Minggu, 29 April 2012

Mbah Co dan Brewok


Mbah Co menggendong saya

Almarhum kakek dari pihak ayah saya adalah mantan penyanyi jazz. Namanya Yamin Soewarso. Saya memanggilnya Mbah Co. Di usia yang sudah merambat senja, ia masih sering berdendang. Penyanyi favoritnya adalah Nat King Cole. Sering pula memutar Frank Sinatra. Tak jarang, ia mendengar Rien Djamain.

Salah satu kenangan yang paling saya ingat dari beliau adalah jambang dan brewoknya. Dulu, sempat ia memanjangkan brewok hingga lebat sekali. Salah seorang anaknya, yang saat itu kebetulan sedang bertengkar dengannya, menjuluki sang ayah sebagai Imam Khomeini. Itu bukan pujian. Tapi cercaan. Karena sang anak tak setuju pola pikir Khomeini yang radikal.

Ketika saya masih berusia 6 atau 7 tahun, saya seringkali mencabuti uban di rambut maupun di brewok Mbah Co. Itu tidak gratis. Mbah Co membayar 50 rupiah untuk tiap 5 uban yang saya kumpulkan. Biasanya saya melakukannya ketika beliau datang bertandang ke rumah. Mbah Co tinggal di Lumajang, dan rumah saya di Jember. Seringkali saya bekerja mencabut uban ketika sore datang, saat baru bangun tidur siang. Galib, Mbah Co berdendang lagu-lagu tua sembari membaca buku, ketika saya sedang berusaha keras mencabuti uban di gerombolan rambut yang licin.

Sore ini, saya melihat cermin. Menyadari kalau saya tidak punya brewok.

Padahal sedari SMP saya ingin punya brewok seperti Mbah Co atau ayah. Tapi entah kenapa, hingga melampaui masa akil baliq, brewok tak jua tumbuh. Ayah malah pernah membelikan Firdaus Oil, minyak untuk menumbuhkan brewok, untuk saya. Saya mengolesnya di daerah dagu dan sekitarnya setiap hari. Tapi hingga nyaris 1 bulan, brewok enggan tumbuh. Muka saya masih mulus. Saya menyerah dan tak menyentuh minyak itu lagi.

Ah, saya pengen punya brewok.

Yesterday: Mengenang Perdebatan Ideologis

Dulu saya dan ayah pernah terlibat perdebatan ideologis panjang.

Bukan masalah agama. Bukan pula masalah pendidikan. Tapi siapa yang lebih keren antara The Beatles atau Guns N Roses. Hey, jangan salah. Musik itu terkadang jauh lebih ideologis ketimbang haluan politik atau pilihan agama.

Jadi di suatu siang yang panas, saya --yang waktu itu masih duduk di kelas 1 SMP-- dan ayah sedang duduk di depan televisi. VCD player memutarkan VCD bajakan berisi video klip Guns N Roses.

Saat terkesima oleh kekerenan video "November Rain", saya nyeletuk, "Guns N Roses ini emang band paling keren sedunia". Ayah saya yang sedang membaca koran, tiba-tiba menoleh, lalu dengan sedikit sewot berujar, "Yo gak lah. Jauh lebih keren The Beatles". Saya tak terima. Lalu terjadilah perdebatan panjang itu. Pada akhirnya ayah saya melontarkan upper cut telak berupa kalimat "Coba kamu tanya ke tukang becak, pasti mereka tahu The Beatles, tapi gak mungkin tahu Guns N Roses".

Saya terdiam dan tidak bisa membantah. Walau belakangan saya berpikir, pasti tukang becak juga tidak peduli mengenai siapa yang jauh lebih hebat antara The Beatles atau Guns N Roses.

Tapi ayah saya juga suka Guns N Roses. Bahkan ketika saya baru belajar bermain gitar, ia rela jadi backing vocal ketika saya bernyanyi lagu "Patience" dengan tertatih karena harus melihat chord gitar di selembar kertas. Lagu favoritnya adalah "Sweet Child O Mine", lagu rock yang tetap menampilkan sisi manis seorang rocker. Menurut ayah, rocker yang baik itu harus punya sisi manis. Ia mencontohkan Deep Purple yang bisa membuat lagu "Soldier of Fortune", atau  The Beatles yang punya "Yesterday" dan sederet lagu rock manis lainnya.

Kemarin malam ada acara tribute to Guns N Roses di salah satu acara musik televisi. Mendadak saya teringat akan perdebatan ideologis ayah dan anak belasan tahun silam itu. Setelah sekian lama, saya dengan berbesar hati mengakui kalau The Beatles memang pengaruhnya jauuuh lebih besar ketimbang Guns N Roses. Apalagi setelah saya lebih tekun mendengarkan The Beatles. Mereka memang pantas menyandang gelar band terbaik dunia. Tapi di hati kecil saya, saya tetap gak mau kalah. Saya kekeuh menganggap kalau Guns N Roses jauh lebih keren ketimbang The Beatles.

Maaf ya yah, hehehe. Buat menebusnya,  ini video lagu kesukaanmu, Yesterday dari The Beatles :)

Jumat, 27 April 2012

Kenapa Saya Menepikan Buku Panduan Wisata


Kapal merapat. Marcopolo datang dari misinya mencari dunia baru, tanah yang sama sekali asing. Masyarakat di sepanjang pelabuhan Venezia mengelukan sang petualang besar sepanjang masa itu. Raja dan Ratu dengan senyum terkembang menyambutnya di kerajaan.

"Selamat datang Marcopolo. Selamat untukmu karena sudah menemukan dunia baru. Bagaimanakah kisah perjalananmu? Bagaimana cara kau menemukan tanah baru itu?" tanya sang raja antusias.

"Tentu dengan buku panduan, sang raja. Judulnya 'Menemukan Tanah Surga Dengan 500 Keping Emas Dalam 20 Hari' " ujar Marcopolo sembari mengeluarkan buku tebal dari tasnya.

Sang raja tercengang. Marcopolo cengar-cengir macam orang terpergok mengintip perempuan mandi.

***

Tentu saja adegan diatas itu adalah adegan imajiner. Fiktif sepenuhnya. Karena Marcopolo tidak pernah berpetualang dengan menggunakan buku panduan. Pun, setelah petualangannya selesai, ia menuliskan buku, tapi bukan buku panduan wisata semacam "Keliling Asia Dengan 500 Keping Emas".

Seiring bertumbuhnya kelas menengah baru di Indonesia, traveling pun bukan menjadi hal yang asing lagi. Traveling is a new life style. Bagi beberapa orang, tingkat kekerenan seseorang bukan lagi diukur dari tempat nongkrong, tapi seberapa banyak destinasi wisata yang ia kunjungi.

Sebelum menjadi tren dan menjelma jadi hal yang mudah dilakukan, tidak semua orang mau melakukan perjalanan. Banyak musabab kenapa orang enggan meninggalkan rumah dan melakukan perjalanan.

Saya akan mengambil contoh 3 orang pejalan jauh favorit saya: Jack Kerouac, Ernesto Guevara, dan Gola Gong.

Pada kurun beat generation yang melahirkan pejalan tangguh macam Jack Kerouac, melakukan perjalanan berarti harus naik turun truk, tidur di motel murahan, rawan dirampok, belum lagi ancaman para redneck yang ultra rasis.

Sedang Ernesto Guevara melakukan perjalanan melintasi Amerika Selatan bersama sang karib Alberto Granado dengan menaiki motor tua --yang sebenarnya lebih layak dimuseumkan-- bernama La Poderosa. Perjalanan mereka bukanlah perjalanan yang mudah. Motor mogok di jalan, kelaparan, dihantam badai, kedinginan, nyaris dikeroyok orang, dan segala macam ketidaknyamanan lain, harus mereka hadapi. 

