Tampilkan postingan dengan label Film. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Film. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Desember 2014

Menyambut Moviemetalithicum


Ibarat motor, grup heavy metal asal Yogyakarta, Sangkakala, sekarang sedang menginjak gigi empat. Band yang digawangi oleh Baron Kapulet Araruna sebagai vokalis, Ikbal Lubys pada gitar, Rudy Atjeh pada bass dan Tatsoy pada drum ini sedang mempersiapkan perilisan DVD bertajuk Moviemetalithicum yang akan dirilis akhir Desember 2014.

"DVD ini berawal dari launching album Heavymetalithicum yang didukung oleh Mas Bandist Shaggy Dog," kata Baron Capulet, vokalis Sangkakala.

Untuk menyegarkan ingatan, grup band yang beranggotakan lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini merilis album penuh pertama mereka, Heavymetalithicum, pada Desember tahun lalu.

Acara yang diadakan di Taman Budaya Yogyakarta ini berlangsung dengan meriah. Menjelang pertengahan set, para penonton turut naik ke atas panggung untuk ikut bernyanyi dengan Sangkakala. Kemeriahan semakin terasa dengan dentuman kembang api yang selalu jadi ciri khas Sangkakala. Kemeriahan acara ini yang lantas didokumentasikan dalam bentuk DVD dokumenter.

Proyek pembuatan DVD ini banyak dibantu oleh Doggyhouse Record. Ini adalah label rekaman milik band legendaris Yogyakarta, Shaggy Dog. Kerjasama antara Doggy House Records dan Sangkakala sudah terjalin sejak lama. Selain saling mengenal secara pribadi, mereka sudah bekerja sama dalam album kompilasi Doggybark! yang berisikan lagu-lagu dari band Yogyakarta. Album ini dirilis pada bulan September silam.

Kali ini Doggy House Records secara khusus mendelegasikan tugas pendokumentasian Moviemetalithicum pada Djati Wowok Pambudi, alias Wowok Erwe. Selama ini Wowok lebih dikenal sebagai gitaris cum vokalis band Erwe.

Proses pembuatan DVD ini memakan waktu yang lumayan panjang. Terhitung sejak perilisan album, pembuatan DVD ini menghabiskan waktu satu tahun. Beberapa aral memang muncul dalam proses pembuatan ini.

"Ya kita lumayan kagok karena interview, jadi agak serius," kata Baron sembari tertawa.

Selain tak biasa diwawancara, kendala lain adalah Wowok mempunyai beberapa kesibukan lain. Ditambah, vokalis Erwe ini sempat mengalami kecelakaan yang membuat dirinya harus istirahat beberapa lama. Kendala klasik seperti pendanaan, sudah bisa dikover dengan baik oleh Doggy House Records.

"Jadi kita gak mikirin dana, kita bisa maksimal dalam membuat karya. Doggy House juga membebaskan urusan artistik," tambah Baron.

DVD Moviemetalithicum ini sudah pasti akan jadi karya yang menarik. Pasalnya, selama ini di Indonesia belum banyak film dokumenter tentang perjalanan sebuah band atau tentang pesta pora perilisan album dari sebuah band. Dalam scene musik Yogyakarta pun, nyaris nihil, atau bahkan belum ada, band yang punya dokumentasi berformat film.

Sangkakala sendiri merupakan band yang sangat menarik untuk dijadikan film. Rentang waktu berkarya mereka sudah panjang. Band yang terpengaruh musik-musik heavy metal dan dandanan 80-an ini sudah aktif sejak 2005. Berawal dari pinggiran kota Bantul, mereka menggebrak scene musik Yogyakarta.

Pada tahun 2010, mereka sukses membuat gelaran Macanista Workshop dalam Biennale Yogyakarta. Mereka memberikan workshop tentang glam rock, potongan rambut ala glam rock, sablonase, hingga pementasan tunggal di Taman Budaya Yogyakarta. Bootleg penampilan Sangkakala ini lantas dirilis dalam bentuk EP berjudul Macanista yang bisa diunduh gratis via situs netlabel Yes No Wave.

Di tahun 2013,  kuartet heavy metal circus ini merilis album penuh pertama kali dan disambut dengan gegap gempita. Mereka juga sempat mengadakan dua konser bersama band heavy metal asal Jakarta, GRIBS di Yogyakarta dan Jakarta.

Dalam Moviemetalithicum ini, sedikit demi sedikit misi Sangkakala akan tersibak. Mereka memang tidak sekedar bermain band. Mereka punya misi tersembunyi. Semisal mempopulerkan kembali heavy metal dan glam rock yang sempat hiatus saat grunge muncul. Workshop glam rock di tahun 2010 menjadi bukti bagaimana Sangkakala menjalankan propaganda memasyarakatkan heavy metal dan meng-heavy metalkan masyarakat. 

Di film ini juga akan terlihat bagaimana pentingnya artwork, sisi artistik, dan estetika Sangkakala dalam berkarya. Latar belakang mereka sebagai mahasiswa institut kesenian jelas tak bisa dipisahkan dari karya-karya musik dan artwork Sangkakala.

Yang lebih unik lagi, meski Sangkakala memainkan musik heavy metal yang notabene dari belahan dunia barat, tapi mereka tak abai dengan unsur-unsur kelokalan. Simak saja artwork pandai besi yang jadi kover album Heavymetalithicum. Atau bagaimana Sangkakala dengan gagah menjadikan Reog Ponorogo sebagai maskot yang selalu dipajang di setiap panggung; atau harimau yang banyak muncul dalam artwork Sangkakala. 

Belum lagi bicara soal rambut mullet –gaya rambut yang populer dengan sebutan gondes, alias gondrong ndeso, di kalangan para preman terminal—serta penghormatan terhadap tong setan, sebuah atraksi sirkus yang tak pernah absen di setiap pasar malam. Sangkakala membawa itu semua dalam setiap karya dan penampilan mereka.

Dengan masa aktif yang panjang, musik yang rancak, penampilan yang mencolok, propaganda yang menggentarkan, dan atraksi panggung yang beringas, tak heran kalau Sangkakala menjadi band yang punya basis massa sangat besar di Yogyakarta. Sebutannya beragam. Mulai Macanista, Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Sangkakala), Alutsista (Alat Utama Sistem Macanista), hingga SPG (Sangkakala Promotion Girl).

DVD Moviemetalithicum akan dirilis sebanyak 500 kopi. Rinciannya, 100 kopi adalah edisi boxset yang dibanderol Rp 150 ribu. Selain berisi DVD, paket ini akan berisi bendera dan pin Sangkakala. Sedangkan paket reguler sejumlah 400 kopi akan dibanderol seharga Rp 50 ribu.

Pelepasan DVD ini akan turut dimeriahkan oleh penampilan Sangkakala dalam format akustik, yang tiketnya akan dibatasi untuk 200 orang saja. Lagi-lagi ini hal yang menarik. Karena sepanjang karirnya, Sangkakala baru satu kali tampil dalam format akustik. Dalam penampilan live kali ini, gitaris Iqbal akan memakai gitar khusus yang ia buat sendiri. Selain itu, penampilan akustik ini akan direkam secara live dan akan dirilis dalam bentuk kaset dalam proyek Sangkakala berikutnya.

Jadi bersiaplah! []

Post-scriptum: ini rilis pers yang saya tulis untuk acara konfrensi pers Sangkakala beberapa hari lalu. Ayo yang belum pesan DVD  ini, segera pesan. Rugi kalau tak punya film dokumenter keren dari band keren ini.

Selasa, 30 September 2014

Kisah Manusia dari Tabula Rasa



Kemarin malam akhirnya saya bisa menonton Tabula Rasa. Film ini sudah menarik rasa penasaran saya kala trailernya berseliweran di linimasa Twitter beberapa waktu lalu. Jarang ada film Indonesia yang berkisah tentang kuliner. Seingat saya baru Brownies yang melakukannya. Itu pun lebih banyak berkisah tentang drama cinta.

Tapi Tabula Rasa berbeda. Dalam trailernya, jelas kalau film ini berkisah tentang kuliner Minang. Dan kala sebuah film mengangkat kuliner sebagai tema sentral, maka mustahil untuk abai terhadap kisah manusianya. Karena film tentang makanan pasti berkisah tentang manusia. Makanan, gastronomi, adalah karya adiluhung manusia.

Di belahan dunia lain, ada banyak film luar biasa bagus mengenai kuliner. Mulai Big Night, Tampopo, Eat Man Drink Woman, Soul Kitchen, The God of Cookery, Tonight's Special, Mostly Martha, hingga Jadoo King of Curry. Semua selalu berkisah soal manusia. Kisah makanan ini juga menerabas genre film. Komedi ada. Drama ada. Thriller juga ada.

Makanya sangat disayangkan kalau di Indonesia belum ada film bagus soal makanan. Padahal siapa yang bisa menyangkal keberagaman kuliner di Indonesia? 

