Tampilkan postingan dengan label Cangkrukan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cangkrukan. Tampilkan semua postingan

Senin, 02 Februari 2015

Dua Toko Kaset Terakhir di Kota Jember

Beberapa hari lalu, saat pulang ke Jember, saya menyempatkan mampir ke toko kaset Melody dan Metal.

Itu adalah dua toko kaset yang tersisa di Jember. Saat masa jaya kaset, ada banyak sekali toko kaset di Jember. Tapi yang paling terkenal ada tiga: Pinokio, Metal, dan Melody. Uniknya, ketiga toko kaset ini berada dalam ruas jalan yang sama.

Saya pertama mampir ke Melody. Toko ini pernah jadi toko kaset terbesar di Jember. Berdiri sejak 1986, toko ini berdiri dengan modal yang besar. Karena itu bisa sangat ekspansif. Semasa masih laris, Melody sampai punya tiga cabang. Salah satunya ada di Johar Plaza Jember, atau orang Jember menyebutnya sebagai Matahari.

Saya membayangkan koleksi kaset Melody masih banyak. Sewaktu terakhir berkunjung ke sini tahun 2010-an, koleksi kasetnya masih banyak. Sayang, harganya masih tetap normal. Saya sebagai mahasiswa tak bisa belanja sesuka hati.

Sebelum datang ke Melody, saya sudah membayangkan kaset-kaset yang akan saya borong. Warrant. Bon Jovi. Cinderella. Steelheart. The Black Crowes. Wah, saya gembira.

Tapi kecewa segera datang karena ternyata Melody sudah tak jual kaset lagi.

Melody Kini: Nyaris nihil kaset

"Itu tinggal yang ada di sana," ujar Cik Linda, pemilik Melody, sembari menunjuk rak di ujung toko.

Buyar semua bayangan kaset yang akan saya beli. Dengan langkah gontai saya berjalan ke pojokan. Melewati beberapa tape deck dan headsetnya. Dulu, ada banyak orang duduk di kursi dan mencoba kaset sembari mengangguk-anggukkan kepala.

Koleksi kaset Melody tinggal beberapa ratus. Jauh menurun ketimbang dulu yang mencapai ribuan kaset. "Dulu karena saya distributor Billboard, saya setiap tahun diundang ke acara penghargaan musik di Jakarta," kata Cik Linda.

Saya melongok kaset yang tersisa. Ada Mike Tramp, albumnya Remembering White Lion. Sama sekali tak menarik. Ada pula kaset Greatest Hits Blondie, saya sudah punya, mengambil dari koleksi kaset Mas Taufiq beberapa tahun silam.

Sempat mau mengambil kaset Tracy Chapman, mata saya terbentur oleh kaset berwarna biru pucat, dengan garis kuning di pinggir kiri.

To Records Only Water for Ten Days by John Frusciante.

Saya akhirnya mengambil kaset ini. Saya suka John Frusciante, tentu karena karya-karyanya bersama Red Hot Chili Peppers. Beberapa kali saya mendengarkan proyek solonya. Cukup menyenangkan didengar, walau tak sampai meninggalkan kesan mendalam.

Di kasir, saya sempat ngobrol dengan Cik Linda yang turun tangan langsung. Cik Linda, yang merupakan generasi kedua pemilik toko, adalah orang yang ramah. Ia selalu menyiapkan air mineral gelas dan sekantung permen untuk para pembeli.

"Sekarang omzet jauh menurun. Sekarang tinggal 25 persen saja," kata Cik Linda.

Saya membayangkan di masa kejayaan Melody. Andai toko ini beromzet Rp 10 juta per bulan, sekarang hanya mendapat Rp 2,5 juta per bulan. Berat sekali memang. Ini berpengaruh besar pada jumlah karyawan yang ia punya.

"Dulu ada lima karyawanku, sekarang cuma dua," katanya.

Sekarang Melody banyak menjual CD dan VCD original. Walau koleksinya juga tak terlalu mengagumkan. Pembelinya adalah orang-orang bermobil yang masih setia memutar cakram di dalam mobil. Selain itu, kaset-kaset pengajian dan burung berkicau juga masih lumayan laris. Malah menempati rak paling depan di dalam toko.

"Sudah lama mau ganti bisnis, tapi masih terkendala modal," kata Cik Linda.

Saya sempat menanyakan apakah ia menjual Walkman, ternyata ia sudah tak ada. Dulu Walkman adalah salah satu barang yang laris manis di Melody.

"Coba kamu ke Metal, siapa tahu ada," ujar Cik Linda.

Saya menyebrang jalan. Iya, Melody dan Metal memang cuma dipisah seruas jalan saja. Benar-benar berhadapan. Tapi setahu saya mereka tak pernah saling sikut.

Metal dimiliki oleh satu keluarga besar Tionghoa. Selain kaset, mereka juga membuka usaha fotografi dengan nama yang sama. Usaha fotografinya cenderung tahan lama. Sampai sekarang masih ada dan tetap besar. Tokonya pas di samping Melody.



Metal sudah banyak berubah. Dulu toko ini mentereng dengan cat warna putih yang cemerlang, dan papan nama besar berlampu neon. Sekarang, cat pudar dan lampu neon sudah lama mati. Temboknya pun dimamah lumut.

Om Willy, pemiliknya, adalah satu-satunya karyawan yang tersisa. Ia menyilahkan saya melihat kaset-kaset yang tersisa.

"Masuk ae, lihat-lihat," ajaknya sembari membuka pintu.

Koleksi kaset Metal sekarang jauh lebih sedikit ketimbang Melody. Dulu, Metal sempat berjaya. Maklum, toko kaset ini pecahan dari toko kaset yang lebih lama, Pinokio.  Toko kaset itu sudah ada sejak tahun 70-an. Bisa dibilang toko kaset pertama di Jember. Nama awalnya adalah Maranz. Entah kenapa diubah jadi Pinokio.

Pinokio merupakan tempat bersejarah bagi saya. Masih lekat dalam ingatan, sepulang dari Johar Plaza, kami sekeluarga berjalan kaki. Saya melihat poster promo album Pandawa Lima milik Dewa 19. Beberapa malam sebelumnya, saya melihat video klip "Kirana" yang tampak aneh, sekaligus mengagumkan. Musiknya enak.

Saya meminta kaset itu, dan ayah dengan senang hati mengabulkannya. Jadilah Pandawa Lima sebagai kaset pertama yang saya punya.

Tapi Pinokio lantas pecah kongsi. Om Willy akhirnya mendirikan toko kaset baru, Metal pada tahun 1983. Pinokio sendiri lebih dulu menemui ajal. Ia bangkrut sekitar 3-4 tahun lalu.

Saya menengok koleksi kaset di rak Metal. Tak ada yang istimewa. Ada beberapa album Blur, Muse, Radiohead, tapi tak saya ambil karena bukan favorit saya. Plus, saya sudah punya beberapa album mereka. Hasil merampok mas Taufiq. Hehe.

Lalu ada pula kaset-kaset Senam Kesehatan Jasmani. Saya sempat tergoda membelinya karena pernah membaca tulisan mas Budi Warsito soal kaset senam ini. Dalam tulisan itu, seakan-akan lagu senam zaman Orde Baru ini begitu menghipnotis dan membuat kita otomatis bersemangat.

Tapi saya ternyata tak sehipster mas Budi, jadinya batal membeli kaset ajaib ini.