Gola Gong harus berpanas-panas menaiki sepeda untuk menyusuri Malaysia. Lalu terbanting-banting naik kendaraan umum menuju Thailand, hidup bersama para biksu muda, tidur di sembarang tempat beralaskan kantong tidur beratapkan langit telanjang, menggadaikan barang berharganya untuk ongkos perjalanan, dan segala macam pengorbanan lain.

Tapi hasil dari perjalanan para petualang itu sungguh-sungguh menggetarkan. Jack Kerouac menuliskan "On the Road" yang menjadi kitab wajib bagi para pejalan jauh. Ernesto Guevara menuliskan "The Motorcycle Diaries" yang begitu humanis dan menjadi karya legendaris. Sedang Gola Gong menorehkan catatan perjalanannya  untuk beberapa majalah remaja yang kelak akan menjadi bahan untuk "Balada si Roy", novel yang menginspirasi banyak remaja untuk traveling.

Mereka tidak menuliskan tentang "how to get there", "how much is the cost to get there", "where to stay" dan segala macam panduan praktis. Karena saya yakin, mereka sadar bahwa itu tidak penting. Petualangan itu harus kau alami sendiri, tanpa panduan.

***

Di Indonesia, sejak beberapa tahun belakangan marak muncul buku panduan wisata praktis. Buku panduan praktis ini tidak mengacu pada buku panduan macam “Lonely Planet” atau “Rough Guide” dan sebangsanya yang sangat berguna untuk para pejalan dengan waktu terbatas. Termasuk menghemat waktu dalam menentukan dimana tempat menginap dan objek apa yang akan dikunjungi. Selain itu, “Rough Guide” juga menampilkan sisi historis dan budaya dari suatu tempat.

Buku panduan praktis disini dalam artian, pembaca disuguhi rincian biaya untuk akomodasi, dimana harus tinggal, bagaimana cara pergi ke suatu destinasi, dan lain sebagainya. Plus embel-embel biaya murah. Tanpa dinyana, buku panduan praktis itu laris manis tanjung kimpul. Macam orkes dangdut di musim nikah.

Siapa pembelinya? Tentu saja orang-orang yang tergoda untuk melakukan perjalanan tapi selalu terkungkung imej bahwa traveling itu pasti mengeluarkan banyak uang. Televisi juga memainkan peran itu. Banyak program-program feature di televisi yang menampilkan keindahan destinasi wisata. Program televisi itu lantas menggoda para pemirsa untuk melakukan perjalanan.

Nah, jika anda seorang yang belum pernah melakukan perjalanan, lalu ingin melakukan perjalanan, apa yang akan anda lakukan pertama kali? Tentu saja mencari tahu segala hal tentang perjalanan dan destinasi yang ingin anda tuju. Buku panduan praktis menyediakan itu.

Apalagi buku semacam itu diberi iming-iming yang menggoda, yakni harga murah untuk berpergian. Contohnya macam "1 Juta Keliling Negara ini dan itu ", atau "2,5 Juta Keliling Negara Ini Dalam 10 Hari". Siapa yang tidak tergiur?

Akhirnya orang-orang yang ingin melakukan perjalanan tergoda dengan buku panduan praktis itu. Mereka tak tahu kalau info-info dalam buku itu bahkan bisa dicari di mesin pencari bernama Google. Mereka tak salah, sama sekali tak salah. Buku itu pun tak salah, malah sangat membantu. Setidaknya bagi mereka.

Buang Buku Panduanmu dan Menulislah Hal Yang Baru!

Tapi yang mengusik pikiran saya adalah, kenapa banyak traveler cum book writer sekarang hanya berhenti pada (nyaris) penulisan buku panduan praktis? Kenapa tidak berusaha menceritakan sesuatu yang baru? Pengalaman yang ditemui sepanjang perjalanan. Untung buku perjalanan di Indonesia tidak melulu mengenai panduan praktis, tapi ada pula buku travelouge ciamik macam Selimut Debu dan Garis Batas yang ditulis oleh Agustinus Wibowo, Tales from The Road yang ditulis oleh Matatita, dan yang paling anyar adalah Meraba Indonesia yang ditulis oleh Achmad Yunus. 

Agustinus menuliskan dua buku itu ketika menyusuri Afghanistan dan negara-negara pecahan Uni Sovyet berakhiran –tan lain. Matatita menuliskan bukunya berdasar pengalaman traveling yang dikombinasikan dengan pengetahuan antropologinya. Sedang buku Yunus dihasilkan dari perjalanannya keliling Indonesia bersama Farid Gaban dengan menggunakan sepeda motor.

Saya sendiri –selama traveling—enggan memakai jasa buku panduan praktis macam yang saya sebut diatas. Ada beberapa alasan kenapa saya melakukannya,  juga kenapa saya berharap bahwa para travel writer lebih tertarik untuk menuliskan pengalaman mereka, bukan sekedar buku panduan praktis.

Yang pertama adalah buku panduan praktis itu otomatis lekang oleh waktu. Harga transport, hotel, makanan, pada tahun 2007 jelas akan jauh berbeda dengan harga pada tahun 2012. Bahkan dalam rentang bulan, harga bisa berubah drastis. Bagaimana jadinya ketika orang mau pergi ke Thailand pada tahun 2012 tapi berpatokan pada buku tahun 2005. Bisa-bisa itenary-nya remuk redam. 

Tapi buku travelogue yang bercerita mengenai pengalaman, tak akan lekang dihembus masa. "On the Road" dirilis tahun 1959 oleh Viking Press, dan sampai sekarang buku itu masih dijadikan buku bacaan wajib bagi para petualang. Saya bahkan pernah bertemu dengan seorang hippie asal Slovenia yang menyangking buku itu dalam bahasa ibunya, dialihbahasakan menjadi “Na Cesti”. “Motorcycle Diaries” mulai ditulis tahun 1951, dan setiap membacanya, saya tak pernah gagal tergetar dan selalu membuat saya berkhayal menjadi Ernesto yang menyusuri Amerika Selatan. Cerita-cerita Gola Gong dimuat medio 90-an dan berujung pada kisah “Balada si Roy”. Berulang kali saya membaca catatan perjalanannya, saya selalu merasa ingin cepat mengemasi ransel dan berpetulang menelusuri Malaysia, Thailand, hingga India.

Alasan kedua adalah buku panduan praktis (sekali lagi, guide book macam Lonely Planet atau Rough Guide tidak termasuk) biasanya "menyesatkan". Menyesatkan disini dalam artian, harga yang dicetak besar pada kover itu hanya biaya akomodasi. Tidak termasuk tiket pesawat. Lagipula, sebagian besar penulis buku itu memanfaatkan jaringan pertemanan traveler macam Couch Surfing atau Travelers for Travelers untuk memberikan tumpangan menginap yang otomatis meniadakan biaya hostel. Selain itu, patut diingat, info-info macam tempat menginap atau harga, bisa anda dapatkan dengan mudah di milis para pejalan atau dari mesin pencari.