Keberagaman juga menjadi benang merah yang menjalin cerita Tabula Rasa. Film besutan Adriyanto Dewo ini mengisahkan tentang Hans, seorang pemuda asal Serui, Papua, yang punya bakat dalam sepak bola. Suatu hari ia diundang untuk bermain di sebuah klub bola asal Jakarta. Ia pun memutuskan untuk berangkat ke ibu kota. Tapi di sana semua mimpi Hans hancur lebur. Kakinya patah. Klub tak mau bertanggung jawab. 

"Mereka membuang saya seperti sampah," katanya.

Hans pun jadi gelandangan. Mengumpulkan ceceran beras untuk ditukar dengan uang receh. Hanya cukup untuk beli tempe goreng. Hans kumel. Jarang mandi. Bajunya sobek-sobek. Suatu hari Hans berniat bunuh diri. Tapi ia terpeleset dan jatuh pingsan. Lantas ia ditemukan oleh Mak, seorang pemilik lapau Padang bernama Takana Juo.

Sejak itu jalan hidup Hans berubah. Ia bertemu dengan Uda Parmanto, juru masak Takana Juo; dan Natsir, pelayan Takana Juo. Di pertengahan kisah, Hans mulai belajar memasak masakan Padang. Mak dengan senang hati mengajari resep andalannya. Mulai dendeng batokok hingga gulai kepala ikan.

"Masak gulai kepala ikan ini seperti ziarah bagi Mak. Hans janji ya, kalau masak gulai kepala ikan juga harus menganggap ini sebagai ziarah," kata Mak pada Hans yang berdiri dan menyimak dengan takzim.

Menyaksikan Tabula Rasa juga menyaksikan kisah manusia. Betapa rasa itu universal. Makanan bisa menyatukan manusia. Tak peduli rasmu. Tak peduli apa agamamu. Makanan enak yang dimasak dengan cinta, bisa membuatmu tergugah. Seperti misalkan kala Hans pertama kali mencicipi gulai kepala ikan yang sama sekali asing baginya. 

Saya puas menonton film ini, terlepas dari beberapa kekurangan teknis yang wajar belaka. Saya seperti diajak masuk ke dalam pasar oleh Mak. Diajari cara mengulek bumbu. Bagaimana memasak dan memperlakukan makanan. Mak seperti guru yang sangat baik, yang mengajari para penonton betapa pentingnya perhatian kecil pada makanan.

"Mahal sedikit tak apa lah, asal lamak (enak)."

"Lidah orang Minang itu nomer satu."

"Masak rendang itu harus sabar."

"Bisa pakai kompor gas, tapi hasilnya tak akan seenak kalau memakai kayu bakar."

"Bawang impor ini lebih murah, tapi rasanya hambar. Bawang lokal ini lebih mahal, dan rasanya lebih tajam."

"Kamu bingung kenapa bawang lokal lebih mahal ketimbang impor? Sama, Mak juga bingung."

Penampilan Jimmy Kobogau juga sangat menghibur. Ia polos. Lucu. Celetukannya berulang kali membuat saya tertawa keras. Ramdan Setia yang berperan sebagai Natsir juga tampil lugas, jadi partner yang seimbang bagi Jimmy. Mereka berdua acap terlibat percakapan yang memancing gelak.

Belum lagi adegan memasak yang sukses membuat cacing di perut memainkan orkestra keroncong. Adegan paling sadis ya kala Mak membakar daging dendeng batokok. Dendeng yang berwarna cokelat pucat dengan aksen hitam hasil panggangan itu lantas diguyur lado hijau, alias sambal cabai hijau.

Biadaaaaabbbb!

Malangnya, film ini sepertinya kurang ramai penonton. Bisa jadi karena nyaris nihil bintang film terkenal. Tak ada nama yang familiar bagi penonton, terutama yang berusia muda. Jelas kalah jauh jika dibandingkan dengan film yang dirilis dalam waktu berdekatan dan bertabur nama bintang terkenal, seperti Haji Backpacker misalnya. Padahal dari segi tema dan cerita, Tabula Rasa jauh lebih unggul.

Kemarin malam, pemutaran hari keempat, film ini hanya ditonton oleh 13 orang saja, termasuk saya dan Rani. Saya sengaja menghitungnya. Sayang sekali. Padahal film ini bagus.

Jadi saran saya: kalau film ini masih ada di bioskop terdekat dari tempat kalian, segeralah menonton. Sebelum film ini turun layar karena sepi penonton. []

Rabu, 02 April 2014

Nollywod dan Kebetulan Itu

Beberapa hal besar memang kadangkala dimulai dari suatu kebetulan.

Kenneth Nnebue adalah seorang pedagang biasa di pinggiran kota Onitsha, sebuah kota di tenggara Nigeria.

Kala itu ia punya stok kaset video kosong dalam jumlah besar. Pikirnya waktu itu, ketimbang menjual dalam keadaan kosongan, akan lebih menguntungkan bila ada sesuatu dalam kaset video itu. Maka ia iseng menulis film Living in Bondage yang lantas diproduksi langsung dari kamera video ke kaset video.

 
Sang Legenda

Film itu berkisah mengenai seorang lelaki yang mendapatkan kekuatan super dan kekayaan dengan cara membunuh sang istri dalam sebuah ritual. Sang istri kemudian menjadi arwah gentayangan dan menghantui sang suami sialan itu.

Tak dinyana, film ini laris keras. Setelah digandakan, film ini laku sebanyak 750.000 kopi. Tarikh menunjukkan angka 1992. Living in Bondage --dibuatkan film sekuelnya, walau tak selaris pendahulunya-- lantas menjadi pemicu derasnya industri film di Nigeria. 

Industri film di Nigeria yang dimulai dari suatu kebetulan itu lantas dikenal dengan sebutan Nollywood.

***

Tanpa banyak diketahui orang, Nollywood sudah menyalip Amerika Serikat dalam hal jumlah produksi film tahunan sejak tahun 2009. Berdasarkan survei dari UNESCO Institute for Statistic, industri film Nollywood berada pada posisi nomer dua, hanya kalah dari Bollywood, industri film di India.

Sepanjang rentang 2005 hingga 2009, Bollywood memproduksi rata-rata 1.178 film tiap tahun. Nollywood menyusul di belakangnya dengan produksi film berkisar 1.093 per tahun, jauh meninggalkan Hollywood yang hanya memproduksi 485 film tiap tahun.

Dalam sektor tenaga kerja, industri film Nigeria menyerap jutaan tenaga kerja. Terbanyak kedua setelah sektor pertanian. Berdasarkan penghitungan dari National Film and Video Censors Board Nigeria, industri film ini menghasilkan perputaran uang sebesar $200 juta hingga $300 juta tiap tahun.

Teco Benson, seorang produser dan sutradara asal Nigeria menyambut hal ini dengan gembira. "Ini adalah alat pemasaran baru Afrika!" tukasnya girang sembari menyebutkan bahwa Nollywood adalah industri adidaya nun digdaya dalam jagat film dunia.

Babad perfilman di Nigeria sebenarnya bukanlah cerita baru. Terhitung sudah sejak dekade 60-an, industri film Nigeria mulai menggeliat. Beberapa sineas awal seperti Ola Balogun sudah mulai memproduksi film yang lantas beredar lokal. Ola seringkali dianggap sebagai sineas gelombang awal Nollywood. Hingga akhirnya industri film Nigeria benar-benar meledak saat Living in Bondage muncul.

Sebenarnya agak sedikit mengejutkan bahwa industri film Nigeria, negara yang dikenal sebagai penghasil minyak, bisa berkembang sedemikian besar. Namun tentu ada faktor pemicu berkembangnya industri ini. Salah satu faktor utama adalah, para sineas Nigeria lebih memilih memakai kamera video biasa (dan sekarang memakai kamera digital) ketimbang memakai kamera 35mm yang umum dipakai untuk membuat film. Ini membuat ongkos produksi jauh lebih murah, sehingga film bisa diproduksi dengan mudah. Walaupun hasilnya seringkali dianggap sebagai kualitas gambar kelas kambing.

Faktor kedua adalah adanya layanan televisi berbayar MultiChoice, yang menyediakan empat saluran film, diputar selama 24 jam, yang khusus memutar film-film Afrika, kebanyakan adalah produksi Nigeria. Dua dari empat saluran ini memutar film dalam dua bahasa utama Nigeria, Yoruba dan Hausa.

Sedangkan di kawasan Afrika Tengah,  para pedagang keping film bajakan hanya menjual film Nollywood dalam rak film Afrika. Film Nollywood juga dialihbahasakan ke bahasa dan dialek lokal, yang membuat penyebarannya makin masif. Di Kamerun dan Gabon, bahasa Nigeria dialihbahasakan ke bahasa Perancis, bahasa utama di dua negara itu. Di Kongo, bahasa Nigeria disulihsuara ke dialek Lingala.

 
Penjaga Lapak VCD Bajakan di Lagos, Nigeria


"Nollywood jauh meninggalkan Hollywood," kata Barnabas Eset, yang sejak tahun 2000 menyewakan film Nollywood dan Hollywood di Gambia.

Faktor-faktor itu yang membuat Nollywood bisa berjaya di benua Afrika. "Orang Afrika lebih banyak menyaksikan film (produksi) Nollywood ketimbang Hollywood," cetus sutradara dan produser film lokal, Zeb Ejiro.