Pilihan akhirnya diputuskan sewaktu melihat kaset Native Tongue milik Poison. Ini album keren. Kebetulan saya belum punya kaset ini. Langsung saja saya sambar.

Saat mau membayar, lha kok ndilalah saya lihat album Permission to Land-nya The Darkness. Ini album yang menyelamatkan rock n roll di awal tahun 2000. Iya, album ini. Bukan album Is This It milik The Strokes yang biasa saja itu.

Akhirnya saya beli dua album itu. Harganya masih harga lama. Native Tongue dihargai Rp 19 ribu, Permission to Land Rp 23 ribu. Lebih murah ketimbang harga kaset di Melody.

Selepas membayar, saya sempat menengok bagian dalam Metal. Bagian kanan toko, yang dulu dipenuhi kaset lintas genre, kini dipenuhi oleh pigura foto dan kardus-kardus berisi pigura dan album foto.

"Ya sekarang lebih banyak bantu-bantu kakak di studio foto sih," kata Om Willy.

Saya tak pernah membayangkan bisa menjadi saksi surutnya sebuah kebudayaan, sebuah cara menikmati musik. Iya surut, bukan mati total. Di Jakarta, kini sedang demam mendengarkan kaset kembali. Tata niaga kaset bekas kembali menggeliat. Beberapa band bawah tanah juga mulai kembali merilis album dalam bentuk kaset. Walau dalam skala kecil.

Tapi di Jember, kota kecil berjarak ratusan kilometer dari Jakarta, mendengarkan musik melalui kaset sepertinya sudah akan menemui ujungnya. Gaung bangkitnya kaset di Jakarta, seperti tak terdengar di sini.

Melody dan Metal kini seperti sedang menghela satu-dua napas terakhir. Sebelum akhirnya menunduk kalah dan menutup tirai. []

Kamis, 29 Januari 2015

Rumah di Jalan Kapuas



Ingatan saya tentang rumah ini lamat-lamat.

Diseruduk bebek. Ayam dengan leher terpotong, menggelepar. Pohon kedondong berukuran raksasa, dengan ratusan buah yang menjuntai. Sebuah mobil tua yang ditumbuhi semak belukar, teronggok di pojokan. Sendirian. Kesepian. Lalu dari dapur, harum masakan selalu menguar. Meski tak selalu hangat, masakan itu selalu enak.

Saya nyaris tak bisa menahan rententan kenangan saat melihat dua buah rumah di sepetak tanah, di Jalan Kapuas, Lumajang. Itu rumah kakek-nenek dari pihak ayah, yang sudah ditinggalkan belasan tahun lalu.

Rumah ini bukan sekedar rumah. Ia adalah tapak kenangan yang panjang. Sudah ada sejak ayah baru lahir, hingga akhirnya harus ditinggalkan karena Mbah Co tertipu oleh partner bisnis.

Ada dua rumah di lahan ini. Satu rumah panjang yang digunakan sebagai rumah induk, satu lagi rumah yang selalu dikontrakkan. 

Saya lupa ada berapa kamar di rumah induk. Sebentar, coba saya ingat-ingat dulu. Kalau tak salah empat kamar, dengan tiga tempat tidur tambahan: di samping ruang tamu, dekat perpustakaan, dan di depan televisi.

Ruangan yang paling menyenangkan waktu saya masih kecil tentu adalah perpustakaan. Mbah Co mantan guru Bahasa Inggris. Koleksi bukunya banyak. Mulai novel, hingga pelajaran Bahasa Inggris. Anak-anaknya suka membaca apa saja. Mulai buku sejarah, roman, hingga komik.


Mbah Co-Ayah-Mbah Ti-Om Asang-Om Momon-Om Subur


Saya coba mengingat apa saja komik yang saya baca dengan mata berbinar. Ini komik lama. Bentuknya persegi panjang. Mbah Co dengan rajin selalu membundel kumpulan komik ini agar tak tercecer. Yang paling melekat di ingatan adalah komik Barbarossa, Si Janggut Merah terbitan Indira.

Setelahnya, saya ingat betul komik Storm dan Trigan. Dari dua komik yang digambar oleh seniman yang sama, Storm yang paling lebih berkesan. Grafisnya yang menampilkan mahluk luar angkasa yang kejam dan bermuka buruk, kota futuristik, gadis seksi berpakaian minim, hingga tokoh jagoan berbadan kekar dan liat, begitu melekat di benak saya waktu kecil.

Edisi Storm yang paling saya ingat adalah edisi dengan sampul muka Storm yang menggendong teman perempuannya, dengan mata dibalut kain. Apa sebab? Soalnya ia berjalan melewati gurun, yang saking panasnya, bisa membuat mata buta. Wuih, terdengar sangat apokaliptik dan keren sekali ya?

Saya suka membaca komik-komik itu di beranda depan rumah. Asri. Banyak pohon. Ada bougenvile dan beberapa tanaman rambat lain. Lalu ada papan dart yang dijadikan sarana terapi bagi Mbah Co yang terkena stroke.

Di kamar mandi, Mbah Co memelihara sepasang ikan mas. Katanya buat makan jentik nyamuk. Mbah Ti pandai memasak. Menu andalannya adalah ayam bakar. Bumbunya resep turun temurun. Diwariskan ke menantunya, mamak saya.

Sampai sekarang, sepertinya belum ada bumbu ayam bakar seenak warisan Mbah Ti ini.

Tempat kesukaan Mbah Ti adalah di bawah pohon anggur, di depan pintu samping rumah induk. Biasanya ia duduk di sana sembari membakar ayam.

Mbah Co dan Mbah Ti tidak tinggal berdua saja. Ada adik Mbah Ti yang lantas jadi salah satu orang yang paling berkesan di hidup saya: Mbah Dam.

***


Yang pegang gitar itu om Momon. Di depannya, melambaikan tangan, itu Om Ammar.
Di belakang yang sedang makan itu Om Subur.
Di depannya, dia lah Mbah Adam. 

Namanya Adam. Saya tak pernah menanyakan nama lengkapnya. Namun beberapa orang keponakannya memanggilnya Johnny Adam.

Sewaktu kecil, saya menganggapnya sebagai orang tua yang aneh. Ia tak ceriwis. Lebih suka bicara seperlunya. Ia kerap mendesis, "aaahhhh", dengan mimik muka yang lucu. Namun kalau sedang bercerita, ia macam Gabriel Garcia Marquez yang mendongengkan dongeng-dongeng dari antah berantah.

Ajaib. Mencengangkan. Nyaris sukar dipercaya. Beberapa kisah daur ulang yang ia ceritakan pun bertambah tingkat keajaibannya. Saya ceritakan kapan-kapan saja.

Mbah Dam punya pekerjaan yang menuntut komitmen, daya tahan tinggi, dan kecepatan tangan yang tak terperi: tukang jagal ayam. Namanya sudah masyhur seantero Lumajang. Wajar, Ia sudah melakukan pekerjaan itu selama puluhan tahun. Pisau jagal sudah seperti tangan kanannya sendiri. 

Saya selalu penasaran melihat caranya menyembelih ayam. Pernah saya melihatnya sekali. Ia mengambil satu ayam dengan santai. Lalu menoleh ke saya yang mengintip dari belakang.

"Jangan dekat-dekat, nanti kamu kecipratan darah ayam," ujarnya setiap saya mendekat padanya karena penasaran caranya menggorok leher ayam.

