Sabtu, 08 Februari 2014

Bertemu Agus Magelangan

Saya tak pernah mengetahui sosok pria berponi ini hingga beberapa orang dekat saya mengobrolkannya. Namanya Agus Mulyadi. Namun di dunia maya, namanya jadi Agus Magelangan. Nama itu sekaligus jadi penanda bahwa ia sangat bangga dengan Magelang.

"Aku lahir di Magelang, hidup di Magelang, besar di dzholimi," tulisnya pada laman about me di blognya.

Saya tertawa ngakak waktu membaca taklimah jujur itu.

Sore ini Agus datang ke kantor KBEA. Sosoknya benar-benar seperti yang saya bayangkan. Tingginya standar pria Indonesia, 160-an cm. Kulitnya gelap. Dan giginya --ia akui dengan sangat bangga-- sedikit maju. Bahasa Jawanya: mrongos. Agus juga, sama seperti apa yang saya bayangkan, suka bercanda, sederhana, dan gemar sekali menertawakan diri sendiri. Menurut saya, itu salah satu ciri orang yang berhati besar. Karena tak semua orang mempunyai kemampuan meledek dan menertawakan diri sendiri.



Tapi meski tampak polos dan sederhana, kadang ia cerigis juga.

"Nang kene akeh seniman ya mas?" tanyanya sembari menunjuk pada tumpukan buku yang berserakan di atas meja panjang di ruang tengah. "Biasane seniman kan seneng berantakan."

Saya tertawa.

Agus dengan sadar memposisikan dirinya sebagai orang yang marjinal. Ia dengan santai mengakui kalau ia belum pernah pacaran, misalnya. Atau tentang bentuk mukanya, yang kata dia sendiri, tak simetris. "Lha wong Bapak saya sendiri saja tega kok bilang saya jelek," katanya suatu ketika. Dan semua itu ia jadikan bahan guyonan yang tak ada habisnya.

Sore tadi saat Agus datang, hujan turun lumayan lebat. Nody yang menjemput Agus di stasiun. Semua berawal dari Mas Puthut yang kumat isengnya. Ia sudah sejak lama ingin kenal dan ngobrol dengan Agus. Mas Puthut memang punya kecenderungan suka dengan pria-pria beraura ganjil nun ajaib macam Gita Wiryawan dan Agus.

Karena ia sedang ingin iseng, maka ia meminta tolong Nody untuk menjemput Tia, perempuan yang konon adik tingkatnya Mbak Ajeng, istri mas Puthut.

"Cantik Nod," kata mas Puthut ngiming-ngimingi Nody.

Ternyata yang dimaksud Tia adalah si Agus. 

"Kamu nanti dijemput orang Gus, tapi kalau ada yang sms, kamu ngaku cewek ya. Namanya Tia. Aku mau ngerjain temenku," sms mas Puthut pada Agus.

Singkat kata Nody pun menjemput Agus, berbasah-basah ria. "Aku wis curiga, pokok nek mas Puthut sing ngomong, biasane elek," kata Nody terkekeh.

Saya sedang memasak baguette saat Agus datang. Rambutnya basah. Sweater lengan panjang berwarna birunya juga sedikit basah. Celana panjang berwarna hitamnya ia pangkas diatas mata kaki. Saya tawari dia ngopi atau minum teh, Agus menolak.

"Masih kenyang mas."

Maka saya meneruskan memanggang roti baguette yang tadi saya beli di Superindo. Baguette ini panjang. Harganya murah. Cuma 6500 rupiah saja. Saya iris pendek-pendek. Dipanggang. Lalu dioles campuran saus barbeque, saus pedas, dan mayonaise. Dimakan ramai-ramai. Kantor KBEA sedang riuh sore tadi. Ada mas Fahri Salam. Ada Wisnu Prasetya. Dan Nody tentu saja.

Setelah saya sedikit 'memaksa' Agus untuk ngopi, ia mau. "Nyoba kopi, ben koyok seniman mas," katanya cengengesan. Agus mengaku suka kopi sachet. Bahkan ia pernah dengan selo mereview kopi-kopi sachet yang beredar di pasaran. Ia paling suka kopi susu merk Torabika.