Meski demikian, suara sumbang toh tetap terdengar. Terutama berkaitan dengan kualitas film. Situs berita Independent menyebut film Nollywood sebagai film microwave, yakni film dengan masa pembuatan yang singkat, berkisar tiga hingga empat minggu. Ditambah dengan jalan cerita yang nyaris seragam dan seakan menggambarkan kondisi aktual Nigeria: korupsi, penipuan, peredaran narkotika, perdagangan manusia, cinta segitiga, juga dunia sihir, dan hampir semua berakhir bahagia. Dengan kata lain: Nollywood besar kuantitas, namun nihil dalam pencapaian kualitas.

Tapi Obi Emelonye berusaha mengubah citra negatif macam itu.

Obi, sutradara kelahiran Nigeria berumur 47 tahun, seringkali dianggap sebagai wajah baru Nollywood. Pada tahun 2011, sutradara yang juga pengacara ini menulis dan menyutradarai The Mirror Boy, sebuah film drama fantasi yang berkisah tentang seorang bocah Afrika-Inggris yang hilang di tengah belantara rimba Afrika. Film ini berhasil mendapatkan 3 nominasi di African Movie Academy Award, ajang penghargaan tertinggi untuk film di jazirah Afrika.

Obi adalah sutradara yang visioner. Ia menerabas semua pakem film Nollywood. Ia memakai anggaran dana besar, menulis jalan cerita yang tak umum di Nigeria, memakai artis luar negeri, hingga menghasilkan gambar dengan kualitas jempolan. Tujuannya jelas: menarget penonton global.

Tapi jalan menuju ke sana memang tak mudah. Masalah klasik macam birokrasi berbelit selalu menghadang.

"Tantangan terbesarnya adalah bernegosiasi dengan para birokrat, itu benar-benar mimpi buruk," kata Obi dalam wawancara dengan situs berita Business Day.

Pada tahun 2013, Obi menggarap film Last Flight to Abuja, film thriller yang diadaptasi dari kisah nyata, berkisah tentang pendaratan darurat pesawat Flamingo Airways. Dengan biaya sekitar $ 250 ribu --enam kali anggaran normal film Nigeria-- Film ini mendapatkan pemasukan $ 350 ribu, menjadi film dengan jumlah pendapatan terbesar di seluruh Afrika Barat pada tahun 2012. Last Flight bahkan ditayangkan hingga London. Namun besar pendapatan juga berbanding lurus dengan besaran suapnya.

"Setiap hari, saya harus memberi uang kepada pihak berwenang agar bisa terus mengambil gambar," keluh Obi.

Namun Obi tak bergerak sendirian. Banyak sutradara muda yang ikut turun gelanggang demi mengubah citra negatif Nollywood. Salah satunya adalah Biyi Bandele.

Biyi adalah salah satu sutradara muda Nigeria yang juga digadang-gadang bisa mengubah wajah kelam industri film Nigeria. Ia termasuk sutradara "sekolahan". Ia pernah mempelajari drama di Universitas Obafemi Awolowo. Anak dari seorang veteran perang Burma ini juga pernah memenangkan kompetisi International Student Playscript pada tahun 1989. Setahun kemudian Biyi pindah ke London.

Pada tahun 1994, Biyi memenangkan penghargaan Best New Play di Festival London New Plays lewat naskahnya Two Horsemen. Sejak saat itu, karirnya menanjak. Pada tahun 2000, Biyi tercatat sebagai penerima beasiswa doktoral Judith E. Wilson di Universitas Cambridge.

Pada tahun 2013, Pria kelahiran Kafanchan, daerah di Utara Nigeria,  menyutradarai Half of Yellow Sun. Ini adalah film yang diadaptasi dari novel terkenal berjudul sama karya dari penulis Chimamanda Ngozi Adichie.

Film ini dengan gagah memajang Chiwetel Ejiofor (nominator Oscar dan Golden Globe), dan Thandie Newton yang pernah bermain dalam film semacam The Pursuit of Happyness dan Mission: Impossible II. Film ini konon menelan biaya hingga $ 8 juta, yang membuatnya dinobatkan sebagai film Nollywood termahal sepanjang sejarah.

Film ini sudah diputar perdana dalam ajang Toronto's International Film Festival 2013. Film ini akan serentak diputar di seluruh dunia pada awal April 2014. Biyi sang sutradara berharap film ini akan mengubah kemudi Nollywood ke arah yang lebih baik.


"Masa depan film Nigeria sangat bagus. Ada banyak pembuat film muda di Nigeria. Beberapa tumbuh dengan tradisi Nollywood, yang lain adalah hasil dari sekolah film. Dan kita hanya tinggal memadukan bakat macam itu, dan saya tidak sabar menunggu hasilnya," pungkasnya. []

Jumat, 14 Maret 2014

Balada Sarah dan Zaenab

Duh tante...


"Aku terima lamaranmu dengan syarat... gak usah banyak tamu yang diundang, termasuk Zaenab!"

(Sarah, dalam salah satu adegan di sinetron Si Doel Anak Sekolahan)

***

Salah satu kisah cinta segitiga terdahsyat di dunia ada pada kisah Doel-Sarah-Zaenab dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Dua perempuan dengan dua karakter yang berbeda, dunia yang berbeda pula, saling bersaing merebutkan cinta sang anak Betawi. Menariknya, Sarah dan Zaenab, dua perempuan yang sama-sama mencintai Doel, tak bermusuhan layaknya rival. Mereka malah saling perhatian. Seringkali jadi kawan curhat. Walau sesekali mereka saling merasa kesal. Wajar kalau Doel bingung memilih satu diantara mereka. Sarah dan Zaenab punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bahkan harus menanti 7 musim untuk tahu kisah akhir (((jalinan cinta))) mereka.

Tadi malam saya tak sengaja melihat foto yang diunggah oleh Maudy Koesnaedy di twitter. Itu foto selepas Maudy menonton Cornelia Agatha tampil bersama teater Koma. Melihat foto Maudy (pemeran Zaenab) dan Cornelia (pemeran Sarah) di atas, saya jadi bisa mengerti kebingungan Doel dalam memilih satu diantara mereka. Sama-sama pulen! 

Ya walaupun seharusnya Doel nurutin saran Mandra: sikat aja dua-duanye![]

post-scriptum: saya sendiri dengan tegas menjadi #TeamSarah

Rabu, 26 September 2012

Surat Untuk Gola Gong


Seberapa jauh kamu mengimani buku?

Saya --sama seperti yang dialami mas Taufiq-- bukan orang yang hidupnya berubah gara-gara buku... Hingga saya membaca Balada si Roy-nya Gola Gong. Sejak membaca novel itu, saya mendadak kena sindrom Roy. Saya ingin berambut gondrong, saya ingin berpetualang, saya ingin jago menulis puisi untuk merayu perempuan, bahkan saya ingin punya anjing herder walau saya takut sekali dengan anjing. Singkatnya, saya ingin jadi Roy! Bahkan Old Shatterhand dan Winnetou tak berhasil membuat saya ingin jadi koboi dan kepala suku Indian.

Maka alangkah senangnya saya ketika Gola Gong dalam akun twitternya mengatakan Balada si Roy akan dibuatkan film. Whooa!

Tapi kegirangan saya itu runtuh. Saya mendegut ludah gara-gara twit Gola Gong tentang OST BSR. Saya membaca nama Andika Mahesa ex Kangen Band sebagai pengisi soundtrack utama. Bagi saya, Roy sama sekali bukan remaja cengeng seperti yang sering digambarkan dalam lagu-lagu Kangen Band.

Tapi karena merasa tak adil kalau menghakimi lagunya tanpa mendengarkan lebih dulu, maka saya pergi ke Youtube untuk menonton video klipnya. Daaaan, dugaan saya tak meleset. Lagu berjudul 'Perjalanan Hidup' itu lirih dan tak bersemangat. Tak cocok dengan jiwa petualang Roy yang berapi-api. Dalam BSR, bertebaran lagu-lagu rock sebagai ornamen. Mulai The Doors hingga Van Halen. Saya jadi tak bisa membayangkan kalau lagu lirih itu jadi OST BSR.

Respon Gola terhadap lagu Andika adalah, "tak jelek-jelek amat."

Gola berkata lagu itu sesuai dengan keadaan Roy hidupnya penuh liku. Oh come on Kang, dengan segala hormat, masih banyak lagu yang bisa mewakili hidup Roy. Seperti 'Lelaki dan Rembulan' Franky S. untuk menggambarkan kisah cinta Roy dengan Ani atau Suci. Atau lagu Dialog Dini Hari yang 'Ku Kan Pulang' untuk menggambarkan hubungan Roy dengan sang ibu tercinta.

Kata kang Gola saya bisa mengirimkan email ke produsernya untuk memberi masukan soal lagu yang cocok untuk jadi OST BSR. I'll do it. I will do it.

Saya tahu sebenarnya Gola sedikit keberatan dengan lagu Andika ini. Awalnya ia menginginkan The Brandals alias BRNDLS yang mengisi soundtrack film Roy. Lagu-lagu BRNDLS terdengar sangat "Roy". Saya setuju. Tapi produser film (pemilik modal eh?) menginginkan BSR lebih 'membumi'. Dan Andika dianggap mewakili unsur 'membumi' itu. Terlepas dari kualitas musik yang selama ini dihasilkan Andika dan band-nya, ada ketakutan yang lebih besar dari hal OST ini.