Beberapa detik kemudian, Mbah Dam membetot leher ayam dengan dingin, lalu sreetttt. Dengan kecepatan nyaris tak terkejar oleh mata, pisau melayang. Tahu-tahu ayam naas tadi sudah menggelepar dengan leher tersayat. Darah muncrat dengan liar.

Gore!

Tapi belakangan saya tahu kalau ia adalah adik kandung Mbah Ti. Sejak saat itu, saya tak lagi memandangnya dengan aneh. Ia sedarah dengan saya. Apalagi Mbah Dam punya beberapa sifat dan perilaku yang saya sukai.

Yang pertama, ia tak pernah menikah sampai akhir hayat. Ini sedikit aneh, tapi sekaligus keren, bagi saya yang mengenalnya sedari kecil. Ia tahan kesepian. Misalkan butuh pelampiasan biologis, ia masih punya tangan kanan yang bisa bergerak secepat peluru itu. Sayang, saya dulu belum punya keinginan untuk berdiskusi soal esek-esek dengannya. Pasti seru kalau itu terjadi.

Menjelang akhir hidupnya, ia --yang tinggal di rumah ayah dan mamak-- meminta menikah. Perempuan yang ingin ia nikahi adalah Yus, asisten rumah tangga di rumah saya. Yus janda beranak satu. Mamak tak keberatan dengan ide Mbah Adam. Tapi Yus sepertinya agak bingung menyikapinya. Akhirnya, mereka tak jadi menikah.

Kedua, Mbah Adam jago sekali main dam-daman, catur Jawa. Saya tak pernah menang melawannya. Bahkan saya yakin, kalau dam-daman dijadikan cabang olahraga seperti catur, hanya beberapa orang saja yang bisa menandinginya.

Gerakannya taktis. Lincah. Ia seperti bisa menerka ke mana saya akan menggerakkan bidak. Kala menyerang, wah seperti air bah. Nyaris tak bisa dibendung.

"Mbah Dam kok jago maen dam-daman? Ojo-ojo jenenge Mbah Dam iki polae jago maen dam-daman?"

Tapi ia tak menjawab. Hanya menggumam pelan. "Hmmmmm."

Dengan ketenangan setingkat pertapa dan perhitungan matang laiknya Gary Kasparov, ia mengambil bidaknya. Lalu, sret, sret, sret, sret, empat bidak saya dimakannya dalam satu gerakan.

Bajingan.

"Aaahhhhh," ia mengeluarkan desahan yang menggelikan melihat saya bermuka heran melihat biduk-biduk saya disantap dengan mudah. 

Ketiga, Mbah Dam suka sekali membagi permen. Cara memberinya unik: dilempar ke pangkuan. Ia selalu punya sekantong persediaan permen beraneka ragam. Mulai rasa susu, strawberry, hingga yang pedas. Karena itu, Mbah Dam selalu jadi favorit para keponakan dan cucunya. Ia juga punya sifat sama dengan Mbah Ti: tak pernah marah. Senakal apapun keponakan dan cucunya.


Mbah Adam dan Ryo, Ryan, Edo, cucu Mbah Adam dari Tante Arie

Keempat, Mbah Dam jago meramal angka toto gelap, alias togel. Saya tak sedang membual. Entah dari mana ia mendapatkan bakatnya itu. Kalau sedang menghitung angka togel, ia serupa dengan Raymond, pria autis yang bisa menghitung kartu dalam film Rain Man.

Ia pernah menghitungkan angka togel untuk beberapa handai taulan. Dan dengan bangga, mereka bilang menang. Hasilnya dibelikan televisi maupun perabotan rumah tangga lain. Mbah Dam dapat persenan lumayan.

Kemahirannya ini ditaklimatkan pada keponakan tersayangnya, sekaligus anak bungsu Mbah Co: Om Ammar. Ini sekaligus ironis, karena bakat yang menghidupi ini hanya bertahan pada Om Ammar saja, tidak kepada keponakan atau cucunya yang lain.

Suatu malam, saat sedang menginap di kamar Om Ammar, yang dipenuhi dengan poster Skid Row dan The Outsider, saya menyaksikan Om Ammar dengan khusyuk menjejer deretan angka. Lalu ia mencorat-coretnya. Saya tak paham ia sedang apa.

"Opo iku om?"

"Koen wis tahu ndelok film The Outsider? Wah iku apik, bla bla bla."

Om Ammar selalu mengalihkan pembicaraan setiap saya bertanya apa yang ia lakukan. Di kasur sebelah, Mbah Dam bertelanjang dada, mengipaskan lembaran karton yang menguarkan aroma asap hasil panggangan ayam. Ia tampak seperti guru yang sedang menanti muridnya belajar.

Kudus sekali.

***




Di samping rumah induk, ada satu rumah yang khusus disewakan. Saya tak ingat siapa saja pengontraknya. Saya beberapa kali difoto di sana. Bareng ayah, lain kali digendong Mbah Co.

Beranda depan rumah kontrakan ini adalah tempat saya mengadu kemampuan dam-daman melawan GM Adam. Dan saya selalu kalah, telak.

"Di sana itu Ikranegara pernah numpang tidur," kata Om Asang, anak kedua Mbah Co.

Dulu sewaktu SMP saya tak tahu siapa itu Ikranegara. Belakangan saya tahu beliau adalah pemain teater kelas Paus, pun aktor terkenal. Saya belum pernah bertemu dengannya. Kalau kapan-kapan kesempatan itu datang, saya ingin bertanya benarkah ia pernah menumpang di rumah Mbah Co.

Rumah yang disewakan ini pula yang masih tegak berdiri, masih tampak terawat. Bersih. Gedung di sampingnya kontras: sudah tinggal puing.

***

Mbah Co punya kebiasaan buruk: terlalu gampang percaya dengan orang.

Levelnya sudah tak tertolong. Bayangkan, ia dengan mudah meminjamkan sertifikat rumah ke seorang sahabatnya. Iya, sertifikat rumah Lumajang itu. Si sahabat brengsek ini lantas menjaminkan sertifikat tanah dan rumah ini ke bank untuk pinjaman. Seperti bisa ditebak, ia tak pernah membayar cicilannya.

Rumah Mbah Co akhirnya harus dilelang karena Mbah Co tak bisa membayar hutang bank. Sebelum dilelang, bank menawarkan terlebih dulu pada Mbah Co untuk menebus rumah itu.

"Waktu itu tahun 1987, rumah dan tanah itu harganya 6 juta. Itu banyak banget. Mamak dan ayah baru nikah, tak punya uang. Ya mana bisa nebus," kata Mamak suatu ketika.

Seorang pengusaha akhirnya membeli tanah itu. Ia berjanji akan memberikan pesangon sebesar Rp 10 juta sewaktu Mbah Co meninggalkan rumah. Tapi hingga pindah, dan meninggal, pesangon itu tak pernah datang.

Mbah Co dan Mbah Ti terusir dari rumah yang ditinggalinya sejak tahun 50-an.

Selanjutnya Mbah Co dan Mbah Ti dikontrakan rumah di Jember. Mbah Adam tak mau ikut. Ia masih berkarir sebagai tukang jagal ayam di beberapa kenalannya. Sesekali ia datang ke Jember menengok Mbah Co dan Mbah Ti.

Saya lupa tahun berapa, akhirnya Mbah Co dan Mbah Ti mau pindah ke rumah ayah dan mamak. Akhirnya, Mbah Adam pun mau menyusul tinggal di rumah. Rumah kami semakin ramai dan menyenangkan tiap harinya.

