katanya demikian.

Bagi saya, salah satu kepentingan penting dalam hidup sudah saya ambil beberapa bulan sebelum menginjak umur 27. Menikah. Iya, saya memutuskan untuk menikah 8 bulan sebelum umur 27. Sebelumnya, pindah ke Jakarta juga menjadi salah satu keputusan penting dalam hidup saya.

Semalam sebelum ulang tahun, Rani menanyakan saya mau kado apa. Jujur, saya bingung. Saya berasal dari keluarga yang tak begitu peduli dengan perayaan ulang tahun. Beberapa kali, saya lupa ulang tahun ayah, mamak, adik dan kakak, bahkan ulang tahun saya sendiri. Jadi ritual ulang tahun, atau menerima kado, bukan sesuatu yang sering saya alami.

Tapi Rani selalu membuat ulang tahun saya jadi istimewa. Beberapa jam sebelum jam 12 tiba, ia sudah mengucapkan selamat ulang tahun.

"Mau kado apa?"

"Hmm... gimana kalau gitar?"

Rani diam sejenak. Lalu menyahut. "Oke deh."

Saya terlonjak girang. Tak menyangka ia mengiyakan permintaan saya. Maklum, sebagai pengantin baru, tanggungan kami begitu banyak. Semua hal klise seperti bayar kontrakan, listrik, belanja bulanan, dan beberapa hutang lain. Beli gitar tentu bukanlah sebuah prioritas.

Tapi ternyata lidah dan muka saya cukup membuat Rani jadi terharu. Ia mengabulkan permintaan saya. Beberapa jam kemudian, ia terlihat menyesali keputusannya ini. Hahaha. 

Akhirnya, dua hari selepas ulang tahun, saya dan Rani pergi ke sebuah toko musik di bilangan Kebayoran Baru. Satu gitar berwarna natural saya pilih. Senyum saya terkembang lebar. Kepala Rani langsung pusing, cenat cenut memikirkan penataan ulang beban fiskal rumah tangga bulan ini. 

Gara-gara gitar itu, saya menemukan kembali kecintaan lama terhadap gitar. Rasa girang dan ingin mengulik lagu muncul lagi. Rasa senang itu sebenarnya diikuti oleh aduhan. Jari saya melepuh, karena lama tak pernah menekan senar gitar. Beberapa hari kemudian, ujung-ujung jari mulai mengapal. Rasa sakit mulai hilang.

Rumah jadi mendadak bising karena saya main gitar. Rani kadang ngomel, karena saya tak mengenal waktu. Jam 12 malam, saya pun sibuk genjrang genjreng. Terakhir, ia menyuruh saya mengamen di sepanjang Tebet, agar modal beli gitar bisa balik. Dasar istri tak solehah.

Soal gitar ini mungkin akan saya tulis di postingan yang lain.

Intinya, saya bersyukur saya tak jadi mati di umur 27 pas. Juga bersyukur saya tak punya nyali buat mengakhiri nyawa sendiri. Ternyata hidup menyenangkan. Memberi saya kejutan-kejutan baru. Saya yakin, akan ada banyak cerita dan kejutan lain yang menanti saya di simpangan-simpangan hidup berikutnya.

Tapi umur 27 juga memberi saya peringatan-peringatan kecil. Seperti sengatan-sengatan di bagian bahu selepas makan panganan kolesterol. Atau nafas yang sudah jadi pendek-pendek. Naik tangga dua lantai saja sudah macam lari maraton 15 kilometer. Sinyal kecil semacam itu mungkin muncul untuk memberi peringatan: kau tak bisa serampangan lagi dalam mengatur hidup!

Perihal hidup selepas 27 yang konon hanya menunda kekalahan, tak apa lah. Toh saya juga bukan orang yang menganggap hidup adalah perihal menang atau kalah. Menikmati hidup tampaknya lebih mengasyikkan ketimbang memikirkan menang atau kalah.

Jadi, umur, sampai jumpa tahun depan.[]

Kamis, 26 Juni 2014

Surat Untuk Mamak

Selamat sore Mamakku tersayang. 

Cuaca di Jakarta sedang mendung seharian. Siang tadi malah sempat hujan. Putra, asisten rumah tangga di kantor, siang tadi memasakkan spagehtti aglio o lio dan segelas teh hangat untukku. Segera setelah aku datang. Aku jadi rindu masakanmu.

Sore sedang di ujung waktu, saat aku menanyakan padamu siapa calon presiden yang akan kau coblos tanggal 9 Juli nanti.

"Prabowo," katamu pendek.

Aku terkesiap. Namun juga memaklumi. Aku sebenarnya sudah menduga kalau mamak akan memilih Prabowo. Bukan karena rekam jejak mantan jenderal itu bersih, ataupun deretan prestasinya. Tapi agar aku yakin, aku menanyakan lagi kenapa memilih Mamak memilih Prabowo.

"Jokowi itu orangnya planga-plongo. Bonekanya Megawati. Mamak gak suka sama Megawati, ayah juga," balasmu lewat pesan pendek.

Aku mahfum dengan alasan itu.

Banyak dari kawan-kawanku memilih, atau paling tidak menyatakan diri mendukung Prabowo, karena menganggap Jokowi tidak tegas. Jokowi adalah boneka Megawati. Beberapa lagi bahkan mengatakan dengan tegas kalau Jokowi adalah antek asing yang akan menyingkirkan Islam kalau ia terpilih jadi presiden. Entah ia dapatkan firasat itu dari mana.

Saya tentu tak bisa menyalahkan mereka. Pada masa dimana informasi berlalu lalang secepat arus sungai kala banjir, orang jadi bingung: info mana yang benar, dan mana pula yang salah. Saat itulah, seperti kata Joseph Goebells, kebohongan pun bisa jadi kebenaran. Seperti pendapat kalau Jokowi adalah presiden boneka; Jokowi tidak tegas; hingga Jokowi berasal dari keluarga Kristen. Semua kebohongan itu dianggap sebagai kebenaran.

Tapi Jokowi bukanlah boneka. Ia manusia yang berdaulat. Pun tegas bukan buatan. Kalau mamak tak percaya, tanya saja beberapa pejabat di Solo ataupun DKI Jakarta yang ia copot, atau ia mutasi, karena tak mau bekerja dalam sistem yang ia bangun. Dan sepanjang pengetahuanku, tak sekalipun Jokowi bertindak karena disuruh oleh Megawati.

Mamak tersayang.

Aku tahu kalau kau tidak suka Megawati. Ayah pun demikian. Aku tahu kalau kalian adalah orang Muhammadiyah yang sangat mengagumi Amien Rais. Ia berkibar sebagai cendekiawan muslim di masa senjakala Orde Baru, dan dianggap sebagai pahlawan reformasi pada awal zaman baru berkumandang.

Namun sekarang sudah berubah Mak. Andai saja Mamak tahu, Amien kini sudah menunjukkan watak sebenarnya. Ia adalah Sengkuni, tokoh pewayangan yang digambarkan sebagai tokoh yang licik, licin, pun culas. Ia pernah memuja Jokowi setinggi langit. Amien bahkan menabalkan Jokowi dan Hatta Rajasa --anak didiknya yang tak kalah licin dari Partai Amanat Nasional-- sebagai Soekarno Hatta baru. 

Kita tahu, Jokowi menolak Hatta menjadi wakilnya. Dan kita pun tahu kalau akhirnya Hatta menyebrang jadi wakil Prabowo. Lantas kita pun sama-sama tahu: Amien membuang jauh-jauh integritas intelektualnya; menyerang Jokowi membabibuta; dan mencoreng mukanya sendiri dengan tahi karena mengeluarkan beberapa pernyataan yang imbisil. 

Aku tahu Mamak pasti sedih kalau Amien berubah. Ah, atau memang itu wataknya sedari dulu? Ayah pun pasti misuh-misuh dalam kuburnya andai saja kabar ini ia dengar. Tapi setiap orang pasti pernah mengidolakan orang yang salah. Sama waktu dulu aku mengidolakan J.C Chase dari N Sync atau Stinky.