Kalau produser (pemilik modal ya?) sampe intervensi ke soundtrack, apa jaminan mereka tak ikut intervensi  jalan cerita BSR atas nama pasar? Saya jadi takut membayangkan kalau Jupe jadi Ani sang Dewi Venus dan Depe jadi Suci.

Aduh!

Sabtu, 07 Januari 2012

Jim Yang Nyaris Terlupakan


Saya sudah nyaris melupakan siapa itu Jim Morrison. Sampai saya melihat folder "When You're Strange". Itu adalah judul film dokumenter mengenai The Doors. Entah roh Indian mana yang menggelitik saya untuk membuka folder itu. Seakan ada yang membimbing tangan untuk menggerakkan tetikus, menekan dua kali file When You're Strange.

Semua seperti kebetulan. Ketika berada di Jember beberapa waktu lalu, saya menemukan kaos bergambar Jim Morrison yang sempat hilang beberapa saat. Kaos putih ini adalah pemberian Maya Wuysang, seorang karib. Saya memakainya nyaris setiap saat. Setelah dicuci, saya pakai lagi, cuci lagi, begitu seterusnya. Hingga warna putihnya memudar dan berganti dengan warna putih kelam. Atau bisa disebut kelabu.

Selepas menemukan kembali kaos kesayangan saya itu, saya membawanya ke Jogja, dan kembali melakukan ritual suci: menggunakan kaos putih itu setiap saat, selepas dicuci.
***

Seorang pria brewok keluar dari mobil yang ringsek, dengan kaca yang pecah. Ia terhuyung. Rambut panjang berombaknya melambai-lambai. Ia memakai jaket kulit lengkap dengan bulu. Pakaian yang tak lazim digunakan di padang pasir. Ia memakai kaos tye-dye berwarna biru tua dengan beberapa lingkaran putih. Celana kulit ketat berwarna hitam membungkus kakinya yang jenjang dan pantatnya yang padat.

Ia berdiri di tepi jalan. Menggoyangkan jempolnya, isyarat untuk menumpang. Tapi tak ada yang perduli dengan pria kumal ini, kecuali sebuah mobil sedan hitam.

Layar berganti.

Pria gondrong tadi sudah mengendarai mobil American muscle itu. Terdengar suara radio di mobil, memberitakan kabar buruk bagi penggemar musik rock: kematian Jim Morrison, vokalis flamboyan dari The Doors.

Matahari tenggelam dari kejauhan.
***

Saya selalu merinding dan juga penasaran.  Bagaimana caranya lelaki gondrong di awal film "When You're Strange" itu --Ia adalah Jim Morrison-- bisa mendengarkan berita tentang kematiannya sendiri? Ataukah saya yang tak tahu apapun soal Jim? Jangan-jangan itu memang potongan film yang dibuat oleh Jim sendiri? Tapi bagaimana mungkin ada manusia yang begitu sakti hingga ia bisa meramalkan sendiri kematiannya dengan cara yang --terlalu-- tepat?

Film "When You're Strange" adalah antitesis dari "The Doors", film fiksi mengenai The Doors, garapan Oliver Stone yang membuat saya jatuh cinta pada band asal California ini untuk pertama kalinya.

Dalam "The Doors", Jim digambarkan sebagai seorang yang destruktif. Ia suka menyakiti dirinya sendiri, berbuat kekacauan yang sepertinya tak mungkin dilakukan seorang manusia.

Ray Manzarek, sang keyboardist The Doors, menganggap Oliver melupakan sisi manusiawi Jim Morrison yang kocak, cerdas, dan juga pemalu. Karena itu Ray begitu mendukung fim "When You're Strange" yang dianggap  sebuah representasi tepat mengenai sosok Jim Morrison. Film ini bertambah tinggi "derajat-nya" karena menyertakan beberapa footage montage mengenai The Doors yang selama ini belum pernah di pubikasikan.

Perhatian saya teralih pada suara pintu dibuka. Itu Arys, kawan saya. Ia datang membawa tas plastik berwarna putih. Isinya rokok, camilan, dan sekaleng bir.

"Kan gak enak curhat-curhatan lek gak ono bir-e" ujarnya dengan senyum nakal.

Saya tersenyum balik. Ini berarti akan ada sesi curhat semalam suntuk. Dan ya, bir paling enak diminum dengan musik The Doors sebagai pengiring. Sebelum saya mengganti "When You're Strange" dengan lagu The Doors, saya biarkan kata-kata terakhir di film garapan Tom DiCillio itu berkumandang pelan.

To some, Jim was a poet, his soul trapped between heaven and hell.
 To others, he was just another rock star who crashed and burned.
 But this much is true - you can't burn out if you're not on fire.

Minggu, 07 Agustus 2011

Notre Dame dan Before Sunset


Jesse:
I heard this story once about when the Germans were occupying Paris and they had to retreat back. They wired Notre Dame to blow, but they had to leave one guy in charge of hitting the switch. And the guy, the soldier, he couldn't do it. You know, he just sat there, knocked out by how beautiful the place was. And then when the allied troops came in, they found all the explosives just lying there and the switch unturned, and they found the same thing at Sacre Couer, Eiffel Tower. Couple other places I think...

Celine:
Is that true?

Jesse:
I don't know. I always liked the story, though.

Sabtu, 18 Juni 2011

Dari Kapal Pinisi Hingga Malino: Manisfestasi Ide?

Agustus 1991. Saat itu cuaca sedang mendung. Sebuah perahu pinisi bernama Ammana Gappa yang berisi 8 orang suku Konjo, dua orang pemilik kapal, dan satu wartawan, baru saja lepas sauh. Meninggalkan Benoa, Bali, untuk kemudian pergi menuju Madagaskar, Afrika. Pelayaran yang direncanakan berlangsung selama 35 hari itu dimaksudkan untuk menapaktilasi perjalanan nenek moyang suku Konjo, yang pernah berlayar menggunakan perahu pinisi tradisional dari Indonesia menuju Madagaskar.

Kapal ini dipesan oleh sepasang suami istri bernama Michael dan Anne Carr. Michael sendiri adalah lulusan sekolah maritim di Inggris. Mantan perwira ini melakukan riset panjang tentang pinisi sebelum akhirnya menjual hampir seluruh asetnya untuk memesan perahu pinisi.

Norman Edwin, yang saat itu belum menjadi almarhum dan masih menjadi wartawan andalan Kompas, turut serta dalam pelayaran gila itu. Kenapa disebut gila? Adrian Horridge, salah seorang pakar mengenai perahu Indonesia, pernah memperingatkan Michael untuk membatalkan pelayaran musykil ini. Sang penulis buku The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia dan Sailing Craft of Indonesia berkata bahwa pinisi tak bisa mengarungi samudera. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kapal ini akan patah terhantam gelombang.

Perahu ini dinahkodai oleh Muhammad Yunus yang membawa serta 7 awak kapal; Appong, Makatutu Abba, Saparing, Araudin, Uddin, Muhammad dan Jumadi. Mereka semua adalah orang-orang Konjo, yang sering juga disebut dengan suku Kajang. Suku ini banyak mendiami Bulukumba, daerah yang dikenal sebagai daerah pembuat kapal pinisi tradisional.

Appong, yang namanya mengingatkan saya pada salah satu warung mie terkenal di Jember favorit Dwi Putri Ratnasari, berkisah bahwa orang-orang suku Konjo adalah pelaut yang handal. The great pirates, tambah Michael.

"Cuma karena mereka ini low profile, sehingga kehebatan mereka tenggelam oleh pelaut Bugis dan Makassar" ujar Michael lagi.

"Kami juga orang Bugis dan Makassar, hanya memang kami tinggal di Bira dan bahasa kami berbeda sedikit" sanggah Appong yang saat itu sedang memegang kemudi.

Michael sendiri tertarik untuk berlayar ke Madagaskar setelah membaca sebuah artikel yang menyebutkan bahwa di Madagaskar ada sebuah kampung yang para penduduknya berbicara dengan bahasa yang mirip dengan bahasa Konjo. Suku itu dikenal dengan nama suku Meira, dan dalam banyak buku sejarah, mereka diakui sebagai keturunan orang Indonesia.

Norman sendiri menurunkan artikel panjang mengenai pelayaran ini dalam Kompas tertanggal 7 Oktober 1991, lalu 26 hingga 29 Desember 1991. Artikel ini sungguh sangat menarik. Panjang namun tak bertele-tele. Deskriptif. Tajam, terutama dalam mendedah perbedaan pendapat antara Michael yang berpikiran logis serta mempunyai dasar akademis ilmu pelayaran, dan orang-orang Konjo yang dalam membuat kapal serta berlayar masih mengikuti tradisi nenek moyang mereka.