Mengingat masa itu, saya sedikit menyesal. Kala itu, saya sedang remaja yang sedang gemar bermain di luar rumah. Saya merasa kurang menghabiskan waktu dengan Mbah Co, Mbah Ti, atau Mbah Dam.

Saya merasa hubungan kami sudah tak seakrab sewaktu saya masih kecil dan takjub dengan segala cerita ajaib Mbah Co atau Mbah Adam, dan nyaman dengan kasih sayang Mbah Ti.

Tapi di satu sisi, saya merasa beruntung karena tiadanya jarak antara saya dan kakek nenek itu. Kami bertemu setiap hari, makan masakan yang sama tiap hari, kadang kala berseteru gara-gara hal kecil tiap hari.

Satu hal yang paling saya ingat dari masa tinggal Mbah Co, Mbah Ti, dan Mbah Adam di rumah ayah dan mamak, adalah betapa besar keinginan belajar Mbah Co. Ia masih rajin membaca atau mengisi teka-teki silang di harian Kompas atau Jawa Pos.

Senjatanya adalah buku-buku tebal. Mulai Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus Inggris terbitan Oxford, hingga Ensiklopedia lengkap.

Ia berkali-kali menang. Hadiahnya mulai Rp 150 ribu hingga yang lumayan besar di edisi ulang tahun. Kalau menang, saya dikasih persenan. Ini karena saya yang rutin mengirimkan kartu pos.

Kebiasaan Mbah Co untuk mengisi teka teki silang juga menurun pada ayah. Saat ayah juga terkena stroke, ia semakin rajin membuka kamus atau ensiklopedi untuk mendapat jawaban. Bedanya dengan Mbah Co, ayah selalu meminta tolong saya atau Orin untuk menuliskan jawaban di selembar kartu pos.

Mbah Co juga semakin rajin belajar bahasa. Suatu hari datang seorang bapak, dengan dandanan rapi, mencari Mbah Co. Mamak sempat pikir ia adalah sales. Ternyata bapak itu adalah guru Bahasa Arab yang dihubungi Mbah Co.

Hari itu, saya melihat Mbah Co belajar Bahasa Arab dengan tekun. Sang guru menulis di sabak, Mbah Co menyalin di buku. Tangan kanannya menulis dengan perlahan, sesekali berkedut. Stroke yang ia derita tak pernah benar-benar sembuh.

***


Atas, Kiri-kanan: Om Momon-Ayah-Om Subur-Om Asang
Bawah: Om Ammar
Di depan kandang ayam di belakang rumah.

Beberapa hari lalu saya dan Rani pulang ke Lumajang. Pakde saya meninggal dunia. Beliau sudah saya anggap sebagai ayah saya sendiri. Bahkan menjadi wali saat saya menikah tahun lalu.

Saya menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Mbah Co dan Mbah Ti. Jalan Kapuas nyaris tak ada yang berubah. Gapura yang kokoh. Cat yang sudah mengelupas. Plang Jl. Kapuas sudah jadi plang modern yang berwarna hijau. Dulu warnanya kuning, dengan warna huruf hitam.

Saya tercekat melihat lahan kosong yang terhampar itu. Ada pagar seng yang menutupi bagian depan lahan ini. Rumah induk sudah tinggal puing, dengan lumut memamah tembok. Beranda depan tempat saya membaca buku dengan takzim juga sudah jadi sarang nyamuk.




Di sebelahnya, rumah kontrakan masih berdiri dengan gagah. Bersih. Tak ada yang berubah. Tidak pula atap. Tak pula tiang. Atau pun lantai tempat saya dengan petentang petenteng mengatur batu sebagai pion catur, lalu tersungkur kalah oleh Mbah Adam yang tampak nggelendam-nggelendem tapi jago sekali.

Bedanya dengan dulu: sekarang tak ada lagi tanda kehidupan di rumah ini.

Saya merentangkan leher. Melongok ke bagian belakang rumah. Pohon kedondong raksasa yang dipasangi tali dan kayu untuk ayunan itu sepertinya masih berdiri.

Tempat Mbah Adam menjagal ayam pasti sudah dirambati perdu dan belukar. Di dekat sana pula, akhirnya saya terciprat darah ayam, dan muncul benjolan berwarna putih. Di sana pula saya pernah nangis karena diseruduk bebek peliharaan Mbah Co, lalu ditenangkan oleh Mbah Ti.

Aduh, perempuan anggun itu...

Saya mendegut ludah. Ini kedatangan saya pertama kali ke rumah ini setelah belasan tahun Mbah Co dan Mbah Ti terusir. Pantas Om Momon, anak ketiga Mbah Co dan Mbah Ti, tak pernah mau melihat rumah ini lagi, selamanya. Pahitnya bakal mencekik.

Saya meminta tolong Rani memotretkan rumah dan lahan yang dulu pernah dihuni oleh sepasang suami istri, lima orang anak lelaki badung, dan satu lelaki tua sonder istri yang lihai menghitung angka togel dan mengatur bidak catur Jawa.

"Buat apa?"

"Aku mau nulis tentang rumah ini." []

Rabu, 03 Desember 2014

Bob dari Potlot



Namanya Bob. Saya rasa, semua orang yang pernah datang dan nongkrong di Potlot pasti tahu orang ini. Bob sudah jual rokok di Potlot sejak tahun 1982. Namun mungkin tak banyak yang tahu nama aslinya.

"Nama asli saya Karyana, cuma anak-anak manggil saya Bob. Mungkin yang sekarang pada nongkrong di sini gak tahu nama asli saya siapa," katanya sembari tertawa. Memperlihatkan deretan gigi yang lumayan rapi dan sehat.

Mungkin nama Karyana dianggap terlalu susah untuk dihafal. Pun, kurang enak untuk dipanggil. Maka anak-anak Potlot waktu itu memanggilnya dengan sebutan Bob. Diambil dari kaus bergambar Bob Marley sedang nyimeng yang waktu itu sering dipakai oleh Karyana. 

Saya bertemu dengannya di sebuah siang yang terik. Urusan saya sudah selesai. Namun dahaga membuat  saya mampir di kios Bob. Minum teh botol dan makan keripik. 

Di luar gang, macet masih mengular panjang. Duren Tiga, Jakarta Selatan, memang salah satu titik macet. Tapi Potlot tenang, semacam tak tersentuh hiruk pikuk selatan Jakarta. Pohon-pohon besar yang tumbuh di banyak rumah juga banyak membantu mengurangi terik.

Bob datang ke Jakarta pada awal 80-an. Asalnya dari Tegal. Sama seperti kebanyakan perantau yang datang ke Jakarta, Bob berharap mendapat pekerjaan yang baik. Tapi hasilnya nihil. Setelah mencoba selama dua tahun, Bob akhirnya memutuskan mendirikan kios kecil tepat di bibir gang Potlot.

Sejak itu, Bob akrab dengan penghuni Potlot. Ia mengenal personel Slank sama baiknya dengan mengenal anak sendiri. 

Di suatu panggung 17 Agustusan, Bob terkesima melihat Akhadi Wira Satriaji bernyanyi di atas panggung.

"Dia nyanyi lagu barat, saya gak tahu judulnya. Tapi bagus bener. Saya mikir, ini anak bakal jadi penyanyi beneran," kata Bob.