Sejak awal mendapatkan hak memilih dalam Pemilihan Umum, aku selalu memutuskan untuk tidak mencoblos. Golongan putih. Bukan karena apa, tapi karena tak ada pemimpin yang layak untuk aku pilih. Dalam 9 tahun terakhir--sejak aku punya hak pilih-- aku hanya mencoblos mamak saat pemilihan kepala desa beberapa tahun silam. Lain itu, tak pernah.

Namun kali ini aku memutuskan untuk memilih, Mak. Memilih Jokowi tentu saja. Aku punya alasan untuk ini. Aku tahu kita bersebrangan. Tapi sedari dulu kita sama-sama sepakat, kalau kita tak harus sejalan.

"Kenapa memilih Jokowi le?" Itu pasti pertanyaanmu.

Aduh, ada banyak sekali alasan kenapa aku harus memilih Jokowi, Mak. Akan aku tulis beberapa saja alasannya. Jadi Mamak tahu kalau aku memilih dengan pertimbangan-pertimbangan penting dalam bernegara, tak sekedar pertimbangan agama belaka.

Jokowi adalah pemimpin sekaligus pekerja Mak. Ia bukan pejabat. Ia bukan boss. Kalau boss, apalagi pejabat, tahunya hanya memberi instruksi. Tak akan pernah turun ke lapangan dan ikut bekerja. Namun Jokowi, pria krempeng yang tampak rapuh ini, ia mau bekerja. Aku tergetar Mak, waktu melihat ia berada di waduk Katulampa yang jebol hingga tengah malam. Menemani dan memberi instruksi para pekerja. Coba cari, siapa pejabat publik kita yang mau seperti itu? Mungkin hanya bisa dihitung dengan jari.

Pemimpin yang seperti itu yang kita butuhkan kan Mak? Aku masih ingat kok waktu Mamak menggerutu waktu membaca koran atau menonton berita, bagaimana anggota Dewan Perwakilan Rakyat menghamburkan uang rakyat untuk studi banding ke luar negeri. Atau bagaimana pejabat macam mantan Gubernur DKI Jakarta yang berkumis itu, dengan gaya ala Django, menerabas lalu lintas, melawan arus jalan, dengan sirene meraung-raung, hanya agar cepat sampai di rumah. No, we don't need those kind of scumbags to be our leader.

Dan yang penting, ini juga menurutku yang paling penting, adalah ia memanusiakan manusia. Nguwongke wong, kalau kata orang Jawa.

Ini adalah zaman dimana cinta dibuang, mengutip Iwan Fals. Orang kaya menindas orang miskin. Hebatnya, Jokowi berhasil memanusiakan kaum-kaum proletar. Para Pedagang Kaki Lima di Solo tentu tak akan lupa bagaimana mereka diundang makan hingga 52 kali, diberi stan gratis, dan diarak dengan upacara ala Keraton saat berpindah tempat. Para penghuni bantaran waduk Pluit juga pasti sangat senang karena dimanusiakan. Diberinya mereka rumah susun dengan harga sewa yang teramat murah. Lengkap dengan fasilitas seperti kasur, kulkas, dan kompor. Anak-anak mereka dibangunkan taman bermain, hingga tak kehilangan masa kanak-kanaknya.

Aku pernah dapat kerjaan menulis buku tentang Solo sekitar tiga tahun silam. Saat itu aku tahu betapa Solo sudah sangat berbeda ketimbang saat aku mengunjunginya bareng ayah pada tahun 2000 dulu. Sekarang pasarnya rapi. Bersih. Dan yang aku tangkap dari binar mata para pedagang, aku sadar kalau mereka sangat menghargai dan menghormati Jokowi.

Jokowi sama sekali bukan pemimpin yang ditakuti mak. Mamak tahu tidak kalau 90 persen lebih warga Solo memilih Jokowi dalam pemilihan periode kedua? Itu artinya, warga Solo merasakan kerja Jokowi. Dan rakyat kecil, macam pedagang hingga tukang becak, turut mengantarkan Jokowi untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Mereka tak merasa ditinggalkan, apalagi dikhianati. Mereka malah bangga, bahwa pemimpinnya, putra Asli Solo, dibutuhkan oleh banyak orang. Mereka tak mau egois. 

Sekarang aku melihat banyak orang Jakarta yang juga mendukung Jokowi untuk jadi Presiden Mak. Mereka, yang aku temui, juga tak merasa ditinggalkan, ataupun dikhianati. Warga DKI Jakarta juga sama seperti warga Solo. Mereka sadar bahwa Jokowi sudah dibutuhkan oleh Indonesia. Tak sekedar daerah saja. Mereka ramai-ramai menjadi sukarelawan. Ikut urunan untuk kebutuhan dana kampanye Jokowi. Bahkan sukarela menghelat acara dukungan, seperti Rock the Vote dan gowes sepeda bareng, beberapa waktu lalu.

Mamak adalah ibu dari empat orang anak yang sudah dewasa. Tiga orang sudah lulus kuliah, dan tinggal si Bungsu yang masih kuliah. Dan aku yakin mamak pasti tak ingin bernasib seperti para ibu-ibu Kamisan.

Mamak tahu kah soal aksi Kamisan itu? Para ibu-ibu itu, dengan baju hitam segelap malam, berdiri tiap Kamis sore di depan istana. Mereka adalah ibu-ibu yang kehilangan anaknya karena diculik pada masa genting perlawanan terhadap Orde Baru. Anak dan orang-orang terkasih mereka belum kembali hingga sekarang. Kejelasan nasib tak pernah mereka dapatkan. Jangankan itu, tak ada seorang pun di dalam istana kekuasaan yang perduli dan menyambangi mereka. 

Tahukah Mamak siapakah aktor dibalik diculiknya para anak dari ibu-ibu tangguh itu? Salah satunya adalah Prabowo, orang yang akan mamak pilih pada pemilihan presiden 9 Juli mendatang. Ia mengaku sendiri telah menculik aktivis mahasiswa kala itu. Dengan inisiatif sendiri. Karena itu ia diberhentikan dengan hormat --sebenarnya ia dipecat, namun karena ia menantu dari sang raja Soeharto, maka istilah itu dihaluskan.

Tidak Mak, aku tidak jadi tim sukses Jokowi. Tak pula mendapat bayaran. Aku hanya bergabung dengan rombongan orang-orang yang ingin perubahan. Dengan Jokowi yang memimpin rombongan ini.

Kita sama-sama tahu kalau Jokowi bukanlah pemimpin yang sempurna. Ia punya banyak kekurangan, tentu saja. Dalam rombongannya pun banyak orang jahat yang ingin cari aman. Namun Jokowi adalah simbol perubahan. Pemimpin muda generasi baru. Dengan harapan itulah, kami, para relawan yang mendukung Jokowi, berharap ia akan mengubah banyak hal buruk jadi hal yang lebih baik.

Aku sudah menikah mak. Kalau tuhan mengizinkan, aku akan punya anak. Semoga dalam waktu dekat. Aku ingin anakku kelak tumbuh dalam Indonesia yang tenang, aman, damai, dan nyaman. Aku tak ingin anakku tumbuh dalam kultur prasangka dan saling menyakiti hanya karena perbedaan. Aku tak ingin anakku hidup dalam ketakutan. Apalagi membayangkan kalau kelak ia dewasa dan jadi anak yang kritis, aku tak ingin ia diciduk, diculik, dan nyawanya dihilangkan.

Aku sadar, Mamak mungkin tak akan mudah mengubah pendirian. Mamak adalah perempuan berhati teguh, kadang kepala batu. Dan itu menurun pula ke aku. Karena itu aku tak berharap apa-apa dalam tulisan ini. Aku hanya ingin berdiskusi seperti biasanya. Seperti di sore-sore dulu, dimana kita bercakap sebelum adzan Maghrib memanggil.

Salam hangat dari Jakarta

Anakmu yang paling badung.

Senin, 26 Mei 2014

Paralel

Kenangan adalah sesuatu yang rangup. Betapa mudah ia terberai ketika dihantam waktu...