***

Kalau sebuah band membuat film, apa yang anda harapkan? Sebagai fans hair metal, tentu saya mengharapkan ada kegilaan besar, madness, chaos, sex drugs booze rock n roll, juga semua histeria massa. Atau bisa juga perjalanan eksistensialis macam When You're Strange-nya The Doors. Oh, coba tengok film dokumenter band Indonesia pertama: Generasi Menolak Tua punya band high octane rock, Seringai. Disana digambarkan bagaimana para om-om yang sudah tak lagi muda itu benar-benar menolak tua, bersenang-senang dengan cara mereka sendiri, memainkan musik mereka, ada histeria massa, hingga menceritakan sejarah band. Begitu juga film-film tentang musisi lain, sebut saja Risky Summerbee and the Honeythief, hingga para punggawa Jogja Hip Hop Foundation.

Rata-rata bercerita mengenai band, proses bermusik mereka, hingga apa yang mereka inginkan untuk band ke depan.

Makanya saya terhenyak ketika seorang teman bercerita bahwa The Trees and the Wild membuat film dokumenter berjudul Dua Tiang Tujuh Layar. Berasa aneh dengan judulnya karena sama sekali tidak berkaitan dengan musik? Tentu saja, karena film ini bercerita mengenai kehidupan para pembuat kapal pinisi di Bulukumba.

Lah, apa hubungannya The Trees and The Wild dengan pinisi dan masyarakat Bulukumba?

Dalam press release, trio ini menjelaskan bahwa:

Dua Tiang Tujuh Layar is a manifesto of ideas and a concrete step from The Trees and The Wild onto many things. For the band, audio-visual works are usually poured into the form of video clips, with promotional background activities and publications of the respective bands. That definition and understanding is fully understood by the Trees and The Wild, but there are different concepts that dwell in their mind which are viewed with broad perspective's.

Film yang disutradarai oleh Swargaloka ini sungguh sangat cantik. Penuh dengan taburan senja, anak pantai yang tertawa, dan perkataan penuh makna dari para pembuat kapal disana.

Tapi setelah melihat film ini, saya lantas bertanya-tanya? Lah, para trio ini kemana ya? Kenapa gak ada di film sama sekali? Hanya lagu Malino, single dari album pertama; Rasuk, yang mengiringi film ini. Keseluruhan filmnya sama sekali tak menampilkan punggawa band ini. Malino sendiri adalah nama sebuah daerah di pegunungan di Gowa, Sulawesi Selatan.

Saya kok jadi malah merasa film ini adalah proyek dari sang sutradara. Juga semacam "proyek" dari Telkom Indonesia, karena brand ini muncul pas di awal film.

Jadi sampai sekarang saya masih penasaran, dimana peran The Trees and The Wild dalam film ini? Apa sebatas sampai produser? Seharusnya jika memang film Dua Layar Tujuh Tiang ini adalah manifesto ide dan penerapan konkrit dari The Trees and The Wild terhadap banyak hal, mereka harusnya menjabarkan apa hubungannya ide mereka terhadap kapal pinisi dan kebudayaan masyarakat Bugis.

Tapi terlepas dari pertanyaan itu (yang mungkin diakibatkan oleh otak saya yang memang kurang encer), film ini menarik jika kita menilik berbagai aspek.

Salah satunya mengenai desain kapal.

Dalam pembuatan kapal, pembuat pinisi sangat berpegang teguh pada tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang mereka.

"sekalipun kita tidak punya gambar, untuk bikin kapal, tapi karena kita sudah banyak pengalaman dari dulu hingga sekarang, kita gak bisa lagi lupakan, begitu." ujar salah seorang pembuat kapal yang diwawancarai.

Kapal pinisi sekarang memang masih dibuat berdasarkan tradisi yang diwariskan nenek moyang mereka. Tapi karena tuntutan jaman, mereka memadukan dengan peralatan modern.

"Mudah-mudahan kapal ini selamat dalam pekerjaan, cantik kelihatan, selamat dari pembuatan, nilainya tinggi. Setinggi dengan emas" ujar seorang bapak baya dengan kopyah yang tampaknya pembuat kapal senior. Semacam doa minta ampun pada sang nenek moyang karena telah memodifikasi perahu warisan mereka.

Hal yang sama juga pernah diungkapkan Yunus, kalau ternyata pembuatan kapal pinisi sekarang sudah tidak sama dengan pembuatan kapal pinisi tradisional.

"Kalau sekarang mesin ada, lagipula barang yang harus dibawa banyak, jadi perlu pinisi badan besar" ujar Yunus menanggapi banyaknya kapal pinisi yang sekarang bisa mencapai 400 ton.

"Pinisi yang asli memang sebesar ini, beratnya biasanya kurang dari 50 ton" lanjut Yunus sembari memandang Ammana Gappa yang jumawa dengan tujuh layar.

Dua tiang tujuh layar adalah ciri khas kapal pinisi, yang juga lantas dijadikan judul film dokumenter The Trees and The Wild ini. Dari dulu sampai sekarang, kearifan ini masih terus dijaga, walau beberapa hal sudah berubah. Itu termasuk layar dan tali untuk menahan tiang.

Dulu layar yang mereka gunakan terbuat dari jalinan daun lontar yang disebut karoro. Tapi sekarang sudah jarang digunakan. Lalu tali yang digunakan oleh para pelaut pinisi dahulu terbuat dari sabut kelapa. Sedangkan untuk menahan tiang digunakan rotan, tidak kawat seperti kapal pinisi modern.

Tapi Michael bilang kalau kapal pinisi sekarang masih bisa disebut kapal pinisi tradisional. Dia menambahkan bahwa layar terpal dan kawat penunjang layar telah dipakai sejak lawa, kira-kira sejak abad 19-an. Lagipula tali kawat yang dipakai kapal Ammana Gappa adalah buatan awak kapal sendiri yag dibuat dengan cara dijalin dengan tangan.

Pria brewok ini lantas menyebutkan bahwa pinisi ini baru ada sekitar 400 tahun lalu, ketika orang Barat datang ke Indonesia.

Para ahli maritim sendiri sepakat kalau bentuk asli para pelaut Sulawesi Selatan adalah padewakang. Kapal ini diasosiasikan sebagai "perahu bercadik atau perahu kecil" oleh Adrian Horridge dalam buku The Prahu: Traditional Sailing Boat of Indonesia, yang ditulis pada tahun 1985.

Baru setelah itu orang Sulawesi Selatan meniru bentuk kapal layar dan membuat pinisi. Konon, pinisi itu berasal dari kata "pinnace", sebuah kata dalam bahasa Inggris yang berarti "sejenis perahu layar". Tapi para pembuat kapal Sulawesi Selatan itu tidak serta merta mencontek begitu saja kapal buatan Portugis yang menginspirasi pembuatan pinisi.

"Saya kira mereka melihat perahu layar Portugis dari kejauhan, jadi tidak bisa memperhatikan dengan seksama bentuk sesungguhnya" ujar Michael sembari memperlihatkan satu blok kayu untuk mengerek tali, berbeda dengan kapal layar Barat yang mempunyai roda katrol.

***

"Kalau kita kerja, orang bule mungkin punya gambar juga ada" ujar salah seorang pembuat kapal. "Kita ikuti apa kata pemesan, tapi ciri khasnya tak boleh terlepas dari pinisi. Yang sangat melambangkan bahwa pinisi adalah yakni dua tiang tujuh layar" sambung seorang pembuat kapal lain.

Kearifan tradisional ini mungkin susah dimengerti oleh kebanyakan orang Barat (yang mereka sebut sebagai orang bule) yang tidak percaya hal metafisik juga takhayul serta menjunjung tinggi logika.

"Tiap kali saya mengusulkan sesuatu dan dia menyetujui, tapi kenyataannya dia tetap membuat pinisi itu seperti menganggap kemauannya saja" keluh Michael pada Norman suatu ketika.

Michael menganggap beberapa bagian dari pinisi itu tak penting. Salah satunya adalah balass, alias batu pemberat. Mantan perwira kapal modern itu menjelaskan hitungan dengan fisika dan matematika modern. Sembari bilang kalau pada desain asli pinisi tak diperlukan balas untuk menyeimbangkan, ia berkata kalau para awak kapal memasukkan batu sebanyak dua truk ke badan pinisi. Setelah perdebatan seru dengan para awak kapal, para awak kapal mengalah dan akhirnya sekitar 1/3 batu itu dikeluarkan dari kapal.

Michael sendiri beranggapan bahwa jika batu itu dibuang semua, maka kecepatan kapal akan bertambah laju karena kapal bertambah ringan. Tapi para awak tak setuju. Menurut mereka itu sudah tradisi nenek moyang. Karena memang tak semuanya bisa dijelaskan dengan logika dan perhitungan matematis.

Tapi akhirnya Michael sadar bahwa semua hitungan matematis itu tak berlaku dihadapan alam. Semua tradisi dan kepercayaan, serta pengalaman dari para pelaut Konjo itu berhasil membuat kapal Ammanna Gappa berhasil berlabuh di Antsiranana (Madagaskar) dengan selamat, walau sempat dihantam gelombang besar yang hampir mengkaramkan perahu.

"Karena kebudayaan tak bisa dibuang begitu saja" ujar salah seorang tetua pembuat kapal pinisi dalam film Dua Tiang Tujuh Layar, berbelas tahun kemudian setelah perjalanan yang dilakukan Ammana Gappa.