Yang ketiga adalah, saya menganggap intisari perjalanan adalah get lost. Ketika kita mengalami rasa berdesir karena "hilang" di dunia yang sama sekali asing bagi kita, itulah yang tidak bisa dibeli dengan uang. Saat kita tidak tahu mau kemana, kala itulah kita dituntut untuk berinteraksi dengan orang lokal. Mengobrol hangat di warung kopi sembari bertanya ini itu. Atau berjalan mengikuti intuisi. Seringkali, buku panduan itu menumpulkan intuisi dan juga naluri kita. Kita dimanjakan dengan perasaan tenang karena sudah tahu mau menginap dimana, mau kemana, dan makan apa. Ketika sudah merasa aman dan nyaman, kita akan melupakan interaksi dengan orang lokal. Lalu kita akan lebih sibuk mencari jaringan wifi untuk mengunggah foto-foto liburan, mencari colokan listrik untuk charger smart phone anda, atau malah sibuk mengabari teman-teman anda via Blackberry Messenger. Nah!

***
Beberapa hari lalu, terjadi polemik yang disebabkan oleh salah satu tulisan lama di blog Hifatlobrain milik seorang kawan. Intinya mengenai perdebatan penting tidaknya buku panduan praktis seperti yang saya gambarkan diatas. Yang sedikit menganggu saya, adalah komentar dari seorang berakun “Whatever I’m Backpacker”. Ia dengan ceroboh –kalau tak mau dibilang, uhuk, tolol—menuliskan ‘penulisnya pasti belum pernah ke luar negeri’. Saya heran dengan komentar ini. Pertama, apakah ada korelasi antara pernah pergi ke luar negeri dengan kritik mengenai buku panduan? Kedua: Marcopolo, Vasco da Gama, Colombus, Ibn Battuta, Jack Kerouac, Ernesto Guevara, atau Gola Gong, tidak pernah memakai buku panduan praktis dalam melakukan perjalanan. Apakah mereka tidak pernah ke luar negeri? Your argument is invalid dude. 

Kalau komen itu ditujukan dengan maksud “ah, pasti mas ini tidak pernah traveling dengan bujet terbatas makanya tidak butuh buku panduan praktis”, maka saya bisa menyanggahnya sampai anda termehek-mehek.

Sebenarnya kalau mau, tanpa buku panduan praktis pun, traveling bisa dilakukan dengan murah, asal mau sedikit keluar dari zona nyaman. Pada tahun 2009, saya dan Ayos Purwoaji (pemilik blog Hifatlobrain sekaligus penulis artikel berjudul “Dangkal” yang dijadikan sumber polemik) menempuh perjalanan selama 3 minggu, menyusuri daratan Jawa hingga Flores dan Pulau Komodo, bahkan sempat melipir ke Pulau Moyo (Ini sekaligus untuk menyanggah  pernyataan dari para komentator yang menuding bahwa pemilik blog Hifatlobrain pasti tidak pernah traveling).

Tahu berapa total biaya yang kami keluarkan? Hanya Rp. 900.000 per orang. Tapi kami tidak naik moda kendaraan umum. Kami naik motor hingga Sumbawa, nunut truk sampai Flores, naik kapal penduduk Desa Komodo, beli makan sebungkus berdua, tidur di masjid, dan bahkan menumpang nginap dan makan di rumah penduduk lokal. Sebenarnya bisa saja kami menuliskan buku "900 ribu Menyusuri Jawa hingga Flores Selama 3 Minggu", tapi kami enggan melakukannya. Kenapa? Karena kami berdua dari awal berkomitmen akan menuliskan sesuatu yang baru, bukan sekedar panduan praktis. Tapi experience of traveling. Dan biasanya, lebih banyak orang yang tertarik untuk pergi traveling ketika membaca kisah traveling yang menggugah, bukan ongkos yang harus dikeluarkan ketika traveling.

Setidaknya itu yang terjadi pada saya, yang tergerak untuk melakukan perjalanan setelah membaca “Balada si Roy”, bukan karena buku “Traveling Keliling Indonesia Dengan 1 Juta” atau apapun itu judulnya.

Tabik!

Kamis, 26 April 2012

Noel from Nowhere

Immanuel Sembiring bukanlah seorang world nomad. Dia tidak hidup berpindah-pindah negara untuk traveling. He's traveler from nowhere. Mas Noel - begitu saya memanggilnya-- adalah seorang pekerja perusahaan swasta. Orang yang bisa kamu temui terjepit di KRL bersama ribuan orang Jakarta lain.

Tapi saya terhenyak ketika mengetahui pria berkacamata ini pernah ke rumah Ernesto Guevara. Dia pasti bukan traveler biasa, batin saya. Segera setelah saya berteman dengannya di Facebook, saya stalking profil dan foto-fotonya (yeah, I'm good at stalking). Dugaan saya benar. Saya sampai terduduk lemas melihat foto-fotonya di banyak tempat eksotis seperti Macchu Picchu atau Pulau Paskah. Dan yang bikin saya makin gregetan, bapak satu anak ini pernah menonton live concert Motley Crue di Argentina.

Terima kasih pada mas Ciptadi Sukono yang mengenalkan saya pada mas Noel.

Beberapa hari lalu saya mengirim pesan via facebook. Intinya saya meminta kesediannya untuk diwawancara. Dia dengan senang hati mau menjawab pertanyaan saya. Jadi inilah dia, mas Noel bercerita mengenai Macchu Picchu, makanan favoritnya, perjalanan pertamanya, juga mengenai musik dan buku favoritnya.

                                                                                   ***

Sejak kapan menggemari traveling?

Aku mulai suka travelling sejak sekitar tahun 1994, waktu aku nekat plus iseng dari Jakarta ke Singapur hanya dengan beberapa puluh ribu Rupiah. Naik kapal Rinjani dari Tanjung Priok sampai Tanjung Pinang (Bintan) dengan harga tiket Rp 37.500, tidur di dek yang kalau panas kepanasan dan hujan kehujanan dan kalau makan antri panjang banget dengan piring kaleng di tangan hanya untuk diisi nasi sejumput, sambel sejumput dan brutu ayam atau ekor ikan (mungkin paha dan dada ayamnya sudah diberikan untuk jatah penumpang kelas 1 ya, hehehe…)

Dari Tanjung Pinang nyebrang ke Batam naik perahu kecil Rp 9000, dan dari Batam lanjut ke Singapura naik ferry dengan biaya sekitar Rp 25.000,-. Ngirit, dan yang penting sampai :)

Sejak itu kalau ada kesempatan ya aku usahakan untuk bisa jalan. Termasuk kalau sedang ada dinas ke luar kota, kalau memungkinkan ya aku perpanjang tinggalnya di tempat itu untuk bisa eksplor lebih lanjut daerah itu.

Sebagai pekerja perusahaan swasta, yang dikenal dengan ritme kerja yang padat, gimana cara mensiasati itu untuk traveling?

Manfaatkan betul jatah cuti yang hanya sejumput itu. Kombinasikan dengan long weekends, kombinasikan dengan kesempatan dinas ke luar kota.

Menguntungkan sekali mengkombinasikan jatah cuti dengan dinas luar kota. Dengan dinas luar kota, paling tidak tiket pesawat dan sebagian biaya penginapan sudah ditanggung perusahaan, kita tinggal tanggung biaya perpanjangan tinggal kita di area yang bersangkutan.

Oya, satu lagi: pelajari betul PKB (Perjanjian Kerja Bersama) atau KKB (Kesepakatan Kerja Bersama) di perusahaan masing-masing. Seringkali ada peluang-peluang tambahan hari libur yang “tersembunyi” di sana. Misalnya, kalau anak baptisan atau sunatan perusahaan ternyata member extra libur 2 hari. Atau kalau mertua meninggal ada ekstra libur 2 hari juga. Dan semacamnya. Lumayan kan kalau yang dua hari dua hari itu digabung gabungkan dengan berbagai kesempatan yang lain.

Gimana ceritanya bisa traveling ke Amerika Selatan?