Saya dulu pernah menghabiskan waktu nyaris setahun dengan menjadi penduduk Raden Patah. Itu nama ruas jalan tempat SD saya. Saat itu saya kelas 6  SD. Orang tua saat itu menitipkan saya dan Kiki ke rumah saudara jauh.  Ngekos. Tujuannya? Agar kami les di rumah guru setiap hari.

Jadwalnya begini.

Subuh, sekitar jam 4.30, saya dan Kiki bangun. Lalu, dengan mengantuk, kami akan berjalan kaki ke rumah Bu Aisyah, kepala sekolah kami. Di sana kami belajar, diawasi langsung oleh Bu Aisyah yang setia membawa tasbih dan berdzikir. Teman kami waktu itu ada tiga orang: Hendra, Arif Adiwena, dan Distia, satu-satunya perempuan yang ikut les.

Mereka bertiga kos di rumah Bu Aisyah. Saya dan  Kiki awalnya juga akan ngekos di rumah Bu Aisyah. Tapi saat itu kosannya penuh. Jadilah kami tinggal di rumah saudara kami. Kamar kami lantas kedatangan satu kawan lagi:  Fauzi. Saya ingat sekali wajahnya. Jidatnya lebar. Bibirnya agak mancung. Kawan-kawan kami menjulukinya Suneo. Jahat benar.

Fauzi punya dua kebiasaan sewaktu tidur: mangap, dan tidur dengan separuh matanya terbuka.  Aneh benar, batin saya. Bertiga, kami hidup bersama dalam satu kamar sempit ukuran 3x4.

Kami les subuh hingga jam 6.30. Lalu kami pulang ke kos, mandi, sarapan --biasanya mie rebus dan telur--, baru sekolah hingga sore.

Selepas sore hingga Maghrib adalah jam bebas, sebelum kami harus les selepas Maghrib hingga pukul 8 malam. Di masa senggang,  kami biasanya bermain sepak bola dengan anak-anak di dekat kosan kami. Saya masih ingat dengan baik beberapa di antara mereka.

Iping, dia satu tahun di atas saya. Jago main bola. Paling pintar di antara kawan-kawan satu kelompok. Setidaknya dilihat dari sekolahnya.  Ia murid SMP2,  sekolah paling favorit di Jember.

Ada pula Mat. Kulitnya hitam. Paling bengal. Tapi sering menangis kalau digampar ibunya. Sobat kentalnya adalah Wiwit. Beda dengan Mamat yang dari wajahnya saja bisa dilihat kalau ia anak tengil,  Wiwit berwajah cool. Kulitnya bersih. Matanya sedikit sipit. Rumahnya pas di samping rumah Bu Aisyah. Wiwit suka berkelahi. Ia kidal, karenanya  hobi shadow boxing memukul dengan tangan kiri.

Terakhir saya berjumpa Wiwit pas kelas 2 SMP. Ia masih ingat saya. Sore itu saya baru pulang les di kawasan Pertokoan Mutiara. Selagi menunggu angkot, saya disapa olehnya. Waktu itu Wiwit bekerja sebagai pedagang buah  di Jl Gajah Mada. Setelah perjumpaan itu saya tak pernah bertemu dengan Wiwit lagi.

Ada lagi yang namanya Agok,  badannya kekar.  Kulitnya legam. Paling lihai main bola diantara kami. Umurnya setahun di atas saya. Kalau tidak salah ia bersekolah di MTS. Ia bahkan bergabung dengan klub bola lokal dan sering ikut pertandingan antar kampung. Namanya lumayan terkenal sebagai gelandang bertahan. Satu lagi yang saya ingat dari dia, betisnya kekar bukan main. Ia sangat membanggakan betis yang membuatnya sanggup bermain bola selama 90 menit tanpa kram sedikitpun.

Kawan saya yang lain adalah Holis. Meski usianya sepantaran dengan saya, badannya bongsor. Tinggi besar. Namun ia kurang begitu pandai dalam pelajaran. Saya sering mengajarinya membuat PR.  Kami lumayan dekat. Pasalnya, rumahnya pas di sebelah kosan saya. Kadang saya ke rumahnya untuk menumpang nonton tv. Orang tua Holis membuka toko kecil di samping rumah. Holis sering sekali mencuri permen dan jajanan, dan ia bagi dengan saya. Meski bongsor, raut muka Holis lucu. Polos. Ia juga sering ingusan. Entah kenapa. 

Kami bertemu lagi sewaktu SMA. Ia masih mengenal saya dengan baik. Badannya jadi lebih besar. Saya pernah melihat ia berkelahi dalam sebuah tawuran epik dengan gerombolan kakak kelas di lapangan sepak bola, di sore yang ditingkahi hujan deras. Holis meluncurkan upper cut ke pelipis lawan. Crot! Darah mengucur deras dari pelipisnya. Tinju Holis maut juga. Kadang saya tertawa membayangkan ia meninju dengan ingus bergelantungan. Hehe. Sayang, karena bengal, menjelang kenaikan kelas ia dikeluarkan dari sekolah. Sejak itu saya tak pernah mendengar kabarnya lagi.

Diantara semua kawan-kawan baik itu, saya paling akrab dengan Dona. Saking akrabnya, saya ingat banyak hal tentang dia. Namanya sedikit aneh untuk anak lelaki. Kulitnya putih. Rambutnya berponi.  Dan berkacamata.  Tampang nerd.  Tapi ia jago main gitar.  Saya masih ingat gitarnya: Yamaha dengan senar nilon. Dan ada stiker Sex Pistols di badan gitar. Dulu saya pikir Sex  Pistol itu adalah perempuan yang bermain seks dengan pistol. Aneh sekali, pikir saya sembari bergidik ngeri.

Hingga Dona berbaik hati menjelaskan kalau Sex Pistols itu nama band punk. Hehe. 

Saya kagum dengan Dona. Ia pandai. Selera humornya juga baik. Seingat saya kami sering tertawa bareng, walau lupa menertawakan apa. Yang paling membuat saya terpukau adalah permainan gitarnya. Ia lancar memainkan lagu "Dongeng" dari band Wayang yang sedang ngetren kala itu. Kalau dipikir-pikir sekarang, ketertarikan saya untuk belajar bermain gitar mungkin karena mengenal Dona dan melihatnya bermain gitar.

Selepas SD, saya kembali ke rumah dan tak pernah menginjakkan kaki ke Raden Patah lagi. Saya pun putus kontak dengan kawan-kawan di sana.

Hingga akhirnya saya menemukan kontak Dona dari Nova, sahabat saya semenjak SMA. Rupanya dulu ia satu SMP dengan Dona. Nova memberikan alamat Facebook Dona. Tanpa menunggu lama, saya add. Tak lama berselang, permintaan berteman saya disetujui. Langsung saya mengirimkan wall.

"Dona, ini Nuran. Sik eling gak?"

Kemudian dibalas.

"Wah lali, sopo yo? Hehe."


Apakah saya kecewa? Sedikit. Ini rasanya macam dilupakan oleh kawan yang pernah mengalami susah senang bareng. Sayup terdengar suara Iwan Fals di telinga.

Pernah kita sama-sama rasakan panasnya mentari hanguskan hati.  
Sahabat, masih ingatkah,  kau?

Ya walaupun tak sedramatis itu. Waktu itu kami bukan orangyang sedang menantang dunia. Hanya bocah SD dan SMP yang culun.

Saat itulah saya sadar,  memang kenangan adalah hal yang rapuh dan rawan berkhianat terhadap ingatan. Jangankan kenangan, ingatan saja begitu mudah terselip. Kenangan pula, bukanlah hal yang paralel. Bukan hal yang bersifat kembar. Apa yang kamu ingat,  belum tentu diingat juga oleh orang lain. Meskipun momen yang kalian alami  sama.

Meski kenangan saya akan Dona dan kawan-kawan lain begitu kuat, belum tentu mereka merasakan kenangan dan ikatan yang sama. Walau mereka juga ada di sana. Di momen yang sama.