***

Sekali lagi, terlepas dari semua pertanyaan mengenai peran The Trees and The Wild dalam film ini, dan apa kaitan manifestasi ide mereka terhadap pembuat kapal pinisi dan kebudayaan mereka, film ini sangatlah segar. Keluar dari pakem film yang biasa dibuat oleh anak band.

Dengan apik film ini menceritakan bagaimana para pembuat kapal tangguh ini begitu mencintai pekerjaan mereka. "Saya cinta sekali pekerjaan ini" tutur salah seorang pembuat kapal.

"Dan ini untuk anak saya mempelajari kalau dia sudah besar. Harapannya nanti kalau kita tua, mereka bisa gantikan kita" sambungnya.

Untuk menonton film ini, sila kunjungi: www.thetreesandthewild.com

Sabtu, 19 Maret 2011

Kita Semua Akan Mati Muda



Steel Dragon adalah sebuah band heavy metal terkenal di Amerika. Bobby Beers sang vokalis adalah rock star pujaan para fans. Banyak band kugiran yang menjadi tribute band bagi Steel Dragon. Salah satunya adalah Blood Pollution.

Sang vokalis, Chris Cole, adalah seorang teknisi fotokopi di sebuah perusahaan. Selama hidupnya, ia selalu dibayangi oleh Bobby. Ia meniru gayanya berpakaian, gaya rambutnya, hingga cara bernyanyinya. Bahkan ia punya replika Bobby dengan ukuran aslinya.

Obsesinya terhadap Bobby dan Steel Dragon ia tumpahkan di Blood. Sayang, obsesinya terlalu besar dan Blood tak bisa menemukan gaya bermusiknya sendiri. Beberapa anggota lain sudah mulai muak terhadap obsesi Chris terhadap Steel Dragon. Dan kemuakan itu berujung pada pemecatan Chris dari Blood.

Semua tampak membosankan bagi Chris. Dunia yang ia cita-citakan telah dihancurkan oleh teman bandnya. Hanya sang pacar, Emily Poule, yang selalu setia mendukung Chris. Semuanya berubah ketika suatu hari Chris mendapat telepon dari Kurt Cuddy. Kurt adalah gitaris sekaligus pendiri Steel Dragon.

Saat itu Steel Dragon baru saja memecat Bobby karena perselisihan dalam band. Chris tak percaya bahwa yang menelpon adalah Kurt. Kurt sampai harus menelpon dua kali. Rupanya Kurt mendapatkan video penampilan Blood Pollution dari dua orang groupies. Merasa karakter dan suara vokal Chris cocok, maka Kurt menawarinya posisi vokalis.

Chris setuju. Sejak saat itu hidupnya tak pernah sama lagi.


Chris lantas hidup dalam dunia gemerlap ala rock star dan mengganti namanya jadi Izzy. Obat bius, alkohol, groupies, hingga orgy. Semua kesan yang melekat pada rock star adalah benar adanya. Chris begitu menikmati dunia barunya, meski pada awalnya sempat kagok.

Tapi seperti yang dikatakan Brett Michaels, every rose has its thorn. Semua kesuksesan pasti memiliki efek sampik. Kehidupan Chris berantakan. Hubungannya dengan Emily kacau, dan mereka putus. Sex, drugs, booze, lambat laun menjadi membosankan bagi Chris. Semua serba artifisial. Mulai pertemanan hingga cinta. Bahkan Bobby Beers sang idolanya ternyata adalah seorang homoseksual yang mengalami kerontokan rambut. Rambut panjang yang selalu dielukan para fansnya adalah wig.

Semua keadaan lalu mencapai puncak saat Chris menyodorkan lagu ciptaannya dan Kurt menolaknya mentah-mentah.

***

Rock Star adalah film yang dibintangi oleh Mark Wahlberg dan Jennifer Aniston. Sebagai salah seorang pemuda yang memuja musik metal 80-an, film Rock Star begitu berkesan. Menunjukkan sisi hitam putih dari gemerlapnya panggung rock. Ada kegembiraan, kegetiran, kepalsuan, hingga kebencian. Semua bercampur jadi satu.

Selain ceritanya yang memukau, soundtracknya juga begitu menggetarkan (halah!). OST film ini diisi oleh Steelheart. Miljenko "Mili" Matijevic, sang vokalis Steel Heart, mengisi suara Chris Cole yang melengking tinggi. Selain Mili, ada banyak musisi lain yang ikut urun rembug dalam film ini.

Ada Jeff Pilson (ex. Dokken), Zakk Wylde (ex. Ozzy Ousbourne), hingga Jason Bonham (ex. Foreigner, yang juga anak dari John Bonham sang drummer Led Zeppelin). Myles Kennedy yang vokalis Alter Bridge dan Slash juga tampak muncul sebagai cameo, memerankan Thor yang nantinya menggantikan Chris sebagai vokalis Steel Dragon.

Bagi yang belum menonton Rock Star, segeralah nonton sebelum anda menyesal di kemudian hari. Sebelum itu, silahkan simak We All Die Young. Lagu ini aslinya adalah lagu dari Steel Heart dan dirilis ulang sebagai lagu Steel Dragon. Single ini juga jadi lagu jagoan OST Rock Star.

Rock On!

Jumat, 25 Februari 2011

The Fighter (Bukan Spoiler )


Sebut saya katrok, tapi saya baru lihat The Fighter kemarin malam. Film itu sebenarnya sudah saya simpan lama. Semenjak saya ngopi banyak film di rumah Quddus, salah seorang teman yang menggilai film. Tapi beberapa kesibukan membuat saya melupakan adanya film ini di hard disk saya.

Saya baru ingat dan langsung menonton film ini ketika kemarin membaca salah satu ramalan mengenai pemenang perhelatan Oscar. Sekedar info, film ini masuk dalam 7 nominasi Oscar, termasuk Best Picture, Best Director, dan Best Supporting Actor untuk Christian Bale. Disana disebutkan Bale sangat berpeluang untuk menjadi pemenang karena sepanjang sejarah Oscar, para dewan juri biasanya terkesan dengan aktor/aktris yang rela "menderita" untuk peran.

Dan bagi saya, Bale sungguh sangat menderita untuk memainkan peran sebagai Dicky Eklund, seorang mantan petinju legendaris yang dijuluki Pride of Lowell. Kehebatannya mencapai puncaknya ketika ia merobohkan Sugar Ray Leonard. Sayang, setelah kejayaannya itu, Dicky menjadi pecandu heroin. Tubuhnya kurus, rambutnya rontok, dan giginya menjadi ompong. Bagi yang sudah terbiasa melihat Bale dalam balutan kostum Batman yang gagah, bersiaplah terkesima melihat betapa kurus dan menyedihkannya Bale dalam film ini.

Tapi Bale bukanlah aktor utama dalam film ini, dia hanya sebagai aktor pendukung. Karena itu ia masuk ke dalam nominasi Best Supporting Actor. Namun kehadirannya dalam film ini mampu menyerobot perhatian penonton, mengalahkan pesona sang pemeran utama. Sama seperti kasus Heath Ledger yang berakting brilian sebagai Joker dalam film Batman --yang jadi lucu, karena disana Bale menjadi pemeran utama sebagai Bruce Wayne, dan dia kalah tenar oleh Joker.

Mark Wahlberg memainkan peran utama sebagai Micky "Irish" Ward, seorang petinju kelas welter. Dia dimanajeri oleh ibunya sendiri, Alice Ward (Mellisa Leo), dan dilatih oleh sang kakak kebanggaan keluarga, Dicky.

Dicky sendiri seperti menderita post power syndrome. Keberhasilannya merobohkan Sugar Ray Leonard selalu diucapkan berulang kali. Dia selalu merasa bahwa dirinya masih bisa bertinju. Bahkan kru HBO membuat film tentang dirinya yang akan comeback untuk bertarung lagi. Padahal, kru HBO membuat film tentang bahaya narkoba, dan Dicky jadi salah satu korban bahayanya narkoba.

Micky menghadapi masalah ketika dilatih oleh Dicky. Sang kakak yang sudah menjadi pecandu heroin bukanlah sosok pelatih ideal bagi petinju yang ingin maju. Selain selalu telat melatih, Dicky dan sang ibu selalu salah dalam memilih lawan tanding bagi Micky.

Salah satu adegan yang bikin saya ngakak --meski ini bukan film komedi-- adalah ketika Micky harus melawan musuh yang memiliki berat badan jauh diatasnya. Awalnya sang promotor meyakinkan Micky bahwa sang lawan bukanlah lawan yang berat, dan akan mudah dijatuhkan. Micky yang tahu berat badan sang lawan sedikit enggan melawannya. Namun sang kakak meyakinkannya.

Tapi ketika di ring, musuh yang dihadapinya sangat besar. Plus sangar.

"Holy shit" maki Micky ketika melihat lawannya.

"Yeah, holy shit" timpal sang kakak. Sungguh kocak.

Meskipun akting Bale sangat bagus, pun chemistry adik-kakak antara Wahlberg dan Bale juga ciamik, namun sebenarnya cerita film ini standar ala film olahraga Hollywood. Ada sedikit konflik, pertempuran dengan konflik, dan berakhir bahagia.