Itu berkat Tuhan. Aku diberi kesempatan dari perusahaan untuk berdinas di sana selama hampir 1 tahun. Tadinya ada kemungkinan 3 negara untuk tempat dinas aku di Amerika Selatan, yaitu Argentina, Brazil dan Mexico. Akhirnya diputuskan untuk menempatkan aku di Argentina.

Nah sudah sampai di Argentina, tentunya  setiap kesempatan tidak ada yang aku lewatkan untuk jalan dan melihat tempat-tempat yang baru baik di Argentina maupun di negara-negara sekitarnya. Apalagi aku diuntungkan oleh kondisi di Argentina yang dalam setahun banyak sekali tanggal-tanggal merahnya, banyak long long long weekendnya (as in Kamis-Jumat libur, atau Senin-Selasa libur). Peraturan perusahaanku di sana yang membuat Jumat adalah setengah hari kerja juga sangat menguntungkanku, karena dengan begitu, hari Jumat jam 2 siang aku sudah akan ada di either stasiun kereta, terminal bis, atau airport.

  
Dari semua destinasi yang pernah mas Noel kunjungi, mana yang paling berkesan? Kenapa berkesan?

Hmmm…yang paling berkesan? Sulit juga ya…  Masing-masing tempat punya charm-nya sendiri-sendiri. Dan perasaan “berkesan” atau hati berdesir itu tidak harus timbul dari mengunjungi tempat-tempat yang “wah” atau “wow” dengan pemandangan alam yang dahsyat-dahsyat lho.

Pertama kali berdiri di tepi sungai Mekong di Thailand’s Nong Khai dan menatap ke seberang, ke daratan Laos, itu membuat hati berdesir.

Berada di Ushuaia, kota paling selatan di muka bumi, itu juga membuat hati berdesir, simply karena, well, itu kota paling selatan di muka bumi. Atau seperti mereka bilang sendiri: Ushuaia – Fin del Mundo (Ushuaia – Ujung Dunia).





Turun dari bis di pagi buta di kota kecil Viedma dan berjalan kaki menyusuri jalanan kota yang masih sepi, sampai ke tepi sungai Rio Negro yang memisahkan kota kecil Viedma dengan kota Carmen de Patagones yang bahkan lebih kecil lagi tapi penuh rumah-rumah peninggalan zaman kolonial. Dua kota ini sama sekali bukan daerah tujuan turis.

Berdiri di tepi sungai Rio Negro di pagi hari yang sepi itu, memandang sekitar dan ke seberang, hati berdesir juga dan ngomong, “Koq aku bisa di sini? Di tepi sungai Rio Negro di pedalaman Argentina, di gerbang masuk menuju wilayah Patagonia… Dan ini bukan daerah tujuan wisata..” Tapi itu justru sangat berkesan buatku.

Berada pertama kali di pegunungan Andes, di ketinggian 4000 meter di atas permukaan laut, tentunya juga membuat hati berdesir karena ini adalah wilayah legendaris yang dulu hanya aku baca dari buku-buku pelajaran sekolah.

Dan tentunya tempat-tempat yang “very obvious”, yang jelas pasti akan berkesan, seperti Paris, the Berlin wall, ancient Japan, capital of Nara, ancient Thai capital of Sukhothai, Rio de Janeiro, Machu Picchu…

Yang PALING berkesan? Hmmm…..sulit. Tapi mungkin yang mendekati, adalah waktu aku mengunjungi Easter Island. Atau kalau orang kita mungkin lebih mengenal dengan nama Pulau Paskah. Pernah dengar? Ini sebuah pulau kecil di tengah samudera Pasifik. Pulau yang adalah the most isolated populated place on Earth, dengan daratan berpenghuni “terdekat” berada sekitar 4000 kilometer jauhnya. Ke Timur sekitar 3700 km dari pantai barat Chile dan ke Barat sekitar 4000 km dari Tahiti.

Mungkin Mas Nuran akan ingat Pulau Paskah ini kalau melihat foto – foto patung patung raksasa yang bertebaran di sepanjang pantai pulau ini, dan yang seakan bertumbuhan dari dalam tanah di atas pegunungannya. Pemandangan yang tentunya sempat menggetarkan hari Captain James Cook dan penjelajah-penjelajah Eropa lainnya di sekitar abad ke-17 waktu pertama kali “menemukan” pulau ini.




Kenapa berkesan? Pertama, simply because this is the most isolated place on Earth. In the middle of nowhere. Juauuuuhh dari mana mana. That is a bragging right, hehehe… Kedua, misteri yang menyelubungi pulau ini.

Bagaimana penduduk pulau ini bisa membawa patung-patung raksasa dengan berat berton-ton ini dari workshopnya di atas gunung ke tepi pantai tempat patung-patung ini didirikan? Mereka ini belum mengenal roda, belum mengenal logam, tidak punya binatang beban…

Dan menarik lagi adalah aku lihat masonry (teknik bangunan batu) di sana yang mirip sekali plek ketiplek dengan masonry Inca di Cuzco dan Machu Picchu. Dan ini di pulau yang jauhnya beribu ribu kilometer dari kerajaan Inca, sementara masyarakat Inca bukan masyarakat bahari. Lha koq bisa? Lha itu menariknya misterinya.

Suka denger musik apa untuk perjalanan?


iPod aku yang kapasitas 120 GB, jadi ya bermacam musik ada di situ ya. Sebagian besar memang alirannya rock, dari yang early rock ‘n’ roll seperti Elvis Presley dan Chuck Berry, sampai soft rocknya  Fleetwood Mac, party metalnya Bon Jovi dan Van Halen, sampai yang heavy seperti Black Sabbath dan Emperor.

Seringkali aku juga mainkan untuk menemani perjalanan musik blues era tahun 40-an sampai 60-an seperti Muddy Waters, Willie Dixon dan Jimmy Reed.

Yang mungkin Mas Nuran nggak nyangka adalah saya sering juga stel rekaman lawakan-lawakan di iPod saya untuk mengiringi overnight bus ride atau long flights. Rekaman-rekaman lawakan cerdas dari komedian seperti George Carlin, Bill Maher, George Lopez, Lewis Black, dan bahkan rekaman awal standup comedy-nya Warkop Prambors era tahun 70-an.

Sering juga musik yang aku dengarkan aku sesuaikan dengan lokasinya. Misalnya, ketika berjalan di San Telmo atau Avenida Corrientes di tengah kota Buenos Aires, di iPod aku stel tango, baik yang tradisional a la Carlos Gardel maupun yang modern elektronik a la Gotan Project.

Atau kalau sedang ada di pegunungan Andes yang aku stel ya Andean music, lagu-lagu rakyat highland. Lagi di Rio, stel bossanova.

Yang males nyetel musik yang sesuai dengan lokasinya adalah kalau lagi di Thailand. Nggak tau kenapa, tapi kupingku mak sengkring kalau dengar lagu-lagu Thailand atau Laos yang kayak lagu-lagu pop Indonesia cengeng 80an dengan suara yang cempreng-cempreng ;)

Bagaimana pendapat mas Noel tentang buku-buku jenis "1 Juta Keliling bla bla bla?" itu?

At the very least, buku buku itu mestinya bisa menginspirasi orang untuk angkat ransel dan berangkat! Persepsi yang ada selama ini kan bahwa travelling itu pasti mahal. Dan persepsi ini yang sering menjadi penghalang orang untuk travelling. Kalau bisa dibuka matanya bahwa travelling itu tidak harus mahal, tentunya itu hal yang baik. Asal jangan menipu atau misleading saja ya. Oya, perlu dimengerti juga bahwa “1 juta keliling blablabla” itu biasanya belum termasuk tiket pesawat ke negara yang dimaksud kan? :)


Kalau traveling suka pakai guide book macam Lonely Planet gitu gak?