Saya menceritakan hal ini pada Rani, sekitar dua jam selepas pukul 12 malam. Ia sudah terkantuk, namun masih mau mendengar celotehan saya yang lagi kumat melankolisnya.

Di tengah kantuknya, ia masih sempat-sempatnya meledek saya.

"Kamu melankolis bener deh, udah, jangan dipikirin," katanya sembari mempukpuk kepala saya.  Sialan.

Tapi iya juga, malam itu saya sedang mengalami melankolia kambuhan.Beberapa hal kecil macam ini kerap membuat saya kepikiran. Gara-gara kepikiran itu, saya jadi tak bisa tidur. Dan menulis note ini.

Besok pasti kesiangan ke kantor. []

Post scriptum: tulisan ini selesai saya tulis jam 2.56 dini hari. Menjelang subuh. Saya masih saja kepikiran hal bodoh ini sampai adzan Subuh menggema memecah udara.

Rabu, 14 Mei 2014

Awal Baru Bagi Sebuah Cinta yang Biasa

Lelaki berkacamata itu menaruh sejenak ransel berat yang membebat punggungnya sedari tadi. Di depan, ombak lautan berdebur menampar-nampar dermaga kayu.

"Sik, nulis kartu pos gawe Winda sik," ujar Ayos, lelaki berkacamata yang sudah membagi sekitar 10 hari waktunya bersama saya.

Kami sedang berada di Pulau Moyo, pulau kecil yang terletak di atas pulau Sumbawa. Kami sudah tinggal di pulau ini semenjak tiga hari lalu. Tinggal di pulau ini memang semacam tetirah yang menyenangkan, setelah kami dipanggang debu jalanan antara Lombok-Sumbawa dan tak sempat mandi. Kebo, motor Astrea Grand 96 yang kami tunggangi, sudah dititipkan di kantor polisi pelabuhan Poto Tano, Sumbawa Barat.

Di ujung masa tinggal, kami menanti kapal yang akan datang dan membawa kami serta beberapa orang lainnya kembali ke pulau Sumbawa. Di dermaga kayu kecil dengan kayu yang sudah tampak lapuk itu lah, Ayos dan saya mengeluarkan kartu pos yang belum sempat kami tulisi.

Kartu pos itu kami beli di Lombok beberapa hari silam. Kami berencana mengirimkan kartu itu untuk orang-orang terkasih kami.

Ayos mengirimkan kartu pos itu untuk Winda, pacarnya yang selalu sabar menghadapi Ayos yang seringkali pergi tanpa pamit.

Ia, seingat saya, menuliskan larik dari lagu "Free Bird" milik Lynyrd Skynyrd dan "Soldier of Fortune" milik Deep Purple.

Sayang, karena tabiat Ayos yang pelupa, kartu pos itu tak sempat dikirimkan. Bahkan sempat diduga hilang entah kemana, sebelum akhirnya saya temukan di sebuah buku yang kami bawa. Beberapa bulan setelah kami kembali ke pulau Jawa.


Perjalanan menuju Flores itu yang membuat saya sedikit banyak memahami Ayos. Bagaimana sifatnya. Bagaimana perilakunya. Kami memang teman sedari sekolah dasar. Namun kami tak pernah benar-benar dekat. Sampai perjalanan menuju timur itu, yang boleh dibilang sedikit banyak mengubah hidup kami berdua.

Ayos adalah orang yang cuek. Terutama dalam romansa lelaki perempuan. Seingat saya Ayos tak pernah berpacaran.

Sebelum malam itu, tahun 2008, atau 2007, ah saya pelupa sekali, ia mengabari saya. Kami sedang duduk di bangku kayu panjang di warung Cak Ipul, di pinggir ruas Jalan Jawa.

Malam itu, dengan wajah serius, wajah dan mimik yang jarang saya temui selama berkawan dengan Ayos, ia menceritakan kalau sudah punya pacar.

Namanya Winda Savitri. Saya sebenarnya lupa detail cerita Ayos pada saya malam itu. Hanya lamat-lamat yang saya ingat. Seperti binar mata Ayos yang sepertinya sangat berbahagia.

Rupanya Winda adalah pacar pertama Ayos. Walau tidak sebaliknya. Winda pernah punya pacar sebelum Ayos. Memang Winda yang punya senyum menyenangkan ini mudah untuk dijatuhi hati lelaki manapun. Ia ramah. Pintar. Ayu. Dan sabar. Walau kata beberapa orang kawan, ia tegas. Itu bagus. Ketegasan memang diperlukan untuk mengatur bocah bengal macam Ayos.

Benar saja, Ayos tampak betah berkasih-kasihan dengan Winda. Saya tak tahu apa Winda betah dengan Ayos, mengingat Ayos seringkali abai --atau tak paham-- tentang bagaimana memperlakukan kekasih sebagaimana mestinya. Hihihi. Untunglah Winda selalu sabar menghadapi ketengilan Ayos yang kadang melampaui batas.

Namun Ayos tak sekali dua kali bersikap manis. Saya ingat, di masa senjakala petualangan kami itu, di masjid Labuan Bajo tempat kami menginap, Ayos mengajak menyudahi perjalanan kami. Uang kami memang sudah menipis.

"Aku yo kangen ambek Winda," katanya pelan. 

Saya tersenyum kecil. Menatap bola mata yang terlindung oleh kacamata tebal milik Ayos. Saya tahu ia tak berbohong.

Dulu juga Ayos pernah memberikan saya beberapa puisi yang ia buat untuk Winda. Ada dua puisi yang membekas bagi saya. Yang pertama, saya lupa judulnya, Ayos tulis saat menghadiri Java Jazz, kalau tak salah. Yang kedua, saya juga lupa judulnya, ia tulis saat wakuncar ke rumah Winda dan disuguhi segelas sirup Marjan rasa Cocopandan.

Saya sendiri percaya, ada cinta yang biasa. 
Cinta yang bisa diraih oleh siapaapun. 
Cinta yang cuman butuh dipan kecil untuk bercerita. 
Cinta yang cuman butuh sepeda motor butut. 
Cinta yang cuman butuh kelokan jalan sepi. 
Cinta yang hinggap di sweater gelap. 
Cinta yang menclok di celana pendek coklat khaki. 
Cinta yang terikat bersama gelungan kecil rambut. 
Cinta yang mengkristal di antara desingan CPU. 
Cinta yang terjadi di kabel-kabel elektronik. 
Cinta yang hanyut dalam rasa nasi uduk. 
Cinta yang legit seperti sirup Marjan merah manis. 
Cinta yang cuman butuh sebuah pengakuan tulus. 
Cinta yang cuman butuh kepercayaan.

Yang saya suka dari pasangan ini adalah bagaimana mereka tak pernah saling mengekang. Mereka saling membebaskan. Ayos seringkali traveling sampai lupa waktu. Begitu pula Winda, yang tak jarang traveling tanpa Ayos. Namun mereka macam diikat tali bernama rasa percaya.

Tali itu rupanya teramat kuat. Sehingga walau mereka berjauhan, tali itu sama sekali tak kendor, apalagi renggang untuk kemudian putus.

Tentu dibalik itu semua, ada kisah-kisah penuh tangis nan sendu yang saya tak tahu. Namun usaha untuk terus menguatkan tali itu, sangat sangat layak diberi tepuk tangan sembari berdiri, diiringi lagu megah "We Are the Champion" dan ditaburi oleh confetti yang berjatuhan dari udara.





Surabaya tampak menyenangkan pagi itu. Masjid Al Akbar riuh oleh banyak sekali keluarga yang datang berekreasi. Ada balita-balita yang lari di pelataran masjid. Orang tuanya membaca buku. Di luar masjid, para pedagang baju muslim, kerudung, buku agama, dengan senyum menjajakan dagangannya. Penjual makanan juga banyak ditemui.

Saya datang terlalu cepat. Saya memang tak mendapatkan undangan pernikahan Ayos dan Winda. Undangan itu dititipkan ke seorang kawan, dan hingga hari pernikahan undangan itu tak jua saya terima. Hihihi.