Akting para pemainnya lah yang membuat film ini jadi keren dan layak masuk Oscar. Mark Wahlberg memainkan perannya dengan standar sebagai petinju medioker yang harus merangkak dari petinju batu loncatan (petinju yang dipilih karena dianggap mudah dikalahkan dan bisa menaikkan peringkat) hingga mencapai mimpinya sendiri dan lepas dari bayang-bayang sang kakak.

Iya, peran Mark Wahlberg standar saja sebenarnya. Sama seperti aktingnya di Four Brother, Shooter, atau di Italian Job. Aktingnya masih belum mencapai tahap brilian seperti di Boogie Nights atau di The Departed. Bagus tapi tidak sebrilian Bale.

Meskipun film ini sepertinya akan susah memenangkan Best Picture, tapi saya menjagokan Bale merebut Best Supporting Actor :D

Bagaimana dengan anda?

Selasa, 09 November 2010

Raja Hutan Bernama Sandy Macan

Kalau anda adalah anak umur 3 tahun, apa yang biasa anda lakukan? Palingan tak jauh dari bermain sepeda roda 4, makan permen, atau sesekali menangis ketika tidak dibelikan mainan. Lalu kenakalannya mungkin tak lebih dari memanjat pohon atau bermain ketika waktu tidur siang datang.

Dulu saya bukan balita yang pendiam. Mamak saya dulu sering cerita kalau sewaktu usia 3-4 tahun, saya dan kakak saya yang beda 1 tahun, setiap pagi selalu nangkring di depan rumah. Buat apa? Menggoda cewek kembar yang waktu itu sudah duduk di bangku SD. Kami selalu mencegat mereka dan kadang-kadang menarik rok merah mereka.

"Bu Akbar, ini lho Nuran sama Kiki" mereka selalu berteriak ketika saya dan kakak saya muncul di tengah jalan dengan coreng moreng bedak bayi. Baru ibu saya keluar dan menjadi malaikat penolong bagi gadis kembar bernama Dina Dini itu.

Dulu saya pikir saya adalah bocah ternakal di seluruh dunia. Setidaknya di seluruh Indonesia.

Sampai saya bertemu dengan pahlawan saya.

Yang membuat saya harus bertemu dengannya. Memeluknya . Membakarkan dupa, atau menyajikan sesajen. Karena bocah ini adalah bocah pahlawan bagi seluruh anak-anak yang memimpikan jadi preman suatu saat nanti (emang ada ya anak-anak yang ingin jadi preman?).

Sambutlah, SANDY MACAN! Atau kadang dia menyebut dirinya sebagai Sandy Wedhus (wedhus itu bahasa jawa untuk kambing.Hey Raditya Dika, get off, panggilan kambing lebih cocok buat Sandy).

Bocah ini melakukan semua kenakalan yang seharusnya hanya pantas dilakukan oleh orang dewasa. Mulai merokok, misuh, sampe memperagakan orang bersetubuh.




Gila!

Saya dapat video pertama Sandy dari Cempreng, adik angkatan saya semasa SMA dulu. Ketika dikasih link video ini, saya hampir mati tertawa di bilik warnet yang sepi. Saya cekikikan, seraya harus menahan tawa yang berakibat perut saya kram. Serius.

Di video yang sepertinya diambil di sebuah gudang ini, Sang raja macan ini menunjukkan kalau dia sebenarnya adalah bocah yang cerdas. Dia begitu paham cara berkomunikasi ala orang dewasa. Bagaimana cara merokok yang benar , memperagakan gerakan bercinta ala dewa, hingga bagaimana membuat kepulan bulat dari asap rokok. Sadis!

Video ini berdurasi 3 menit 28 detik, durasi yang cukup lama bagi Sandy untuk menggila. Opening scene-nya pun shocking. Seseorang menanyainya.

"Sandy lek gede dadi opo? (Sandy kalau besar jadi apa?)

"Maling"

"Dueke digawe opo? (Duitnya dibuat apa?)"

"Mbalon (Melacur)"

"Nangdi (Dimana?)"

"Ndek dolly (di Dolly)"

Di video legendaris ini pula, Sandy mengeluarkan banyak petuah yang akan selalu dikenang oleh para pengikutnya.

"Sik, tak entekno rokoke, tak enak-enakno (Tunggu, aku habiskan dulu rokoknya, aku enak-enakin)" ujarnya seraya duduk dengan satu kaki ditekuk dan menghembuskan asap rokok. Kalimat ini yang sekarang selalu digunakan teman-teman saya untuk menggambarkan bersantai. Lalu ada lagi.

"Sandy balita?"

"Bejat"

"Jangan di?"

"Tilu. Lambene lusak (mulutnya rusak)" jawabnya. Dia bahkan belum bisa melafalkan huruf R dengan benar. Tiru jadinya tiru.

Ada juga adegan dia yang menirukan macan. Sembari bergaya dengan mimik muka yang lucu, dia berkata "Aku yo, macan yo, medeni yo, eaaaaaaaa."

Tapi yang paling memorable adalah ketika dia bercerita kalau temannya yang bernama Keceng kenthu (bahasa jawa slang untuk bersetubuh) di pos.

"Keceng kenthu ndek pos maeng . (Keceng tadi bersetubuh di pos). Ambek aku tak seneni. Ojo kenthu ndek pos, timbang tak bedhil koen! (Aku marahin. Jangan bersetubuh di pos, daripada nanti kamu saya tembak!). Lek nyeluk aku, ampun boss, ampun boss (Kalau manggil aku, ampun boss). Ampun matamu iku a! Tak ngonokno ambek aku (ampun matamu itu! Aku gituin!)" katanya bersemangat.

Yang bikin saya ketawa ngakak adalah, Sandy mengucapkan semua dialognya dengan intonasi dan gestur tubuh yang meyakinkan saya kalau dia adalah orang dewasa yang terperangkap dalam tubuh anak-anak.

Scene akhir video ini adalah ketika Sandy mengeluarkan asap rokok berbentuk bundar sempurna dari bibirnya. Saya sering meledek teman-teman saya yang tidak bisa melakukan itu.

"Mending berhenti ngerokok aja, bikin bunder aja gak bisa. Malu sama Sandy!" Mampus, hahaha :D

Segera saja, video itu menyebar. Tak butuh waktu lama bagi Sandy untuk jadi selebritis dadakan. Hampir semua media besar mewawancarai bocah perokok ini. Beberapa orang bahkan ikut mendompleng "ketenaran" bocah ajaib ini. Ada beberapa keluarga yang bercerita pada awak berita kalau anaknya merokok.

Saya ingat, ada satu keluarga dari Sumatera yang mempunyai anak balita perokok. Ketika diwawancarai, ibunya menggunakan bedak tebal dan gincu yang berwarna merah darah. Tampaknya dia sudah bersiap untuk diwawancarai. Suck!

Dampak dari popularitas mendadak ini ternyata melanda Sandy. Pemerintah akhirnya "perduli" akan balita rock n roll ini. Sang raja wedhus ini akhirnya dipertemukan dengan psikolog anak yang tersohor itu. Berujung pada Sandy yang berucap "Jancuk koen! Cuih" sembari meludahi sang psikolog anak itu, hahaha. You are so fucking rock kid!

Akhirnya sang maharaja preman kota Malang itu dimasukkan ke dalam panti rehabilitasi. Sandy dikurung di dalam sebuah kamar. Hebatnya, bocah dengan pipi tembem ini berusaha kabur dengan meloncat keluar lewat jendela. Luar biasa! James Bond cilik! Sayang dia tertangkap, dan pelariannya gagal.

Saya sendiri rada sedikit miris melihat sang idola saya dikurung. Hey, dia hanya bocah! Seharusnya yang direhabilitasi adalah para orang dewasa yang mengajarinya banyak perbuatan gila itu. Sandy hanyalah balita yang sedang dalam fase imitasi, yang cenderung menirukan apa yang diucapkan oleh orang lain. Dan keputusan untuk memperlakukan Sandy seperti penyakitan adalah keputusan yang salah. Besar. Keputusan untuk merelokasi tempat tinggal Sandy itu sepertinya lebih tepat. Mempertemukannya dengan lingkungan baru yang lebih baik akan menjadikan Sandy tumbuh berkembang dengan baik. Sayang relokasi itu terbentur biaya. Ayahnya hanyalah seorang kuli (ada yang ngomong tukang parkir) dan ibunya adalah seorang buruh cuci. Kapan-kapan saya akan ngomong ke Mamak untuk mengadopsi bocah ini.

Tapi sepertinya terapi itu berhasil. Sandy sang preman Malang itu berhasil "dijadikan" sebagai anak kebanyakan. Meskipun beberapa kali celetukan nakal dan cerdasnya keluar. Saya sendiri tak banyak mengikuti berita junjungan saya itu.

Tak dinyana, Angga Nyen, teman saya yang pantas untuk jadi kakak kandung dari Sandy Macan ini mendapat kiriman video Sandy lagi. Saat itu sepertinya Sandy masih belum masuk panti rehabilitasi. Video ini masih jarang dipunyai orang. Akhirnya Nyen mengunggah video ini ke Youtube dan sampai saat ini udah dilihat hampir 8 ribu kali.