Nubuatnya terbukti benar di kemudian hari. Akhadi, lebih dikenal sebagai Kaka, menjadi vokalis Slank, band rock n roll terbesar di Indonesia hingga sekarang.

Bob juga kenal baik dengan para remaja yang sering nongkrong di Potlot. Kebanyakan dari mereka lantas jadi musisi terkenal. Waktu remaja, para calon musisi itu sering nongkrong di jembatan. Main gitar dan nyanyi. 

Ada Imanez dan Didit Saad, dua bersaudara yang punya rumah tak jauh dari gang Potlot. Rumah mereka sekarang jadi Hotel Kaisar. Menurut penuturan Bunda Iffet, mantan personal manager Slank yang sudah tinggal di Potlot sejak pertengahan 60-an, kakek nenek Imanez dan Didit adalah orang kaya.

"Mereka punya tanah luas banget. Neneknya mereka itu orang terkaya keempat di Jakarta," kata Bunda.

Selain dua bersaudara itu, ada pula Oppie Andaresta, Bongky, Pay, Indra, hingga Denny, sepupu Bimbim yang lantas jadi bassist awal Slank.

Anak-anak muda itu sama saja dengan remaja kebanyakan. Merokok, tapi tak punya uang berlebih. Akhirnya mereka sering berhutang ke Bob. Kadang mereka berhutang tak tanggung.

"Si Indra dulu hutangnya malah suka satu slop. Sukanya rokok luar negeri, Camel itu. Kadang Marlboro," tutur Bob.

Hampir semua anak Potlot pernah berhutang pada Bob. Salah satu yang paling sering adalah Anang Hermansyah. Kala itu, Anang baru saja datang dari Jember. Ia dibawa oleh Pay, gitaris Slank. Anang lantas meniti karir sebagai vokalis band rock Kidnap Katrina, bersama Massto, adik Bimbim yang jadi drummernya, dan Koko, kakak Kaka yang jadi gitaris. 

Selain itu, Anang juga dikontrak sebagai penyanyi solo. Namun karir solonya lebih berhasil. Kidnap Katrina bubar seusai album perdana rilis. Saya sekali sebenarnya. Karena Kidnap adalah salah satu produk terbaik gang Potlot.

Suatu hari ada satu orang yang datang ke Bob. Tanya-tanya soal Anang. Bob tak tahu kalau yang datang itu adalah wartawan. Dengan enteng saja ia ngomong kalau Anang sering hutang rokok.

Dua minggu kemudian, artikel tentang Anang terbit di sebuah majalah remaja terkenal. Disebutkan, dengan gaya kelakar, bahwa Anang sering hutang rokok pada Bob.

"Dua hari kemudian, Anang lewat di Potlot naik mobil. Dia buka kaca, trus bilang, 'Wah jangan gitu dong Pak Bob. Kan semuanya juga hutang,'" kata Bob sembari tertawa.

Namun setelah banyak dari anak Potlot sukses, mereka tak lupa pada Bob yang berjasa memasok nikotin hutangan. Mereka kerap memberi uang pada Bob.

"Setiap lebaran, si Indra, Bongky, selalu rutin ngasih duit," kata Bob.

Momen gelap di Potlot adalah saat kebanyakan dari mereka kecanduan narkoba. Beberapa yang tak ingin ikut kecanduan, memilih untuk pergi dari Potlot. Sedangkan yang kecanduan, lebih memilih menekuri kecanduannya masing-masing di kamar mereka.

"Sudah gak ada lagi yang nongkrong di jembatan, gak ada yang gitaran sambil nyanyi-nyanyi," kata Bob.

Bagi Bob, narkotika memang membawa masalah. Ia bahkan pernah melihat sendiri seorang bandar tewas di depan matanya.

Hari itu, polisi berpakaian preman datang ke Potlot. Mereka sedang memburu bandar bernama Jerry, yang kebetulan sering nongkrong dan berbisnis di Potlot. Melihat polisi, Jerry panik dan melompat ke got di depan warung Bob.

Polisi ikut melompat, tapi jatuh. Mungkin karena kesal dan tak ingin capai mengejar, si polisi memilih untuk menarik pelatuk. Dor! Jerry tewas di got kecil itu. 

"Jerry ketembak di depan warung saya," kata Bob.

Potlot berduka karena mereka mengenal Jerry secara personal. Slank membuatkan lagu berjudul "(Jerry) Preman Urban" khusus untuk mengenang Jerry. Lagu ini muncul di album Tujuh yang dirilis awal 1998.

Berminggu berlalu 
Berbulan berlalu
bertahun berlalu
Dia terperosok semakin dalam

Suatu malam menjelang pagi
Di dekat rumahku
Dia buron karena ulahnya
3 peluru di tubuhnya
Jerry tewas di tangan petugas!

Di tahun yang sama, warung Bob digusur. Tapi berkat bantuan Bunda Iffet, Bob dapat sepetak lahan untuk berjualan. Tepat di samping markas Slank.

Sebotol teh sudah tandas. Macet sudah mulai terurai. Sepertinya saatnya untuk pulang. Saya pamit, Bob tersenyum.

Kalau kamu sedang berkunjung ke Potlot, mampirlah ke warung Bob. Bertanyalah apapun tentang Slank, atau para penghuni Potlot lain. Ia akan menceritakan kisah-kisah yang tak akan pernah dimuat di media atau ditayangkan di media gosip. []

post-scriptum: beberapa bahan di tulisan ini saya dapatkan dari tulisan pendiri Sarekat Pemuda Pengobral Aer Mata, Eddward S. Kennedy alias Panjul. Ia banyak membantu saya saat ada proyek Slank ini --yang akhirnya kandas di tengah jalan.

Rabu, 17 September 2014

Penjaga Harimau-harimau Terakhir




"Namanya Mul," kata Rahmad Wahyudi memulai ceritanya di sebuah sore yang damai di Pematang Reba, Riau.

Berdasarkan cerita masyarakat di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Mul berasal dari Palembang. Kerjanya masuk dan keluar hutan mencari burung langka. Terutama Murai. Karena itu, ia diburu oleh para polisi kehutanan. Sekali masuk, Mul bisa berminggu-minggu tinggal dalam hutan. Kalau perbekalan habis, atau butuh sesuatu, Mul akan turun di desa terdekat untuk belanja. 

"Nah saya dapat laporan dari warga sekitar, suatu hari Mul keluar dari hutan dan berhenti di desa. Pas saya ke sana, dia sudah hilang," kata Rahmad yang merupakan pimpinan Yayasan Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatera (PKHS).

Mul memang licin macam belut. Mampu hilang dengan cepat macam angin. Yang bikin Rahmad dkk gregetan, Mul selalu meninggalkan jejak yang jadi macam ejekan kepada para awak PKHS maupun polisi hutan: coretan namanya di pohon. Mul sudah lama dianggap sebagai residivis rimba.

Menurut Rahmad, Mul punya reputasi mentereng sebagai pemburu murai hutan. Tiap ekor yang ditangkap, Mul mendapat Rp 1 juta. Biasanya, saat keluar hutan, Mul membawa hingga 10 ekor murai hutan. Dulu, banyak penangkap murai tak mau menangkap murai betina. Alasannya: murai betina akan bertelur dan menghasilkan murai baru. Sekarang, karena semakin banyaknya permintaan, murai betina pun turut ditangkap.

"Gara-gara itu, sekarang tiap saya masuk hutan, sudah jarang ada suara Murai. Dulu kan nyaring banget," kata Rahmad gemas.