Yes. Sejak 1998 saya pakai guide book. Mulai waktu saya travelling di Jepang. Sangat membantu. Dengan guidebook ini kita bisa membuat perencanaan yang matang, baik mengenai menentukan tujuan, how to get there, where to sleep, where to eat, what to see, how much things cost, dan sebagainya.

Dari guidebook ini kita bahkan bisa mendapatkan informasi/tips yang bahkan orang lokal sendiri tidak tahu. Yang sering saya pakai adalah Lonely Planet, dan kadang-kadang Rough Guide. Lonely Planet unggul dalam hal penginapan-penginapan murah dan informasi detail seperti how to get places. Sementara Rough Guide unggul dalam hal ulasan lebih mendetail mengenai hal-hal seperti latar belakang sejarah suatu tempat dan cerita cerita di balik suatu tempat/ciri khas tempat tertentu.

Apa buku traveling paling bagus yang pernah mas Noel baca?

Yang dimaksud ini buku tentang travelling atau travel guide? Kalau travel guide sudah aku sebut di atas. Tapi kalau yang dimaksud adalah buku tentang travelling, aku suka sekali IN PATAGONIA-nya Bruce Chatwin dan THE MOTORCYCLE DIARIES-nya Ernesto Guevara. Ya mungkin aku bias ya, karena aku pernah luntang-lantung Amerika Selatan dan bisa membayangkan sendiri tempat-tempat yang diceritakan di buku buku itu ?. Tapi memang buku buku itu menarik sekali lho. Monggo dibaca sendiri, Mas Nuran ?

Mas Noel juga suka wisata kuliner kan. Nah, dari semua makanan yang pernah dicoba, apa yang paling lezat? Dan apa yang paling aneh rasanya?

Wahahahaa….ini dia…!

Lidahku bisa terima bermacam makanan dari berbagai penjuru dunia, dan bisa menyukainya juga. Tapi tetap makanan kegemaran adalah masakan Indonesia. Sayur lodeh, babi rica, mangut ikan pari adalah beberapa favorit saya. Kenapa masakan Indonesia? Karena sangat kaya rasa. Luar biasa kaya rasanya masakan Indonesia itu. Luar biasa kayanya bumbu-bumbu yang digunakan untuk membuat suatu masakan Indonesia yang sederhana sekalipun.



Makanan yang paling aneh rasanya? Hmm…that would be steak tartar, makanan khas Perancis. Ini daging sapi mentah yang dicincang, dikecruti air jeruk, dan ditumpangi telur mentah. Rasanya? Anyep, dingin, kecut, slimey, klinyir-klinyir. Doyan? Nggak. :)

Sekeren apakah seorang Che Guevara menurut mas Noel, sehingga mas memutuskan untuk pergi berziarah ke rumahnya?



Sebenarnya aku bukan fans berat El Che. Aku tidak sependapat dengan cara-cara dia yang violent, dan sama sekali tidak sependapat dengan pandangan dia mengenai ekonomi dan peran manusia sebagai mahluk pekerja.

Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa aku kagum dengan dedikasi El Che untuk membela orang miskin, dengan keberanian dia menantang kekuatan hegemoni raksasa Amerika Serikat di Amerika Latin, bahkan sampai ke Afrika. Itu luar biasa.

Apalagi kalau diingat bahwa El Che ini berasal dari keluarga menengah ke atas, dan bahkan adalah mahasiswa kedokteran di Argentina, yang tentunya punya masa depan yang cerah dan tenang kalau saja dia memutuskan untuk berkarir di bidang kedokteran yang  menjanjikan penghasilan tinggi tanpa resiko ditembak tentara musuh, tanpa harus hidup di hutan hutan dan gunung gunung dengan fasilitas minimal selama bergerilya. Itu luar biasa.

Temenku kapan hari merinding pas liat foto mas Noel di Macchu Picchu. Apakah kota hilang itu benar-benar magis? Gimana rute perjalanan ke sana? Apakah sudah ada tour operator yang mengemas paket menuju Macchu?


 
Magis bagaimana maksudnya? Hehehe… Seram, gitu? Enggak koq.
Overwhelming, yes.
Awe-inspiring, yes.
Jaw-dropping, yes.
Mysterious? Yes. Lha kan sampai sekarang belum diketahui siapa yang mendirikan, untuk apa didirikan, siapa yang menghuni, kenapa sampai bisa ditinggalkan penghuninya dan jadi kota yang “hilang” selama berratus tahun, dan Bagaimana bangsa Inca ini – yang belum mengenal roda dan tidak punya binatang beban yang berarti – bisa membawa bongkahan-bongkahan batu yang masing masing bongkahnya beratnya bisa berton-ton ke atas gunung ini, dan membangunnya dengan system batu batu yang interlocking sehingga menjadi satu “kota” ini.

Scary? Enggak koq.
Route perjalanan ke sana, dari kota Cuzco (bekas ibukota kerajaan Inca) mesti ke desa Aguas Calientes dulu. Ada dua pilihan: Jalan kaki dan naik kereta.

Jalan kaki perlu waktu sekitar 4 hari, nginepnya di tenda. Ini perlu fisik yang bener-bener prima karena not a walk in the park (iyalah, naik gunung tinggi begitu).  Along the way you’ll meet small temples/altars. Route ini – the Inca trail – yang adalah the ultimate Machu Picchu experience, melewati actual trail yang dilewati bangsa Inca dulu untuk menuju Machu Picchu (bear in mind mereka dulu nggak mengenal kuda atau binatang tunggang lainnya, dan certainly nggak mengenal kereta kuda).

Pilihan kedua, yang jauh lebih gampang ? adalah naik kereta. Sekitar 4 jam dari Cuzco ke Aguas Calientes. Aguas Calientes ini adalah desa kecil di kaki gunung, sebagai base  untuk naik ke Machu Picchu. Dari Aguas Calientes ke Machu Picchu bisa dengan jalan kaki (lumayan menges tuh naiknya) atau naik bis sampai titik tertentu, dan kemudian dilanjut jalan kaki lagi.

Tour operator dari Indonesia? Ada kok. Contohnya yang aku baru lihat adalah yang dioperasikan oleh Bayu Buana. Tapi mahal buanget. Dan nggak asiknya adalah visit ke Machu Picchu lewat Bayu Buana ini hanya dibikin day trip dari Cuzco. Jadi dari Cuzco naik kereta pagi ke Aguas Calientes, terus naik, terus paling sempat foto-foto bentar di Machu Picchu-nya (dan kalau begini berarti pasti bersama hordes of tourists lainnya), dan langsung cabut lagi siangnya balik ke Cuzco. Sangat nggak asyik. Mending jalan sendiri aja. Perfectly doable koq, jalan sendiri ke sana tanpa tergantung tour agency. Lebih murah pula.

Aku lagi mau organize South American trip nih buat tahun depan. Udah ada sekitar 7 orang yang tertarik untuk ikut. Nuran mau ikut nggak? Hehehe…

Post-scriptum: Semua foto diambil dari Facebook mas Noel. Silahkan berkenalan dengan sang traveler pecinta keluarga itu disini.

Selasa, 24 April 2012

Para Begundal Pistol dan Mawar


Belakangan ini saya rajin kembali menyimak album-album Guns N Roses. Terutama album maha dahsyat, Appetite for Destruction. Juga membaca biografi mengenai band ini. Sayang buku biografi Guns tertinggal di rumah Jember. Saya juga membaca biografi Slash karya duet Slash dan Anthony Bozza. Sayang, versi pdf buku itu jelek sekali. Membuat susah bacanya. Mata cepat lelah karena huruf yang kecil dan format yang landscape 2 halaman. Kenapa saya rajin lagi menyimak Guns?