Jam delapan pagi, kata Ayos. Saya datang jam delapan lebih sedikit. Ternyata ada dua acara akad nikah di hari yang sama.

Saat saya datang, saya melihat acara akad yang ramai. Seorang pria berbaju serba putih duduk dengan tenang dan khidmat, mendengarkan ceramah dari orang Kantor Urusan Agama. Saya sedikit berlari tergopoh. Saya kira itu Ayos. Ternyata bukan. Pantas, kok dia tampak kurus.

Ternyata Ayos dan keluarga sedang menanti di luar masjid. 

Ayos, dengan dandanan rambut yang klimis dan dibelah pinggir tampak dandy dengan setelan jas berwarna gelap, kemeja berwarna biru muda, dan dasi berwarna biru tua. Ia mengenakan kalungan melati di lehernya. 

Amboi!

Saya sempat mengirimkan foto Ayos dengan pakaian nyetil itu ke Putri, kawan baik kami berdua. 

"RambuteAyos kudu ngono ya?" tanyanya sembari terbahak.

Saya ikut tertawa. "Old skul," kata saya.

Winda tampak cantik dan anggun dengan kebaya berwarna putih. Ia mengenakan hiasan kepala, duh saya tak tahu namanya, berwarna keemasan. Sepertinya berat. Tapi itu tak menghalanginya tersenyum terus-terusan.

Menjelang pukul setengah 10, akad itu diucapkan juga. Dengan lancar. Saya tersenyum lega. Semua orang yang hadir di sana pun ikut lega. Ayos resmi menjadi suami dari Winda. Namun, dasar bocah sableng, ia kadang lupa kalau sudah punya istri.

Seperti misalnya saat ia berjalan santai, lenggang kangkung sendirian, meninggalkan Winda.

"Woyyy, dituntun bojone, ojo lali lek wis nduwe bojo!" kata seorang perempuan setengah baya pada Ayos.

"Oh iyo, aku lali," kata Ayos sembari menggamit tangan Winda.

Oh, pancene arek jancuk.

Dari belakang saya melihat Ayos dan Winda berjalan dengan tenang dan dikerubungi oleh sanak saudara, handai taulan. Mendadak, saya teringat oleh janji saya dan Ayos dulu.

Kami berencana jalan-jalan menggunakan motor lagi. Entah kapan. Bisa satu tahun lagi. Bisa lima tahun lagi. Bisa saja saat kami sudah mencapai kepala empat dan sudah menjadi pelanggan tetap rematik dan encok. Kami belum tahu kapan. Semoga janji itu masih bisa kami laksanakan.

Mungkin menyenangkan ya, berjalan-jalan dan melihat dunia saat masing-masing dari kami sudah menjadi suami, atau malah jadi bapak. Menyaksikan dunia tak sesederhana dan tak senaif pikiran kami sewaktu bujang dulu. 

Rani dan Winda, bolehkah kami, dua lelaki paruh baya berperut tambun ini, suatu saat pergi berjalan berdua lagi. Menyusuri kembali jalan sembari berlaku seperti bujang, hihihi.

Ayo, Yos! []

post-scriptum: Ayos pernah menuliskan satu postingan khusus untuk Winda, judulnya Sebuah Cinta Yang Biasa. Bisa dibaca di sini.

Jumat, 09 Mei 2014

Jenis Golongan Orang di Dunia

Untuk Dumadi

Selain menjadi pahlawan dunia karena lirik lagunya yang menceritakan tentang perjuangan dan kebebasan, Bob Marley toh hanya orang biasa dalam kehidupan di luar musik.

Ia bahkan bisa menderita karena hal remeh temeh macam cinta, misalkan. Kurang manusiawi apa seorang mahabintang, yang dipuja bagai dewa, yang pernah merasakan patah hati? Ada banyak lagu pria gimbal itu yang bercerita tentang kisah asmara sendu.

Salah satunya adalah "Waiting in Vain". Ini lagu yang bisa merobek-robek hatimu hingga menjadi serpihan kecil, walau dituturkan dengan nada dan cara berdendang yang santai. Menunggu, bagi Bob, adalah hal yang menyebalkan.

"I don't wanna wait in vain for your love..."

Breeetttt. Terdengarlah suara hati yang terobek.

///

Menunggu bisa sangat melelahkan. 

"For a while," kata Haruku Murakami, sang pengarang yang senang sekali mengagungkan sakit hati dan kenangan, "is a phrase whose lenght can't be measured. At leastby the person who's waiting.

Kata 'sesaat' itu tak bisa diukur. Setidaknya oleh orang yang menunggu.

Bob Marley, yang menulis "Waiting in Vain" saat jatuh cinta dengan Cindy Breakspeare pada pertengahan dekade 70, bahkan menulis ...cause if summer is here, I'm still waiting there. Winter is here, and I'm still waiting there, untuk menggambarkan lama penantiannya.

Bagi yang belum tahu, para penghuni bumi ini terbagi dalam dua golongan. Jenis pertama adalah orang yang bukan penyabar, atau setidaknya tak suka bersabar. Sedangkan golongan kedua berisi jenis orang yang membuat saya sadar bahwa sabar dan pandir itu tipis bedanya.

Saya punya seorang kawan. Tak lama saya mengenalnya. Baru dalam hitungan satu dua tahun. Namun ia tahan dengan aneka gojlokan kurang ajar saya, bahkan ketagihan. Orang macam ini berpotensi jadi kawan saya hingga tua kelak.

Kawan saya ini adalah orang jenis kedua, yang membuat saya bingung: apakah ia sabar? Atau terlalu bodoh?

Pria dengan kulit legam dan senyum menyebalkan ini begitu setia menunggu seorang perempuan yang bahkan tak menganggapnya ada. Atau, kalaupun dianggap ada, ia pasti sudah dianggap sebagai orang yang mengganggu.

"Aku di block di twitter sama dia," kata pria itu suatu saat.

Nah kan...

Sebenarnya kisah cinta tolol macam ini, lelaki punguk yang merindukan bulan, bukan satu dua kali saya temui. Kisah cinta macam ini berjejer di rak toko buku. Dari yang gedongan hingga di tumpukan buku loakan yang tak kunjung laku lantas dikilokan. 

Kisah cintanya bukan kisah cinta menggugah yang membuatnya layak diganjar status best seller.

Tapi tetap saja, melihat kawan ini begitu teguh dan gigih menunggu dan mengejar cinta, saya mau tak mau tetap tergugah. Lebih tepatnya kasihan sih. Pasalnya, menunggu terlalu lama bisa membuat seseorang berhalusinasi.

Bayangkan, dalam blognya, ia selalu menulis seraya membayangkan ia menceritakan sesuatu pada orang yang dikasihi dan mengasihinya. Padahal orang semacam itu tak ada, atau setidaknya belum ada. Saya sempat berpikir ia sedang menderita penyakit waham kedua puluh: berkhayal mempunyai kekasih, padahal tidak. Tapi saya mahfum, itu sindrom majenun yang sering muncul pada orang yang terlampau lama menunggu cinta tak bersambut.

Beberapa malam silam, sang kawan ini mengirimkan surel pada saya dan beberapa kawan lainnya. Intinya, ia membuat blog rahasia untuk sang pujaan hati. Lalu kelak, entah kapan, ia akan membukukan senarai tulisan itu, untuk kemudian diberikan kepada sang pujaan hati.

Jancuk. Merusak hutan saja. Bayangkan pohon-pohon muda yang ditebang hanya untuk ditulisi kalimat cinta picisan yang tak jelas juntrungannya itu. Dih!

Tapi ya sudahlah, namanya juga usaha. Saya lantas punya teori lagi gara-gara usaha sang kawan yang putus asa ini. Bahwa golongan orang di dunia bertambah satu lagi: orang yang membuat bingung apakah ia pantas dikasihani atau dimaki sepenuh hati.

Kawan saya ini, selain pasti masuk dalam golongan kedua, pastilah masuk juga ke golongan ketiga.

Kemudian, sang kawan meminta saya dan kawan-kawannya yang lain untuk bersedia menuliskan komentar mengenai "kisah cinta" dua sejoli itu. Najis, pikir saya. Dianggap saja tidak, kok mau minta dituliskan kisah cintanya. 