Uniknya, di video kedua ini, Sandy mengenakan baju yang sama dengan baju yang dipakainya di video pertama. Sepertinya baju itu adalah baju setan, seperti topeng hijau di film The Mask.

Video kedua ini berdurasi lebih panjang. 7 menit lebih. Di video yang diambil di daerah Pulosari ini, Sandy benar-benar membuktikan kalau dirinya adalah jagoan misuh. Perkawanannya dengan orang dewasa membuat dia menjadi dewasa sebelum berkembang. Banyak sekali stok omongan kasar dan jorok di video ini. Yang saya sayangkan adalah, Sandy tak lagi tampak lucu di mata saya. Ia menjadi sedikit mengerikan. Dengan pipi yang menjadi tirus ketimbang pertama kali saya melihatnya, ia sudah bukan lagi bocah chubby yang lucu.

Tapi dandanan dan cara ngomongnya masih membuat saya tertawa. Cara dia memakai topi terbalik, menyanyikan mars Arema, caranya misuh, hingga caranya melabrak orang yang melihatnya, sungguh membuat saya tertawa, meski tak sekeras tawa saya dulu.

Ibarat makanan, Sandy adalah caviar yang langka, mahal, dan nikmat. Tapi kalau dimakan terlalu sering akan membuat bosan. Tetap nikmat, tapi sensasinya tak seperti ketika dulu pertama kali mencoba.

Karena Sandy pula, saya jadi ingin pergi ke Malang, menemuinya, lalu berfoto bareng. Iya, saya memang mengidolakan bocah ini.

Untuk melihat video Sang Raja Hutan yang pertama, klik disini.

Untuk melihat video kedua Sang Inspirator Gang Macan ini, klik disini.



*Untuk Fakhri, iki utangku Jak. Ayo saiki giliranmu! Lek wani, lebokno Jakartabeat atau Rolling Stone, ben kowe dipecat, hahaha*

Jumat, 20 Agustus 2010

High Fidelity dan Jack Black





Saya mengamini bahwa Jack Black itu keren. Walaupun menonton High Fidelity berulang-ulang, saya tak pernah berhenti tertawa melihat adegan-adegan Barry (clerk toko piringan hitam Championship Vinyl yang diperankan oleh Jack Black).

Mulai dari menghina Belle and Sebastian sebagai Sad old bastard music, hingga adegan menolak pria yang mencari piringan hitam I Just Called to Say I Love You. Jack dengan lucunya berkata "Do we look like the kind of store that sells "I Just Called to Say I Love You"? Go to the mall." Huahahahaha, saya tidak bisa berhenti tertawa :D

Adegan lucu lain adalah ketika Rob (sang pemilik toko vinyl, yang dimainkan oleh John Cussack) bertanya tentang makna dari kalimat "I haven't seen Evil Dead II yet?" Rob dan Barry terlibat perdebatan lucu. Di adegan ini saya selalu tak bisa menahan tawa :D

Tapi adegan yang paling memorable adalah, ketika di penghujung film, Barry dan bandnya tampil di acara yang diadakan oleh Rob. Rob sendiri takut kalau-kalau band-nya Barry menghancurkan acaranya.

Adegan paling memorable di High Fidelity

Ternyata Barry membawakan lagu favorit Rob sepanjang masa, "Let's Get It On" dari Marvin Gaye. Uh, saya sangat suka adegan di penghujung film ini. Melihat bagaimana Jack bernyanyi dengan apik, dan Rob terkaget-kaget sekaligus senang.Untuk lihat video keren ini, silahkan klik disini


Ah, Jack Black memang keren! :D


Quote di adegan-adegan Barry:


"Do we look like the kind of store that sells "I Just Called to Say I Love You"? Go to the mall."

Barry: Holy shite. What the fuck is that?
Dick
: It's the new Belle and Sebastian...
Rob
: It's a record we've been listening to and enjoying, Barry.
Barry: Well, that's unfortunate, because it sucks ass.

"Ok buddy, uh, I was just tryin' to cheer us up, so go ahead. Put on some old sad bastard music, see if I care."


Barry
: What's her name?

Dick
: Anna.

Barry
:Anna? Anaconda?


"Rob, I'm telling you this for your own good, that's the worst fuckin' sweater I've ever seen, it's a Cosby sweater. A Cooooosssssssby sweataahhhh."


"Don't tell anyone you don't own "Blonde on Blonde". It's gonna be okay"



Jember, 2o Agustus 2010
Sembari menikmati OST High Fidelity

Jumat, 18 Juni 2010

When You're Strange: The Film About THE DOORS


Salah satu film bagus mengenai kisah sebuah band rock adalah The Doors. Film yang disutradarai oleh Oliver Stone ini begitu memukau, apalagi akting Val Kilmer yang menghipnotis itu.

Tapi ternyata, Ray Manzarek, sang pemain synth The Doors mengatakan bahwa film itu tidak bagus sama sekali.

""Jim with a bottle all the time. It was ridiculous . . . It was not about Jim Morrison. It was about Jimbo Morrison, the drunk. God, where was the sensitive poet and the funny guy? The guy I knew was not on that screen." kata Ray dalam suatu wawancara.

Ray mengkritik Oliver yang terlalu mengeksploitasi sisi pemabuk dari Jim, yang sering disebut dengan alter ego bernama Jimbo. Ray menanyakan kemana perginya Jim sang penulis puisi yang sensitif dan rapuh serta lucu.

Sejak saat itu, Ray sepertinya punya obsesi untuk punya film yang bisa menggambarkan Jim Morrison secara utuh.

Tuhan pun mengabulkan permintaannya. Maka inilah dia, sebuah rockumenter yang saya ramalkan akan bisa membuat anda menyembah THE DOORS, bukan lagi Ariel Peterpan.

When You're Strange adalah sebuah film tentang The Doors yang disutradarai oleh Tom DiCillo. Film ini diambil dari sejumlah footage yang diambil dari tahun 1956 hingga saat kematian Jim pada tahun 1971.

Dari trailer yang saya tonton di youtube, film ini berisi tentang segala kegiatan The Doors yang belum pernah ditonton oleh publik. Di film yang dinarasikan oleh kakak saya, Johnny Depp, adegan dibuka oleh suara Depp yang berat, yang berucap "If the doors of perception were cleansed everything would appear to man as it is, infinite", sebuah penggalan kalimat dari puisi William Blake yang berjudul The Marriage of Heaven and Hell. Kalimat itu seakan menjadi ucapan bismillah dari rentetan adegan-adegan yang menghipnotis.

Jim yang brewok berjalan sendirian diantara gurun pasir, lalu dia menyetir mobil sembari berteriak dengan liar. Lalu ada cuplikan kata-kata Jim yang legendaris

"these days, you have to be a politician or assasin or something to really be a superstar"

"“You're all a bunch of fuckin' slaves!”


Lalu adegan-adegan kegilaan yang disebabkan oleh The Doors pun silih berganti muncul. Histeria massa, polisi yang kalap, hakim yang membacakan keputusan penahanan Jim, Jim yang menarikan Ghost Dance di depan anak-anak, hingga kabar kematian Jim Morrison di Paris.

"Ladies and gentlemen, The Doors." Lalu gelap. Trailer habis.


Ah! Sepertinya film ini bakalan sangat keren!

Di Amerika, film berdurasi 90 menit ini sudah dirilis pada tanggal 9 April 2010. Film ini sendiri menjadi official selection di beberapa festival film, antara lain di Sundance Film Festival, Berlin Film Festival, London Film Festival, hingga Mar Del Plata Film Festival. Bahkan dalam Santa Barbara Film Festival, film ini selalu sold out dalam setiap pertunjukannya. Jancuk! Film ini akan dirilis dalam format DVD dan Blue Ray serentak pada tanggal 29 Juni 2010.

Jhonny Depp dalam sebuah wawancara berkata "Watching the hypnotic, hitherto unreleased footage of Jim, John, Ray and Robby, I felt like I experienced it all through their eyes. As a rock n’ roll documentary, or any kind of documentary for that matter, it simply doesn’t get any better than this. What an honor to have been involved. I am as proud of this as anything I have ever done.”


Jadi semakin tidak sabar!

Bagi yang tidak tahu siapa itu The Doors, klik disini

Situs film When You're Strange, klik disini



“HYPNOTIC!”
Peter Travers, ROLLING STONE

“UTTERLY ENTHRALLING. THE FILM IS POETRY.”
THE ATLANTIC

"An absorbing, visual voyage" (Washington Post)

This movie is the story of the band but it is also an insight into a moment in time that will never be repeated.” (Tom DiCillo)



I don't want to die in my sleep, or of old age, or OD...I want to feel what it's like. I want to taste it, hear it, smell it. Death is only going to happen to you once; I don't want to miss it. (Jim Morrison)







Surabaya, 18 Juni 2010
Sembari mendengarkan dan mendonlot lagu-lagu The Doors
Karena di komputernya Ayos gak ada lagu-lagu The Doors.
Payah ah, hahahaha