Musababnya adalah Guns N Roses baru saja dilantik masuk dalam Rock n Roll Hall of Fame. Bisa jadi, Guns adalah satu-satunya band dari skena hair metal yang masuk dalam senarai musisi legendaris itu. Masuknya band yang pernah mendapat julukan sebagai band paling berbahaya sedunia ini seperti membenarkan kalau saya tak salah memilih band untuk diimani.

Saat ini saya sedang berusaha menulis panjang tentang Guns N Roses. Tapi sedikit kesusahan. Entah kenapa. Setiap menulis beberapa paragraf, lalu membaca ulang, saya merasa ada yang janggal. Tak tahu apa. Akhirnya saya menulis ulang. Lagi dan lagi. Hingga saat ini draft-nya masih menumpuk dan belum saya utak atik hingga sekarang.

Guns N Roses adalah band pahlawan saya sepanjang masa, mengalahkan The Doors. Saya mendengar Guns semenjak kelas 1 SMP, sejak diberi VCD bajakan berisi kumpulan video klip Guns. Sedetik setelah video "Welcome to the Jungle" tampil di layar televisi, saat itulah saya sadar bahwa band ini yang akan saya imani sampai kapanpun.

Ketika belajar gitar untuk pertama kalinya, "Patience" adalah satu dari dua lagu pertama yang saya pelajari. Saya terkesima setelah melihat permainan solo gitar Slash, dan repetan Axl di penghujung lagu. Saya juga bengong melihat Steven teler dalam video klip itu. Kelak dia akan dipecat karena terlalu sering teler dan mengabaikan pekerjaannya.

Bagi saya, Guns adalah band terbaik dari era hair metal. Melampaui Motley Crue atau Skid Row. Bahkan Bon Jovi. Album Appetite adalah bentuk nyata. Belum lagi ditambah duo album super keren bertajuk Use Your Illusion I dan II.

Sekarang saya sedang mendengarkan "Back off Bitch" dari album Use Your Illusion I. Lagu ini memiliki intro yang menghentak. Dengan suara Axl yang menggeram marah tapi tetap enak didengar. Setelah dirilis, album ini menempati posisi 2 dalam chart Billboard. Siapa posisi 1-nya? Use Your Illusion II.

Doakan supaya tulisan panjang soal Guns bisa cepat selesai...

Jumat, 20 April 2012

Tentang Makanan

“Cooking is at once one of the simplest and most gratifying of the arts, but to cook well one must love and respect food.”

(Craig Claiborne)
                                                                                                                                                                                                                  
                                                                                ***

Menulis makanan seringkali juga menulis mengenai manusia. Tentang ketelatenan. Tentang kesabaran. Tentang kepasrahan. Tentang konsistensi. Tentang misalnya penjual serabi yang setia memakai anglo semenjak 1923. Atau semisal mengenai penjual gudeg yang dengan telaten membuka warungnya mulai jam 1 pagi semenjak 1973 hingga sekarang.

Karena itu, menulis tentang makanan tidak hanya sekedar mengenai rasa, tapi juga cerita tentang manusia. Itu yang sedang saya pelajari.







Beberapa waktu silam saya mendapat sebuah proyek penulisan mengenai Solo. Salah satu hal yang harus saya tuliskan adalah mengenai kuliner khas Solo. Ini pertama kalinya saya menuliskan kuliner secara profesional --dalam artian dibayar dan makan gratis. Dan menulis mengenai makanan ini mengajarkan satu hal: jadi pewarta kuliner haruslah memiliki perut yang tangguh dan lambung yang lentur untuk menerima makanan.

Karena diburu waktu, proses perasaan kuliner juga berjalan cepat. Dalam 1 hari, saya dan tim bisa mencicipi beberapa makanan sekaligus. Seperti ketika hari pertama saya sampai. Setelah makan selat solo di warung Mbak Lies, perut langsung dihantam oleh seporsi bakso. Setelah itu langsung berlanjut ke serabi Notosuman. Perut memberontak. Tapi saya tak jera. Ini sebuah pengalaman berharga.

Bukan mengenai makan gratis atau dibayar. Tapi mengenai cerita dibalik makanan. Itu tadi, mengenai manusia. Ada ketelatenan, kesabaran, juga kepasrahan, dalam tiap porsi yang terhidang. Dan saya selalu menikmatinya...

Minggu, 15 April 2012

Untuk Kawan Yang Mengalami Hari Paling Galau Sedunia

Ada satu hal yang aku dapatkan dari mengembara. Yakni belajar percaya kepada orang lain. Ketika kau sendirian di dunia yang sama sekali asing bagimu, percaya pada orang lain adalah pilihan yang masuk akal. Dan rasa percaya itu selalu menentramkan. Entah sampai kapan. Bisa jadi kita percaya pada orang yang salah, lalu berakhir dengan ditipu. Tapi tak jarang, kita percaya pada orang yang tepat. Yang lalu akan membuatmu tak pernah lelah berhenti mempercayai orang lain.

Kau mengalami masalah dengan rasa percaya. Itu wajar. Kau selalu mencelaku yang, menurutmu, terlalu gampang percaya pada orang lain. Dan aku selalu membalas, percaya dengan orang lain itu memang gampang.

Aku selalu menganggap dunia ini merupakan tempat yang gelap. Dan menaruh kepercayaan pada orang lain laksana suluh yang selalu menyadarkan sesuatu: kita tak sendirian.

Kau tentu tahu bahwa aku pernah menaruh rasa percaya kepada orang yang salah. Tapi entah kenapa, aku tak pernah enggan untuk mempercayai bahwa kelak aku akan menitipkan rasa percayaku pada orang yang tepat.

Kau selalu mengeluh bahwa nyaris tiap hari kau dirajam rindu kepada orang yang sama. Tapi kepalamu terlalu keras untuk percaya, ada orang yang benar-benar tulus mencintai. Mereka yang menerima kita apa adanya. Kita yang sebenarnya serupa binatang jalang yang selalu meradang dan menerjang.

Kita adalah petualang nomaden. Yang selalu merumbu entah kemana, berjalan seperti tiada tujuan. Dan selalu akan ada hujan yang membuat kita perlu untuk berhenti berjalan dan berteduh. Saat itu, selalu ada bakarat yang serupa panasea. Mereka seperti pohon mengkaras yang selalu tabah menerima caci maki hujan yang seringkali membuat kita rapuh.

Dan percaya kepadanya serupa percaya bahwa hujan hanya akan sebentar saja. Bahwa ini adalah hujan halau mentua. Dan saat itulah kita sudah mulai tentram dan enggan untuk berjalan tanpa tujuan lagi...

Senin, 09 April 2012

Nostalgia Pukul 8 Pagi




Kuliah pagi selalu membuat saya merindukan masa lalu. Lebih tepatnya masa SMA. 

***

Sekolah saya bisa dibilang ajaib. SMA negeri satu-satunya di kecamatan Arjasa ini terletak pas di depan terminal Arjasa. Saya masuk ke sekolah ini semata karena satu hal: malas berangkat pagi. Karena sedari TK sekolah saya selalu jauh dari rumah. Jarak yang jauh itu membuat saya harus berangkat lebih awal. Nah, kalau sekolah saya dekat, maka saya tak perlu bangun terlalu pagi. Oke, itu tampak seperti alasan tolol.