"Khusus untuk mas, harus nulis tulisan khusus buat saya," pintanya.

Astaga. Ini macam pepatah Jawa slang: wis dikei ati nggrogoh taek. Sudah dikasih hati, masih saja meminta tainya.

Akhirnya saya bikin tulisan ini. Pedas, tentu saja. Agar ia tahu, tak selamanya menunggu itu baik. Apalagi menunggu yang tak ada juntrungannya. Bukankah hidup terlalu singkat hanya untuk dihabiskan dengan menunggu dan menunggu? 

Tapi rupanya kawan saya ini mungkin terasuki dongeng cinta ala Hollywood. Bahwa menunggu akan membawa kebahagiaan. Mungkin ia harus belajar sesuatu, bahwa seringkali menunggu hanya akan membawamu pada kesia-siaan. Bahwa perempuan tak hanya satu. Bahwa cinta nan suci tak lekang waktu itu hanya omong kosong romantika anak sekolah menengah pertama yang baru saja mengalami datang bulan pertama kali dan baru tamat membaca teenlit murahan. 

Menunggu karena cinta? Bagi saya itu terdengar seperti omong kosong terbesar abad ini. Menunggu dan berusaha karena terobsesi, itu baru mungkin.

Tak usah terlalu banyak membaca kisah cinta mendayu-dayu. Che Guevara yang ganteng, gagah, pintar, dokter, saja ditinggalkan atas nama 'tak sabar menunggu'. Itu juga yang membuat saya yakin, bahwa penantian itu juga ada batasnya.

Mungkin kamu belum tahu kapan harus berhenti menunggu. Silahkan saja menunggu sepuas dan selama yang kamu mau. Tapi lupakan dongeng cinta penuh gula, happily ever after.

Ada banyak menunggu yang lebih menyenangkan. Menunggu jam pulang kerja misalkan. Setidaknya jelas kapan penantiannya berakhir. Atau menunggu gajian, karena sudah pasti tanggalnya. Juga menanti kelahiran anak pertama, karena itu adalah penantian yang berbuah semanis tebu yang ranum.

Tapi toh tulisan pedas ini tetap harus saya pungkasi dengan menyuapkan hal yang manis. Karena biasanya kawan baik itu tak sekedar menghina, tapi ada semacam petuah dibalik hinaan.

Perempuan saya, yang kebetulan juga tahu kisah cinta sang lelaki hitam dengan muka melas ini, berpesan pada saya agar menuliskan kalimat ini sebagai penutup: setiap orang pernah melakukan setidaknya satu hal bodoh dalam hidupnya.

Semoga kelak, ketika kawan saya sudah pintar, ia membaca tulisan ini sembari tertawa. Bahwa ia pernah menjadi bodoh, dan jatah kebodohan itu sudah ia ambil. Jadi jangan pernah berlaku bodoh lagi ya.

Kamis, 27 Maret 2014

Karena Pembajakan Untuk Pendidikan itu Dibolehkan

Suatu sore yang tenang, saya sedang asyik membaca majalah Tegalboto. Kebetulan tema majalah yang saya baca waktu itu adalah tentang Pendidikan. Satu tulisan menarik yang saya baca adalah tulisan Widi Widahyono, senior saya di Tegalboto.

Widi orangnya periang. Humoris. Suka sekali bercanda dan main gitar sore-sore di depan sekretariat. Selain itu, Widi juga dikenal sebagai pakar tata letak dan juga desain. Ia ahli mengoperasikan Adobe Photoshop, juga Corel Draw. Karena itu, Widi sering sekali diundang Lembaga Pers Mahasiswa lain untuk memberi pelatihan tentang tata letak dan desain.

Di tulisannya, Widi dengan cerdas mengatakan bahwa pembajakan untuk pendidikan itu boleh. Lha kok? Ini seluruh dunia sedang ribut menggiatkan kampanye anti pembajakan, kok Widi malah menyuruh membajak untuk pendidikan.

Tapi dasar orang cerdas yang optimal menggunakan otak kanan, Widi punya argumen yang sama sekali di luar bayangan. Ia lantas menyebutkan program-program Microsoft dan peranti lunak yang sering ia pakai. Mulai dari Microsoft Office, Adobe Photoshop, hingga Corel Draw. Harga perangkat lunak aslinya sangatlah mahal.

Saya beri contoh harga perangkat lunak dasar: Microsoft Windows. Di salah satu situs penjualan perangkat lunak asli, harga untuk Windows 7 Home Basic Edition dibandrol sebesar 1 juta 30 ribu rupiah. Sepengetahuan saya, satu perangkat lunak hanya boleh dan legal dipakai di satu komputer saja. Itu artinya, jika satu rumah punya tiga komputer, maka sang empunya rumah harus mengeluarkan 3 juta rupiah lebih untuk membeli perangkat lunak Microsoft Windows.

Begitu pula untuk Microsoft Office. Harga perangkat lunak Office Home and Student 2013 yang asli mencapai 999 ribu rupiah. Untuk kantoran, lain lagi harganya. Harus memakai Office Home and Business yang harganya mencapai 2,5 juta. Sekarang bayangkan kalau seorang wirausahawan kecil yang ingin membuka warnet dengan 10 komputer. Ia harus menyediakan paling tidak 25 juta rupiah untuk membeli perangkat lunak.

Lalu bagaimana dengan perangkat lunak yang penggunaannya lebih eksklusif, seperti Adobe Photoshop? Harganya lebih gila lagi. Saya tadi iseng-iseng menengok harga jual Adobe Photoshop CS6. Harganya mencapai 10 juta 832 ribu rupiah. Gila bener.

Repotnya adalah: Microsoft sudah terlalu mendarahdaging di Indonesia, alias memonopoli sistem operasi dan perangkat lunak.

Padahal ada tandingan sistem operasi Linux yang berbasis open source, yakni sistem yang membolehkan pemakai untuk mengunduh perangkat lunak secara legal. Juga bebas untuk mengembangkan peranti lunak sendiri, untuk kemudian disebar. Tapi seberapa banyak yang memakai Linux? Tentu jauh lebih sedikit dibandingkan pengguna Windows.

Dulu di Jember pernah ada satu warnet yang berbasis Linux. Saya beberapa kali berselancar di sana. Beberapa kali ngobrol juga dengan pemiliknya, seorang pria ramah dengan kacamata tebal.

"Sampai sekarang, orang terlalu tergantung pada Microsoft Windows, padahal ada Linux yang software-nya gratis, dan sebenarnya penggunaannya mudah. Hanya perlu dibiasakan saja," kata mas itu, yang saya lupa namanya.

Sayang, karena faktor tak biasa, warnet Linux itu pun bangkrut.

Kebiasaan tergantung pada Windows juga mengakar di kalangan birokrat sekalipun. Tahun 2011 misalkan, Kementrian Pendidikan Indonesia bekerja sama dengan Microsoft untuk "...memperkuat pengetahuan teknologi informasi, meningkatkan inovasi, dan kreativitas di dunia pendidikan di Indonesia."

Sekilas itu seperti pakta perjanjian biasa saja. Namun akibatnya apa? Seluruh sekolah di Indonesia 'dipaksa' menggunakan Windows asli, yang harus membayar dalam jumlah besar. Hmmm, saya mencium aroma komisi di sini. Selain masalah itu, konsekuensinya adalah para murid juga 'dipaksa' tergantung dengan Windows, alias menghasilkan murid dengan Windows minded.

Padahal dulu pemerintah Indonesia pernah membuat program keren: Indonesia Goes Open Source. Namun kemana program itu? Entahlah. Hehehe.

Gara-gara tak biasa menggunakan sistem open source, dan tak mampu membeli perangkat lunak asli, maka akhirnya para pengguna komputer larinya ke perangkat lunak bajakan. Indonesia, kalau saya tak salah ingat, menempati peringkat ke 7 dalam negara pengguna perangkat lunak bajakan. Tapi apa itu salah? Kalau menurut saya, tentu tidak. Asalkan kembali lagi ke percakapan di atas: pembajakan untuk pendidikan.