Kelicinan Mul dan hilangnya berbagai satwa di Taman Nasional Bukit Tigapuluh hanya beberapa cerita saja yang dialami oleh para anggota PKHS.

Ini adalah lembaga nirlaba yang berfokus pada perlindungan dan konservasi harimau Sumatera. Lembaga ini resmi dibentuk pada tahun 2007. Sebenarnya lembaga ini adalah terusan dari lembaga Sumateran Tiger Project yang lantas berubah nama.

Penyandang dananya adalah Sumateran Tiger Trust yang bermarkas di Inggris. Namun sejak tahun 2012, PKHS mendapat hibah dari Tropical Forest Conservation Action Sumatera (TFCA Sumatera). Ini adalah skema pengalihan hutang untuk lingkungan antara Pemerintah Amerika Serikat dan Indonesia. Hibah ini adalah mekanisme untuk mengurangi hutang luar negeri bagi negara-negara yang punya kekayaan hutan tropis, termasuk Indonesia. PKHS dianggap sebagai salah satu lembaga yang secara konsisten melakukan restorasi dan perlindungan spesies.

Sejak mendapat tambahan dana hibah dari TFCA Sumatera, PKHS pun berlari semakin kencang. Salah satu kegiatan rutin mereka adalah pemantauan harimau Sumatera dalam jangka panjang. Cara yang selama ini dipakai adalah memasang camera trap, alias kamera jebakan, di pohon untuk memantau harimau Sumatera.

Memasang kamera ini bukan pekerjaan mudah. Terlbih dulu, para awak PKHS harus mengetahui lebih dulu jalur yang dilewati oleh harimau.

"Tahunya ya dari tanda sekunder. Mulai jejak kaki, sampai kotoran. Lalu menentukan kordinat. Dari sana kita bisa memperkirakan jalur yang dilewati harimau," kata Rahmad.

Setelah kamera dipasang, bukan berarti masalah selesai. Kamera yang dipasang oleh PKHS adalah kamera dengan tingkat sensitivitas gerak yang tinggi. Bahkan daun yang bergerak kena angin pun bisa otomatis terekam. Karena dianggap benda aneh, banyak orang lokal yang memandangi kamera ini lama-lama.

"Mereka merokok di depan kamera. Seharian. Dan itu kamera terus merekam," kata Rachmad sembari terbahak.

"Tapi yang paling lucu ya anak-anak dari Talang Mamak atau Anak Dalam. Mereka joget-joget di depan kamera. Tapi mereka gak pernah merusak kamera. Mereka hanya penasaran. Yang berusaha merusak itu biasanya pemburu ilegal."

Masalah klise lain adalah beratnya medan yang harus dilalui. Punggungan buki di Taman Nasional Bukit Tigapuluh memang kejam luar biasa. Ada yang menanjak nyaris 90 derajat. Lalu turun dengan tajam. Medan berat seperti ini rawan bikin rontok fisik maupun mental.

Burhan Lahai adalah salah satu awak PKHS yang pernah jalan dengan empat kaki. Alias merangkak, saking tak kuat menahan lelah.

"Dulu pas awal tes, saya sangat percaya diri," kata Burhan.

Lelaki berusia 24 tahun ini memang pantas percaya diri. Ia atletis. Maklum, pemain futsal antar kecamatan. Betisnya keras dan penuh otot. Fisiknya jelas bisa diandalkan. Apalagi waktu tes fisik untuk masuk PKHS, Burhan berhasil lolos dengan gemilang. Rasa percaya diri itu bertahan. Hingga akhirnya tiba misi pertama Burhan melakukan pemeriksaan kamera.

"Aduuuh, ampun mak. Gak mau lagi mak," kata Burhan menirukan erangannya waktu pertama kali naik bukit.

"Rasanya mau berhenti langsung waktu itu."

Tapi akhirnya Burhan bisa bertahan. Sekarang mantan supir truk pengangkut sawit ini sudah terbiasa dengan medan yang kejam. Ibaratnya, jalan dua-tiga bukit belum membuatnya berkeringat.

Pemeriksaan kamera adalah kegiatan rutin awak PKHS. Dalam pemeriksaan itu, mereka mengganti memori kamera, hingga mengecek pelindung kamera yang terbuat dari besi. Kamera ini tersebar di berbagai titik.

Sekali tim PKHS masuk hutan, mereka bisa bertahan seminggu, atau lebih. Mereka membawa perbekalan sendiri. Memasak sendiri. "Digigit lintah sudah biasa bang," kata Burhan.

Yang membuat mereka tersiksa adalah kehabisan air. Kalau masa sulit itu datang dan sungai tak kunjung ditemukan, mereka memotong akar pohon yang mengandung air. Kalau lebih apes tak dapat akar pohon, mereka terpaksa minum air dari kubangan.

"Air itu sebenarnya bersih di permukaannya. Ada seninya. Harus pelan-pelan ngambilnya. Kalau buru-buru, wah lumpurnya kecampur sama air," kata Burhan.

Yang paling ditunggu oleh tim patroli ini adalah penghujung hari. Waktunya mereka beristirahat. Memasak, makan, lalu tidur. Tempat tidur mereka beralas tanah dan beratap terpal. Mereka memang membuat tenda sederhana berbahan terpal. Tenda ini terbuka di bagian sampingnya. Kalau kena hujan air bisa tempias ke dalam.

"Yang paling gak enak ya kalau hujan ditambah angin. Enak-enak tidur, hujan. Eh dikasih angin kencang pula. Bubar semua," kata Burhan cengar-cengir. (Bersambung)

Kamis, 01 Mei 2014

Rujak Sang Maestro

Beberapa hari lalu, saya mendengar kabar nestapa. Mbah Minah, maestro rujak di Jember, berpulang ke rumah abadi. Ia sudah berjualan rujak selama lebih dari 50 tahun. Hingga sekarang, rujak Mbah Minah adalah rujak tersedap yang pernah saya makan.

Kebetulan, beberapa tahun silam, saya pernah menulis tentang rujak Mbah Minah untuk majalah Tegalboto. Sayang, saya tak punya soft copy-nya. Untung saya masih punya majalahnya. Jadi tulisan lawas itu saya ketik ulang, dengan sedikit perubahan sana sini. Dan untung pula, Mico masih punya foto Mbah Minah. Meski hanya satu yang tersisa. Itupun dipajang di Facebook. 

Jadi tulisan ini saya unggah untuk mengingat semangat hidup Mbah Minah yang nyaris tak pernah padam. Selamat jalan Mbah Minah, sampai bertemu lagi kelak...


***

Sang Maestro


"Mbah ini orang goblok le. Mbah gak bisa baca tulis," kata Mbah Minah suatu ketika.

Mbah Minah adalah pendiri rujak Mbah Minah, rujak yang lantas dikenal seantero Jember. Beliau adalah contoh orang-orang yang lahir pada zaman penjajahan. Mereka tak tahu tanggal lahir, tahun lahir, apalagi baca tulis. Mbah Minah sudah berusia senja, dengan kerutan yang menghiasi seluruh jengkal kulit. Macam rajah yang menghiasi tubuh Tommy Lee, sang drummer Motley Crue yang nyaris tak punya sejengkal sisa kulit tanpa tato.

"Mbok Minah punya empat anak. Yang pertama sekarang kerja di Perumka," kata Ratmini, anak kedua Mbah Minah.