Namun, ekspektasi saya tepat. Karena sekolah saya dekat, saya tak perlu bangun terlalu pagi. Kalau mulai TK sampai SMP saya harus bangun jam 5 dan berangkat jam 6, maka sekarang saya bisa bangun jam 6.30 dan berangkat jam 7 kurang beberapa menit. Ketika baru masuk dan masih  jadi murid culun, saya selalu datang tepat waktu. Selalu datang jam 7 pas.

Tapi berjalan beberapa bulan, saya sudah mulai masuk agak siang. Jam 7 lebih sedikit atau malah jam 7.30. Sekolah saya punya gerbang besi yang dijaga oleh 2 orang satpam. Tapi saya kenal baik dengan duo satpam itu. Jadi saya dibolehkan lenggang kakung meski jam masuk sudah lewat.

Masuk telat itu makin menjadi ketika duduk di kelas 2. Tapi semua keterlambatan itu mencapai puncak ketika saya duduk di kelas 3. Saya berangkat dari rumah jam 7 pagi, tapi tidak langsung menuju sekolah. Biasanya saya ngepos di terminal dulu. Ada sebuah warung nasi sederhana yang terletak di dalam terminal. Saya biasa nongkrong disitu. Sarapan, atau sekedar ngeteh. Setelah itu kalau masih ngantuk, saya sering tidur di kursi panjang yang terbuat dari bambu. Nyaman sekali. 

Saya tak sendiri. Para bromocorah kelas 3 seakan punya kode tak tertulis kalau setiap jam 7 pagi adalah waktu untuk nongkrong di terminal. Mereka tersebar di berbagai titik. Tapi yang biasa nongkrong bareng saya adalah pentolan bromocorah IPS. Macam Zein, Fahmi, Ade, Nova, Rayis, Aji, Umbar, Nyen, Basid, Vicho, dan Gokong. 

Jam 1o, ketika bel istirahat berdentang, kami semua malah berhamburan masuk. Untuk menaruh tas dan pindah tempat nongkrong di kantin dalam sekolah. Jam 10.30 baru kami mulai belajar.

Tapi setelah saya lulus, SMA ajaib itu berbenah. Mereka jadi lebih bagus dan malah jadi Sekolah Standar Nasional. Sebab itu pula, peraturan makin ketat dan disiplin jadi harga mati. Dan seperti saya duga, peraturan ketat itu membuat murid jadi seperti robot yang hanya terobsesi mengejar nilai dan nyaris mengabaikan romantisme ala remaja SMA. 

Tak ada cerita-cerita kenakalan dan pemberontakan ala remaja SMA. Nihil pula kumpulan remaja badung berseragam putih biru yang bergerombol di terminal. Warung langganan saya dan kawan-kawan dulu sekarang makin sepi. Paling hanya satu dua pengunjung terminal saja yang makan disana. Mbah penjual rokok di sebelah warung itu pun omzetnya menurun.

Ah, zaman sudah berubah. Dan zaman selalu punya anaknya masing-masing. Mungkin sekarang memang zamannya remaja yang disiplin dan menganggap nilai lebih penting ketimbang cerita dan imajinasi.

Mungkin.

***

Langit Jogja cerah pagi ini. Awan yang bergumpalan menjadi ornamen lazuardi. Saya harus kuliah jam 8 pagi. Selepas membuka mata, saya bangun dengan rasa ogah-ogahan. Kelebatan masa SMA menjadi renjana pengobat kemalasan hari ini. Apa kabar kalian semua kawan-kawanku?

Minggu, 08 April 2012

Sehari di Solo

Ini kisah dari jalan-jalan dan makan-makan ke Solo beberapa waktu lalu. 

 ***

Sekitar jam 1 siang, saya dan Panjul berangkat dari Jogja. Naik motor yang dulu sempat sering mogok. Kami berdoa semoga si motor tidak ngambek. Perjalanan ke Solo memakan waktu sekitar 1-1,5 jam dengan jalan yang lempeng, lurus.

Titik pertemuan kami dengan Dyah adalah di gerbang UNS.  Dyah adalah kawan lama di dunia persma. Dia alumnus jurusan Komunikasi UNS. Oh ya, Dyah dulu sempat membuat hati seorang kawan cenat-cenut, tapi gak usah diceritakan disini lah, hehehe. Selagi menunggu Dyah datang, saya dan Panjul menyeruput es susu dan teh botol.

Dyah akhirnya datang. Rambutnya sekarang pendek, dan dia masih saja ramah.

"Ayo makan siang" ajak Dyah. Tapi dia malah bingung mau mengajak kami kemana. Akhirnya saya yang menentukan pilihan makan siang: Selat Solo. Pasti segar dimakan siang-siang terik macam hari itu. Panjul cuma menganggukkan kepala ketika saya ajak makan selat.

Selat Vien's menjadi tujuan pertama kami dalam Solo Short Trip ini. Warung ini tampak selalu ramai pembeli. Selain menjual selat, ada menu sup matahari. Saya dan Panjul memesan selat Solo, Dyah memesan sup matahari.

Tak perlu menunggu lama, seporsi sup matahari datang. Sup ini berisi telur dadar yang berisi cacahan daging, wortel, dan jagung. Lalu sup yang berkuah bening ini juga diramaikan dengan potongan wortel, buncis, potongan kentang goreng kering, dan sosis. 




Setelah itu selat solo datang menyusul. Tampilannya cantik. Aromanya harum. Menerbitkan liur. Tak seperti selat solo lainnya, potongan daging di Vien's ini dibentuk bulat seperti bakso. Lalu sebagai teman bola daging itu, disertakan sebutir telur pindang, potongan kentang yang cukup gemuk, buncis segar, wortel, selada, dan juga timun. Kuahnya bercita rasa manis, tapi diselingi aksen asam berkat campuran mayonaise. Sebagai pelengkap, ditaburi kentang goreng kering.


Seperti yang saya perkirakan, seporsi selat solo ini sungguh mantap untuk disantap siang hari.

"Kuahnya kurang kental nih" timpal si Panjul. Saya sih cocok-cocok saja dengan tingkat kekentalan kuah selat solo Vien's ini. Meskipun kuahnya tak kental, tapi rasa bumbunya berani. Kalau terlalu kental, nanti malah mirip rolade atau bistik gelantine.

***
Makan-makan kami belum selesai. Setelah mengikuti diskusi film di sebuah rumah makan, kami bertiga bertolak untuk mencari makan malam. Dyah sempet bingung mau mengajak kami kemana. Setelah melalui lorong pikiran yang cukup berliku, akhirnya Dyah mengajak kami makan rica-rica ayam di seberang hotel Novotel.

"Temen-temenku nyebutnya rica-kare Novotel atau Luwes. Soalnya ada supermarket luwes di depan warungnya." kata Dyah menjelaskan tempat makan yang tak memiliki nama paten tersebut.

Warung ini serupa lesehan kalau di Jawa Timur. Di Yogyakarta disebut angkringan. Di Solo disebut hik. Apapun itu sebutannya, tak ada meja dan kursi. Cuma hamparan tikar plastik yang beberapa bagiannya mulai koyak karena terlalu sering ditindih pantat. Juga ada beberapa kudapan untuk jadi lauk tambahan, seperti tahu isi, perkedel, atau ceker.

Ada 2 menu di warung ini. Rica ayam atau kare ayam. Tapi para penggemar punya cara kreatif dalam memesan menu, yakni mencampur antara rica dan kare. Jadilah rica kare ayam, rica ayam yang diberi kuah kare.