Sekarang gini...

Kalau anda mahasiswa, bukan anak Aburizal Bakrie atau Harry Tanoe, yang artinya masih menggantungkan hidup dari kiriman orang tua dengan jumlahnya pas-pasan, atau cuma mampu makan dua kali sehari, apa mampu membeli perangkat-perangkat lunak itu semua? Padahal Microsoft Windows, Microsoft Office, adalah dua perangkat yang harus ada di tiap komputer dan komputer  jinjing mahasiswa.

Kalau tidak mampu, apa artinya para mahasiswa tidak boleh belajar dan menggarap tugas? Karena tidak mampu membeli perangkat lunak, maka banyak orang Indonesia dipaksa tetap jadi bodoh dan tak boleh belajar komputer. Mengerikan bukan?

Itulah inti dari tulisan Widi dan saya ceritakan ulang di sini.

Gerakan anti pembajakan ala Microsoft memang sedang digiatkan semenjak beberapa tahun terakhir. Microsoft bisa dibilang merupakan pihak yang memonopoli sistem operasional dan perangkat lunak di negara-negara berkembang.

Di Guatemala misalnya, pernah ada kasus yang cukup menghebohkan.

Suatu hari, pihak Microsoft bersama aparat keamanan Guatemala yang bersenjata lengkap, merazia Seguros Universales, sebuah perusahaan asuransi di Guatemala. Padahal perusahaan itu sudah menggunakan 98% perangkat lunak asli. Pihak Microsoft memaksa  Seguros Universales untuk membayar 70 ribu dollar Amerika di tempat, atau pihak Microsoft menghapus semua server yang menyimpan semua data di kantor itu.

Kasus ini menjadi perhatian dunia karena ternyata Microsoft dan aparat keamanan Guatemala tidak membawa surat perintah dan surat izin razia.

Seguros Universales yang merasa diperas dan dipermalukan, akhirnya balik menuntut Microsoft dan aparat keamanan Guatemala. Perusahaan ini juga menuduh Microsoft menjalankan pemerasan macam ini di banyak negara, kebanyakan karena sembarangan menarget perusahaan. Hal ini juga terjadi di Belgia.

Suatu hari Microsoft merazia perusahaan bernama Deckers-Snoeck, dibantu dengan aparat lokal. Perusahaan itu lantas diwajibkan membayar denda sebesar 40.000 dollar Amerika, atau pihak Microsoft mengambil semua komputer perusahaan itu.

"Itu lebih merupakan perampokan ketimbang razia," kata CEO Deckers-Snoeck, Joris Decker.

Karena terancam tutup kalau tidak membayar, maka pihak perusahaan percetakan itu pun membayar. Tapi toh ujungnya tak enak: tak semua perangkat lunak yang dipasang adalah perangkat lunak asli. Nggapleki cuk!

Akhirnya perusahaan Deckers menuntut Bussiness Software Alliance selaku organisasi yang memayungi Microsoft, ke pengadilan. Deckers memenangkan gugatan dan menghilangkan kewajiban membayar sepeser pun kepada Microsoft dan BSA.

Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Dalam skala yang lebih lokal, terjadi di Jember, kota tempat saya menuntut ilmu.

Sekitar pertengahan tahun 2009, ada razia besar-besaran di warung internet seputaran kampus Universitas Jember. Nyaris semua, malah sepertinya semua, warnet kena razia. Alasannya? Bukan soal menyimpan film porno, atau dijadikan tempat mesum mahasiswa horny. Melainkan karena menggunakan software bajakan.

Beberapa warnet dengan dana besar, akhirnya membayar sejumlah uang --saya tak tahu berapa-- agar tetap bisa beroperasi. Mereka juga memasang stiker besar: "Warnet Ini Menggunakan Software Windows Asli". Warnet kecil yang tak sanggup membayar? Ya terpaksa gulung tikar. Dan itu jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang warnet bermodal besar.

Tapi tunggu dulu, razia yang menimpa warnet itu belum cerita keseluruhan. Saya sih dengan iseng membayangkan: bagaimana kalau operasi macam itu dilakukan pada komputer para mahasiswa?

Saya yakin, seyakin-yakinnya, nyaris semua mahasiswa --bahkan mungkin dosen juga-- di Indonesia memakai perangkat lunak bajakan. Yang mau dan mampu membeli perangkat lunak asli pasti hanya beberapa gelintir mahasiswa yang tak pernah merasakan kelaparan di akhir bulan.

Bisa membayangkan kalau Microsoft bersikeras dan 'memaksa' aparat di Indonesia untuk meluncurkan razia besar-besaran kepada komputer atau komputer jinjing para mahasiswa? Para mahasiswa yang tertangkap menggunakan perangkat lunak bajakan lantas diwajibkan membayar ratusan ribu, atau malah jutaan, agar bisa menggunakan program-program Microsoft. Gila kan?

Yang tak bisa membayar? Ya selamat tinggal belajar komputer. Ya selamat tinggal menggarap tugas. Ya selamat tinggal kuliah. Ya selamat datang kebodohan.

Itu kenapa saya setuju sekali pendapat Widi, bahwa pembajakan untuk pendidikan adalah halal dan dibolehkan. Apa jadinya kalau kita dilarang belajar komputer hanya gara-gara kita tak mampu beli perangkat lunak?

Jadi pilihannya cuma dua: mulai membiasakan diri memakai sistem open source, atau menggunakan perangkat lunak bajakan? Sementara ini, saya memilih opsi nomer dua. Hehehe.

Long live piracy for education!

Senin, 21 Oktober 2013

Kabar-kabar Menjelang Akhir Bulan

Halo handai taulan, apa kabar semua? Semoga selalu dilimpahi kebahagiaan dan kesehatan selalu.

Ini ceritanya saya sedang selo. Proposal tesis sudah selesai ditulis. Nunggu dibantai dan direvisi habis-habisan saja, baru saya bisa beranjak mengerjakan tesis ini. Oh ya, tesis saya akan membahas festival musik sebagai potensi wisata di Indonesia. Ini adalah buah ketertarikan saya terhadap music tourism. Bagi yang belum tahu banyak mengenai music tourism, bisa membaca buku Music Tourism: On the Road Again karya Chris Gibson dan John Connel. Bagi yang belum punya, monggo kirimi saya email kalian. Nanti saya kirim pdf-nya. Buku ini sangat menarik dan komprehensif dalam membahas mengenai pariwisata berbasis musik

Tema yang dibahas mulai soal festival musik, musik dari sudut pandang ekonomi, hingga budaya. Meskipun buku ini banyak menulis data, tapi sama sekali tak membosankan. Malah menyenangkan untuk dibaca. Karena jadi salah satu buku penting untuk tesis, saya selalu membawa buku ini kemana-mana. Mulai dari makan, nongkrong, hingga ke toilet, sekiranya saya menunggu, buku ini selalu saya baca. Buku ini seperti jadi pacar saya sejak beberapa bulan belakangan. Maklum, si pacar jauh dan tidak bisa menemani setiap saat. Haiyah, malah curhat. 

Ngomong-omong soal Rani, bulan kemarin saya dan Rani menaikkan status hubungan. Akhirnya kedua keluarga kami bertemu di Jakarta. Senang sekali rasanya saat acara itu diadakan. Dua keluarga saling bersilaturahmi dan berbicara mengenai hubungan yang lebih serius. Bonus yang paling menyenangkan: tentu makan rendang buatan mama Rani yang sangat mak nyuss itu. Hahaha.

Ada yang tahu kenapa perut Rani keliatan kempes? :p

Tapi sebelum itu, kami berdua sama-sama pusing dan cukup tertekan dalam menyiapkan acara pertemuan ini. Maklum, keluarga kami berjauhan. Bahkan beda pulau. Keluarga Rani dari Sumatera, dan keluarga saya dari jazirah Jawa. Belum lagi mencocokkan waktu karena keluarga inti kami adalah kelas pekerja yang waktunya tidak lentur. Sebagai bocoran, kalau sedang tak tahan terhadap tekanan, Rani sering menangis. Hihihi. Saya sih cuma garuk-garuk kepala dan sesekali menjambak rambut. Bisa jadi itu penyebab rambut saya menipis belakangan ini.