Ratmini yang berusia 51 tahun* adalah anak sekaligus asisten Mbah Minah. Ia terkadang membantu Mbah Minah mengulek bumbu rujak.

Perempuan yang suka sekali tersenyum ini punya kebiasaan unik. Ia selalu memanggil tamu laki-lakinya dengan sebutan Gus, sebuah panggilan kehormatan untuk para lelaki. Ini sekaligus pertanda bahwa ia selalu menaruh tamu dalam posisi yang terhormat, meskipun berusia muda.

Ratmini seringkali disebut sebagai penerus Mbah Minah. Walau sebenarnya istilah penerus itu tidak tepat. Karena Mbah Minah masih mengontrol semua produksi rujaknya.

Mulai dari belanja ke pasar, memilih bahan baku seperti petis; kedondong; mangga; hingga cingur. Ratmini sampai sekarang diberi tugas untuk mengulek, kegiatan yang menguras tenaga, sesuatu yang agak sulit dilakukan Mbah Minah di usia yang sudah senja.

"Tapi untuk ke pasar, saya sendiri Gus yang belanja. Kalau saya gak ke pasar,, saya tidak bbisa bertemu pacar-pacar saya," kata Mbah Minah sembari tertawa keras. Menampakkan gigi yang tinggal satu dua.

Pacar yang ia maksud adalah tukang becak dan para penjual bahan baku rujak. Saya tertawa kecil sembari membandingkan Mbah Minah dengan Rodiyah, nenek Si Doel dalam serial Si Doel Anak Sekolahan. Rodiyah yang sudah berusia senja juga acapkali genit. Tentu dalam konteks bercanda. Dan tentu saja tak ada yang menganggap kegenitan seorang nenek sebagai sebuah keseriusan.

Selain semangatnya untuk pergi ke pasar, Mbah Minah selalu membanggakan giginya yang sudah tinggal 5 biji itu. Ia menganggap gigi yang berjumlah sedikit itu sebagai penanda bahwa ia masih bayi.

"Orang-orang selalu bilang kalau saya kerok (tua), tapi saya masih bayi!" katanya sembari menunjuk giginya. Tawanya berderai.

Sejarah rujak Mbah Minah sudah dimulai sejak lebih dari 50 tahun. Hal yang membuat sulit untuk mengidentifikasi awal mula rujak ini adalah ketidaktahuan Mbah Minah akan tahun.

"Dulu waktu saya awal jualan, masih pakai uang ketengan (l0gam) dan uang kertas yang bergambar pohon kelapa," kata Mbah Minah mengingat periode awal ia berjualan.

Yang pasti, Mbah Minah sudah mulai berjualan sebelum ia punya anak. Sedangkan anak pertamanya sekarang sudah lebih dari 60 tahun. Jadi bisa dikira sendiri sudah berapa lama Mbah Minah berjualan rujak.



Mbah Minah adalah penduduk asli pulau Madura. Ayahnya adalah pedagang tembakau di Jember. "Setiap sebulan sekali dia pulang ke Madura. Kalau gak sempet ya dua bulan sekali pulang," kata Mbah Minah.

Karena intensitas bertemu yang jarang, Mbah Minah akhirnya diajak pindah ke Jember oleh sang ayah. Hal ini juga didorong oleh meninggalnya ibunda Mbah Minah. Saat itu Mbah Minah baru saja belajar berjalan.

Mbah Minah sedikit menerawang saat menceritakan masa kecilnya. Meski samar, ia ingat beberapa penggalannya. Seperti kemiskinan yang mendera. "Mbah dulu hanya makan nasi jagung, sayur daun singkong, dan ikan asin," katanya sembari tersenyum.

Selepas pindah ke Jember, hidup baru Mbah Minah pun dimulai. Keluarga kecil itu berpindah-pindah. Rumah pertamanya di daerah Patrang. Kemudian pindah ke daerah Sawahan. Hingga ke W.R Supratman, tempat tinggal Mbah Minah sekarang, yang sekaligus menjadi tempat berjualan.

Tempat berjualan ini sederhana saja. Namun hangat. Sebelum konsep open kitchen menjadi tren, Mbah Minah mungkin sudah mendahuluinya. Pembeli bisa melihat dengan jelas Mbah Minah dari balik lemari kaca tempat ia menaruh bahan-bahan rujak. Di sana hanya ada dua buah meja panjang dan beberapa kursi.

Wadah menaruh bahan rujak juga sederhana. Kotak kayu dua tingkat berwarna biru yang catnya sudah mulai memudar. Cobeknya pun tak kalah tua dengan umur Mbah Minah. Ia membeli cobek batu berat luar biasa itu dari seorang pedagang keliling, hampir 60 tahun yang lalu. Untuk penerangan sekaligus pengusir lalat, Mbah Minah menaruh sebuah lampu teplok kecil yang cahayanya berpendar lemah.

Semua kesederhanaan warung Mbah Minah ini adalah anomali dari semua teori pemasaran yang mengatakan tempat strategis adalah kunci larisnya sebuah produk. Bagaimana tidak, untuk menuju ke warung ini harus melewati gang sempit yang hanya cukup dilewati satu motor saja. Itu pun harus dituntun. Tapi itulah, dengan reputasinya sebagai rujak terlezat, pembeli pun rela datang. 

Selain itu, satu kunci untuk bisa menikmati rujak Mbah Minah adalah: sabar.

"Kalau beli di sini harus sabar antri Gus, harus bisa menahan lapar," kata Mbah Minah sembari terkekeh kocak.

Puncak arus pembeli Mbah Minah adalah jam makan siang. Biasanya pembeli harus menunggu satu jam. Lapar biasanya keburu minggat kalau sudah begini.

Menginjak remaja, Mbah Minah mulai ikut membantu sang ayah mencari uang. Ia menjual buah-buahan untuk para buruh di sebuah pabrik Sabun di daerah Sawahan. Entah bagaimana ceritanya, para buruh pabrik itu merayu Minah muda untuk berjualan rujak.

Ia pun terbujuk rayu. Akhirnya ia mulai mencoba berjualan rujak. Ia membuat resepnya sendiri. Trial and error. Hingga akhirnya mendapatkan signature taste, seperti sekarang ini. Nyaris tak berubah sejak lebih dari setengah abad lalu.

"Mbah bersyukur Gus, meski Mbah Minah gak bisa baca tulis, tapi pengeran (tuhan) ngasih saya bakat bikin rujak, anak saya juga bisa sukses. Alhamdulillah," kata beliau sembari menyilakan saya meminum es blewah yang sudah disajikan sedari tadi.

Berkat ketrampilan tangan Mbah Minah, anak-anaknya memang sudah sukses. Anak pertamanya sekarang bekerja di PT KAI. Anak kedua, Bu Ratmini, setia menjadi rujak apprentice membantu sang ibu. Anak ktiga menjadi pegawai di PTPN Banjarsari, Jember. Sedangkan sang bungsu menjadi guru di sebuah SMA swasta terkenal di Jember.



Apa yang melatari sebuah usaha makanan bisa bertahan puluhan tahun? Konsistensi rasa, itu jelas. Namun itu saja sebenarnya tak cukup. Setidaknya bagi Mbah Minah. 

"Saya bisa bertahan jualan lama karena saya suka uang!" kata Mbah Minah tergelak.

Mbah Minah sangat menyayangi cucu-cucunya. Ia memberikan kasih sayang, selain dalam bentuk perhatian, juga dalam bentuk paling purba: memberi uang jajan.