Saya memesan rica. Panjul memesan kare. Dan Dyah memesan kare rica. Tak berapa lama, pesanan kami datang. Rica datang dengan tampilan yang menggoda. Nasi putih pulen disiram dengan kuah kuning kecoklatan lengkap dengan serpihan kulit cabai. Lalu potongan kecil ayam tampak matang sempurna, golden brown. Ketika saya menyuap, rasa gurih langsung menyergap. Tak ada rasa pedas yang saya bayangkan ketika mendengar kata rica. 



"Emang gak pedes mas, kalau mau pedes tambahin sambal aja" kata Dyah sembari menunjuk sambal berwarna merah dalam wadah yang juga berwarna merah.

Saya menambahkan beberapa sendok sambal, lalu mencampurnya dengan nasi rica. Baru pedasnya kerasa. Cukup menyengat dan membuat kulit kepala gatal.

Sedangkan kare ayam bentuknya malah lebih mirip soto ayam. Dengan kuah yang berwarna kuning keruh, cacahan kubis dan seledri, serta seiris jeruk nipis, benar-benar bisa mengecoh mata. Apalagi ketika Panjul menambahkan perkedel, jadilah kare ayam itu makin mirip soto. Kalau kare rica? Saya gak tahu, sungkan mau nyicip punya Dyah, huehehe. Rasa sungkan itu makin bertambah ketika tahu kalau Dyah mentraktir kami. Kasihan sekali nasibmu Dyah, sudah "dipaksa" mengantar saya dan Panjul, masih bayarin makan malam. Hahaha.
Kare Rica Ayam
Kare yang mirip soto
Sebenarnya malam itu masih ada tawaran makan jagung bakar pedas. Tapi sepertinya badan terlampau lelah. Saya dan Panjul terpaksa menolak tawaran Dyah yang sebenarnya susah ditolak itu. Angin di Solo berhembus dingin ketika saya dan Panjul mengarahkan motor ke arah Yogya. 

Pulang...

Jumat, 06 April 2012

Roadhouse Blues


Malam masih muda. Legian masih saja pikuk oleh turis yang lalu lalang, kendaraan yang berjalan lambat karena macet, dan musik-musik yang dimainkan di bar sepanjang Legian. Saya, Rayis, dan Zein sedang menuju sebuah kafe tempat kawan kami bekerja sebagai homeband.

Hanya sepelemparan batu dari Monumen Bom Bali, terdengar suara "Santeria" dimainkan. Lagu dari band Sublime ini sering saya dengar ketika masih SMA. Saat itu ada band yang tengah naik daun, K2 Reggae. Mereka memainkan repertoar lagu-lagu reggae terkenal. "Santeria" selalu dimainkan sebagai lagu pamungkas yang pasti mengundang dansa massal. Sejak beberapa tahun silam, K2 Reggae sudah tidak terdengar kabarnya. Ternyata 3 orang personil band itu yang sekarang bermain di kafe ini. Mereka yang akan kami temui.

Rayis, sahabat saya semenjak SMA, mengenal para personil K2 Reggae itu semenjak masih kecil. Anton sang biduan cum gitaris, dan Feri sang gitaris, adalah dua kawan akrabnya. Malam itu kafe tempat mereka bermain penuh dengan bule-bule yang setengah tipsy. Mereka terlihat riang.

Lagu-lagu terkenal dimainkan. Mulai "Hotel California", "I Shoot the Sherrif", hingga "Roadhouse Blues". Suara Anton sangat prima walau keringat terus membanjiri sekujur wajah. Ia berkali-kali menebar senyum ke para bule sembari berujar standar "are you ready for rock n roll?". Anton juga berkali-kali menghajar fret gitarnya. Memainkan solo gitar "Hotel California" yang rumit dan menarikan solo gitar "Roadhouse Blues" yang magis serta kental nuansa blues rock.

Saya dan kedua orang kawan hanya duduk di bar sembari ngobrol. Mau beli bir, tapi duit menipis. Jadi cukup duduk dan sesekali bercakap dengan bule-bule mabuk.

Karena mabuk, beberapa bule sempat lepas kontrol. Ada seorang pria bule bertubuh besar tiba-tiba mengangkat kursi kafe yang terbuat dari rotan. Dengan sempoyongan ia berjalan ke arah kerumuman kawan-kawannya yang sedang berjoget, dan menimpakan kursi itu ke kepala seorang kawannya. Yang ditimpa kursi lalu menoleh, memasang tampang marah, lalu ngomel. Tapi keributan ini cepat dinetralisir oleh para waitress yang berpakaian seksi. Dua orang waitress memisah mereka dan mengajak mereka berdansa. Suasana kembali gembira. Lalu seorang bouncer berbadan kekar mengembalikan kursi.

"I think enough for tonight, we'll see you tomorrow" ujar Anton dengan wajah merah karena lelah. Waktu sudah menunjukkan satu jam selepas tengah malam.

Kerumunan massa tidak terima dan meneriakkan encore. Para anggota band lantas berdiskusi.

"Okay, one more song" teriak Anton. Dan para bule itu bersorak gembira.

Lalu "Paint It Black" milik Rolling Stone berkumandang memecah udara Legian yang hangat.

                                                                           ***

Rayis dan Zein

Selepas beramah tamah di luar kafe, kami pun berpisah dari rombongan band yang tampak lelah. Saya, Rayis, dan Zein pun bergegas pulang. Tapi malam belum terlalu tua, terlalu dini untuk pulang. Maka kami mengarahkan motor di sudut pantai Kuta yang gelap. Sekedar bercengkrama. Hanya bercengkrama? Teryata tidak.

"Biasanya disini banyak bule mesum. Tunggu aja" timpal Zein. Rupanya predikat mesum pada pria asal Tembaan ini masih belum jua luntur.

Dan tebakannya benar. Tak berapa lama, datang 3 pasangan bule. Mereka mabuk, tampak dari jalannya yang sempoyongan. Dua pasangan duduk selonjor di pantai, dan satu pasangan lain menjauh, mencari tempat yang tak tersinari cahaya.

"Wah, sudah mulai. Setelah ini pasti mesum" tambah Zein.

Saya terkekeh pelan. Menyaksikan adegan mesum secara live bareng kawan SMA ini seperti membawa kenangan ketika masih sekolah dulu. Saat itu kami sering bolos ke rumah seorang kawan yang transgender, lalu menonton film biru ramai-ramai. Biasanya sekali bolos, ada 9 hingga 10 orang. Jadi bisa dibayangkan rumah sang kawan itu ramai sekali. Penuh dengan asap rokok dan celotehan mesum. Hahaha.

Tapi tontonan kami agak terdistraksi dengan minimnya cahaya. Meski begitu, mata Zein seperti mata kucing. Ia bisa melihat sesuatu (baca: kemesuman) bahkan di tempat yang minim cahaya.

"Itu pasti posisi sang cowok begini... sang cewek begini..." ujar Zein, yang sekarang bekerja sebagai barista, menjelaskan dengan khidmat mengenai tebakan posisi mesum sang pasangan bule itu.

Tanpa dinyana, sebuah mobil melintas, dan lampunya menyorot pasangan itu. Gila, tebakan Zein benar! Posisi bule itu persis seperti yang ditebak oleh Zein. Saya ngakak sekeras-kerasnya. Rayis juga terkekeh. Zein memang raja mesum dari dulu. Dan sekarang ia membuktikan bahwa gelar itu masih saja susah direbut darinya.

Malam lalu menua. Saatnya pulang. Perjalanan saya resmi saya akhiri sampai disini. Besok tinggal pulang menuju barat. Menuju Banyuwangi, lalu Jember yang sudah saya rindukan.

"I'm coming home" ujar saya lirih, berbisik pada pantai Kuta yang gelap...