Jangan sampai saya menjadi botak sebelum waktunya! 

Syukurlah akhirnya acara ini berakhir dengan sukses, walau ada beberapa pembicaraan tambahan selepas acara resmi. Selain itu, saya dan Rani sama-sama sadar kalau ini baru permulaan dari segalanya. Saya dan Rani kadang-kadang suka tersenyum kecut waktu memikirkan bagaimana tertekannya saat menyiapkan pernikahan. Wong tunangan saja sudah sedemikian menyita waktu dan pikiran, apalagi pernikahan. Tapi kami tetap saja semangat menyiapkan segalanya. Segala persiapan ini juga menyadarkan kalau jalan masih panjang dan berkabut di depan. Semoga kami masih bisa bertahan berjalan bersama sampai kapanpun. Amin.

Oh ya, awal bulan Oktober ini saya dihibur dua konser yang sangat keren.

Konser pertama berlangsung di acara "Macanista for Sangkakala" (2/10). Ini adalah acara penggalangan dana untuk album HeavyMetalithicum yang akan dirilis akhir bulan Oktober ini. Ada banyak agenda di acara ini: sablonase kaos, penjualan merchandise, pasar klithikan (Blankon menjual beberapa koleksi boots, hingga bemper mobil, hihihi), hingga potong rambut gondhes ala Sangkakala. Saya berpartisipasi di semuanya. Termasuk memangkas rambut. Kebetulan yang memotong adalah Atjeh, sang pemain bass Sangkakala.

Saya adalah korban pertamanya. Waktu saya duduk di kursi, banyak tatapan kasihan pada saya. Mungkin pikir mereka, mau saja saya dipotong sama Atjeh. Hihihi. Tapi hasilnya cukup bagus walau guntingnya tidak tajam. Saya disoraki oleh beberapa kawan waktu mengetahui genteng kepala saya baru. 

Di acara ini, datang juga mas Jati. Beliau adalah kawan baru saya dari Bogor yang berkenalan melalui blog ini. Kami akkhirnya kopi darat di Jakarta beberapa bulan silam. Penggemar musik heavy metal ini dengan sangat baik membawakan saya kue talas yang sedang tren di Bogor. Waktu acara Macanista for Sangkakala, kebetulan pegawai BUMN ini sedang ada agenda workshop di Yogyakarta selama beberapa hari. Karena saya tahu dia suka musik heavy metal, saya mengajakya. Tebakan saya benar, Mas Jati sangat terhibur dengan penampilan Sangkakala.

Mas Jati dan saya yang baru potong rambut

"Wuih, musiknya keren. Iron Maiden banget!" katanya sembari tersenyum puas. Mas Jati juga turut membeli kaos Sangkakala. Siapa tahu dia bisa mendirikan Macanista untuk area Bogor dan sekitarnya. Hihihi.

Konser kedua awal bulan Oktober adalah konser Skid Row di stadion Kridosono (8/10). Saya menonton band asal New Jersey ini untuk kedua kalinya. Kali ini saya menonton tanpa tiga orang sahabat saya: Alfien, Budi, dan Taufik. Kami sudah terpencar. Alfien yang sudah jadi PNS di Probolinggo tak bisa datang ke konser terkait kewajiban kerjanya. Budi juga tak bisa menonton karena terlalu mepet dengan jam kerjanya. Sedang Taufik di Brebes waktu itu harus memperkuat tim sepak bola daerahnya di sebuah kompetisi. Jadinya tak ada lagi cerita kami beramai-ramai menonton Skid Row seperti tahun 2008 silam.

Tapi kali ini saya mendapat kawan menonton yang tak kalah mengasyikkan. Siapa lagi kalau bukan Andrey Gromico, alias Miko. Hahaha.

Pria asal Malang itu datang ke Yogyakarta dengan membawa gelar baru: sarjana. Untuk merayakannya, ia rela datang dari Jember untuk menonton Skid Row. Ia naik bis dari Jember dan sampai Yogyakarta pagi hari.

Mengetahui ada orang asing datang berkunjung, Ozzy (anjing kesayangan penghuni kontrakan) langsung ingin bermain dengan Miko. Maka ia mengejar Miko untuk bermain. Gelagatnya jelas, ekornya digoyang-goyangkan. Celakanya, Miko yang takut anjing mengira Ozzy akan menggigitnya. Ozzy yang melihat Miko lari, menganggap ia mengajaknya bermain. Maka dikejarlah si Miko. Sedangkan Miko yang mengetahui Ozzy mengejarnya, berlari makin kencang hingga ke jalan besar.

Saya hanya bisa tertawa kencang (waktu itu saya belum tahu kalau Miko takut anjing) hingga akhirnya saya mendengar klakson mobil membelah udara. Saya kaget. Saya mengira Mico ditabrak mobil atau Ozzy dilindas mobil. Saya sontak berlari. Ternyata Miko jatuh karena terpleset pasir dan nyaris dicium bemper depan mobil. Untung rem mobilnya pakem. Ozzy? Ia hanya terkekeh iseng sembari menjulurkan lidah, menunggu Mico mengajaknya bermain kembali. Hihihi.

Berkat adegan bodoh itu, Miko cedera. Kaki dan tangannya lecet lumayan parah dan berdarah cukup banyak. Untung  itu tak menghalanginya bernyanyi dan meloncat-loncat saat menonton Skid Row. Kami berdua seperti jadi remaja kembali, bernyanyi dengan bahagia di lagu-lagu-menolak-tua macam "Slave to the Grind", "In the Darkness Room", dan "Monkey Business". Miko bahkan memamerkan suara melengkingnya, lengkap dengan gestur tangan diangkat ke udara. Hahaha. Dan seperti bisa ditebak, kami paling keras bernyanyi di lagu "I Remember You", "18&Life", dan "Youth Gone Wild".  Yeah!



Setelah kabar-kabar baik diatas, kabar buruk belakangan datang menyusul. 

Ini terkait proyek buku biografi Slank yang sedang saya dan kawan-kawan kerjakan. Kemungkinan besar, sebut saja 90%, buku ini akan gagal dibuat. Mas Puthut yang menyampaikan pada saya. Ini terkait kontrak yang sebetulnya saya sedikit malas membahasnya. Padahal saya dan Panjul sudah selesai mewawancarai banyak narasumber --sekitar 30-40 orang. Mas Puthut juga sudah menyiapkan waktu luang untuk menulis buku ini.

Kecewa? Jelas. Panjul jelas kecewa karena ia sudah berkeliling, dari Jawa Barat hingga Jawa Timur untuk mewawancarai narasumber. Mas Puthut juga pasti sangat kecewa, karena ini adalah proyek A baginya. Bagi yang belum tahu, dalam jagat penulis lepas, proyek A adalah proyek yang sangat penting, sarat idealisme dan kesenangan personal penulis. Bagi penulis lepas, mendapat proyek A ini tak dibayar pun tak apa. Saya juga kecewa karena turut pula menghabiskan waktu lumayan lama untuk mewawancarai narasumber.

Namun di balik itu semua, saya sadar kalau saya banyak bersenang-senang dalam proyek ini. Saya bertemu orang-orang hebat yang dulu hanya bisa saya baca namanya di majalah, koran, atau liner notes. Mendengar cerita-cerita mereka membuat saya belajar banyak. Apapun itu, pengalaman bekerja di proyek biografi Slank ini tetap berharga. Ya semoga kelak buku ini bisa diterbitkan. Sementara itu, saya kepikiran untuk mengunggah beberapa tulisan hasil wawancara saya itu di blog. Tapi nanti dulu, saya minta izin dulu ke mas Puthut. Semoga dibolehkan.

Sial, saya sudah meracau panjang sekali. Rasanya menyenangkan bisa leluasa menulis lagi di blog. Jadi, sampai jumpa di tulisan lain! :)