"Kan kasihan kalau mereka mau jajan, tapi saya gak bisa ngasih uang jajan," timpal Mbah Minah lagi.

Saat ini cucu tertua Mbah Minah adalah Fitria, yang sudah punya satu anak berusia 8 tahun. Fitria kadang membantu Mbah Minah. Mengiris buah atau membuatkan minuman.

Selain itu, dedikasi yang luar biasa adalah salah satu kunci rujak Mbah Minah bisa bertahan. Bagimana tidak, setiap pagi, Mbah Minah rutin ke pasar. Ia juga dengan senang hati berinteraksi dengan banyak orang. "Untuk melawan kepikunan," tuturnya.

Sedangkan untuk rasa, Mbah Minah punya standar mutu yang tinggi. Karena itu ia mengontrol semua produksi rujaknya.

"Rahasia rujak enak itu ada di petis," kata Mbah Minah.

Ia lalu beranjak sebentar dari dapur, lalu mengambil satu toples besar berisi pasta kental berwarna hitam. Itulah petis.

Bagi yang belum tahu, petis adalah pasta kental yang terbuat dari udang. Ini adalah komponen utama dalam banyak makanan di Jawa Timur. Mulai dari rujak, tahu campur, hingga kupang.

Untuk rujaknya, Mbah Minah menggabungkan dua jenis petis: petis hitam dan petis madura. Sesuai namanya, petis hitam berwarna hitam pekat, dan petis Madura berwarna cokelat tua dengan rasa lebih asin. Memadukan petis ini juga tricky. Mbah Minah tak pernah memakai petis dengan kualitas terbaik. Ia mencampurkan antara petis kualitas terbaik dengan kualitas semenjana. Bukan untuk mendapatkan untung besar, tapi agar rasanya pas.

"Kalau pakai petis yang bagus semua, rasanya malah gak enak," kata Mbah Minah.

Harga petis kualitas terbaik ukuran toples besar, atau setara dengan timba kecil, berkisar antara 300 ribu rupiah. Mbah Minah biasanya membeli petis di Pasar Tanjung, pasar terbesar di Jember. 

Selain petis, kunci lain dari rujak enak Mbah Minah adalah cuka. Andalan Mbah Minah adalah merk Kura-kura. Ia menuturkan kalau tidak memakai merk itu, maka rasa juga akan berubah drastis.

"Perbandingannya, satu botol cuka dibagi sama rata dalam  3 botol berukuran sama. Lalu ditambahi air sampai botol penuh," ujar Mbah Minah membuka rahasia.

Pada dasarnya, rujak Mbah Minah adalah rujak khas Madura yang menyertakan buah-buahan seperti kedondong atau mangga. Pernah satu kali saya beli rujak di Madura, yang bahkan menyertakan buah jambu monyet dalam rujak.

Selain itu, cingur merupakan elemen vital dalam rujak khas Jawa Timur, sama seperti rujak Mbah Minah. Sayangnya, cingur merupakan makanan yang termasuk acquired taste. Alias makanan yang tak serta merta cocok bagi lidah semua orang. 

Banyak orang keburu jijik membayangkan mulut sapi dijadikan bahan makanan. Padahal jika diolah dengan benar, congor sapi ini bisa lembut luar biasa. Walau masih menyisakan tekstur kenyal yang memberikan sensasi menyenangkan di mulut.

Rujak Mbah Minah unggul di cingur. Lembut dan tak ada bau amis. Apalagi bulu-bulu halus yang biasanya menempel, hilang sama sekali. Nihil.

Mbah Minah punya penjual cingur langganan. Ia selalu memesan setiap hari. Jadi cingurnya selalu segar. Harga sekilo cingur mentahan (belum dibersihkan) adalah 25 ribu rupiah. Kalau yang sudah matang, alias sudah bersih dan sudah dikukus, harganya 30-35 ribu rupiah.

Mbah Minah biasanya membeli yang masih mentah. Cingur itu lalu dibersihkan dengan cara disikat. Nah, disini proses yang membutuhkan ketelatenan dan kesabaran. Mbah Minah juga teliti dalam membersihkan, sehingga tak ada sisa bulu-bulu halus yang menempel. Setelah itu cingur baru direbus hingga empuk.

"Cinur sapi jantan dan cingur sapi betina itu beda lho, Gus," kata Mbah Minah, "kalau sapi jantan proses masaknya jauh lebih mudah. Cukup kukus selama 2-3 jam saja. Kalau cingur betina, 7 jam ngukus belum tentu empuk."

Saya tertawa mendengar cerita itu. Saya lalu berpikir mbeling Dimana-mana perempuan/ betina itu sama saja. Sama-sama keras, cerewet, dan susah dibikin senang. Karena itu mengukusnya pun lebih lama.

"Mungkin ini ada kaitannya sama perempuan yang lebih cerewet ketimbang laki-laki ya?" tanya Ratmini tiba-tiba.

Saya ngakak.



Melihat proses Mbah Minah membuat rujak adalah sebuah kesenangan tersendiri. Ia melakukan semuanya secara perlahan dan penuh perhitungan. Tak ada kecekatan yang berlebihan. Sabar lebih dipentingkan di sini.

Sebagai proses awal, Mbah Minah mengambil setangkup kacang tanah yang sudah disangrai dari dalam toples seng. Kemudian dengan tenang ia  mengiris pisang kluthuk. Secara perlahan, perempuan anggun ini mengoleskan petis hitam atau madura pada ulekan. Arkian, ia menaburkan sejumput garam. Lantas meneteskan cuka. Setelahnya, sedikit air diguyurkan.

Ratmini lantas menguleknya dengan penuh tenaga. Lengannya besar. Lengan yang sudah terlatih tahunan mengulek rujak. Kontras dengan lengan Mbah Minah yang sudah mengecil dan hanya tersisa gelambir kulit membungkus tulang.

Bahan isinya macam Nusantara: berbeda namun tetap satu jua. Mulai dari lontong, kecambah, kedondong, tempe, tahu, ketimun, cingur, mangga, dan sayuran hijau. Itu semua diikat oleh bumbu rujak yang nutty dan gurih.

Ada dua pilihan rujak. Rujak hitam, yang berwarna gelap; atau rujak Madura, yang berwarna lebih terang dengan rasa asin yang lebih menonjol. Saya pribadi lebih suka rujak Madura yang menonjolkan rasa asin.

Rasa rujak Mbah Minah = out of this world. Mungkin salah satu rujak terbaik dan terenak yang pernah saya makan. Mengetahui proses dibalik tersajinya satu porsi rujak ini, membuat rasa eco berlipat ganda. 

Lontongnya empuk dan pulen. Kedondong dan mangga memberikan rasa asam yang merangsang kelenjar sativa memproduksi liur dan merangsang nafsu makan. Dan cingurnya, subhanallah ya rasulullah... Empuk sekali, sonder bulu halus. Menunggu lama pun terbayar sudah.

Kalau boleh menganalogikan rujak dengan orkestra, rujak Mbah Minah adalah orkestra terbaik dengan musisi terbaik, yang akan menjamin kepuasan lahir batin bagi sang penikmat.

Dan bagi saya, Mbah Minah, adalah maestro dirijen terbaik yang pernah ada. []

Post scriptum:

* Saya pertama kali menuliskan artikel ini pada tahun 2009. Saat itu usia Ratmini masih 51. Sekarang berarti usianya sudah 56 tahun.