"Tapi iku kopine banci mas. Kopi kan identik dengan laki-laki, susu identik dengan perempuan. Nek dicampur yo banci," tandasnya ringan. Saya kembali tertawa.

Saya mengenal Agus dari beberapa retweet kawan-kawan saya. Kicauan Agus lucu. Seringkali cerdas dan keluar dari kebiasaan. Kadang pula ia genit dan merayu.

"Tanpa pupur dan lipen, kamu sudah terlalu cantik dan manis. Andai semua wanita sepertimu, mungkin Wardah sudah gulung tikar sejak dulu." Itu kicauannya sehari lalu. Wardah adalah salah satu merk kosmetik yang sekarang sedang laris.

Saya membuatkan kopi untuk Agus. Dua sendok teh gula dan satu sendok kopi. Komposisi yang akan menghasilkan rasa manis yang, mungkin, keterlaluan. Ah, biarlah, itu kan selera. "Kopine ojo pahit mas, ojo podo karo eling mantan," celetuk Agus dari belakang.

Nama Agus, pria penggemar Mella Barbie dan Via Vallen ini, mulai menjulang saat editan fotonya dengan salah satu selebritis wanita beredar di dunia maya. Saya lupa siapa nama seleb perempuan itu. Editan fotonya halus sekali. Banyak orang tertawa. Foto itu menyebar viral dengan cepat. Agus pun jadi buah bibir.




Blog Agus pun mulai ramai dikunjungi orang. Padahal blog Agus sudah mulai dibuat tahun 2009. Agus tiba-tiba kebanjiran order edit foto. Banyak sekali yang minta foto dirinya diedit bareng artis. Agus tak menolak. Tapi setelah beberapa lama, ia memutuskan untuk menghentikan jasa pengeditan foto itu. Alasannya sederhana: takut kena pasal hak cipta. 

Namun Agus masih menerima jasa edit foto lain. Seperti misalnya caleg yang ingin edit foto. Untuk apa? Tentu untuk didesainkan poster dan segala macam peraga kampanye lain. Agus laris ditanggap. Agus juga punya lini usaha desain yang ia beri nama AgusDesain.

Selain blog, Agus juga aktif di twitter. Akunnya ia buat pada tahun 2009. Namun saat itu jarang digunakan karena belum banyak kawan-kawannya yang punya akun twitter. Namun saat twitter sudah ramai digunakan, Agus menggunakan lagi akunnya. Awalnya pengikutnya sedikit. Namun lama-lama jadi banyak. Saya menduga --selain karena heboh foto editan itu, juga-- karena cuitannya banyak yang lucu dan segar. 

Follower Agus sekarang mencapai 2000 lebih. Angka yang lumayan fantastis.

"Tapi percuma mas, soko 2000 follower, ora ono sing gelem dadi yangku. Probabilitasnya rendah," kata Agus melas.

Saya ngakak.

Agus, sama seperti pria bujang yang sering diledek, ingin punya pacar. Ia mengaku tak pernah pacaran sama sekali. Bahkan Agus sudah ingin menikah. Header di blognya menunjukkan itu: Agus Mulyadi Njaluk Rabi. Agus Mulyadi Minta Nikah. 

"Tapi arek saiki jarang ono sing iso ngeliwet mas, wegah aku nek nduwe bojo ra iso ngeliwet," tukasnya pendek.

Ngeliwet adalah proses menanak nasi dua kali. Tujuannya agar nasi jadi lebih pulen. Cara ini sudah banyak ditinggalkan karena tidak praktis. Kalah oleh magic jar dan rice cooker. Saya sendiri baru tahu istilah ngeliwet itu dari Wisnu dan Lutfi. Padahal di rumah saya, Mak Ri, asisten rumah tangga, juga melakukan cara menanak nasi yang sama.

Saya tertawa mendengar omongan Agus tadi. Karena inspiratif, saya twit. Ternyata ada yang menyambar twit saya. Perempuan. Cukup manis. Dia bilang kalau dia bisa ngeliwet. Lalu saya tunjukkan twitnya pada Agus.

"Iso umbah-umbah ora? Nek cuma iso ngeliwet yo mending aku kawin karo magic jar wae," celetuk Agus.

Hahaha. Jancuk. Saya tertawa keras sekali.

Agus sekarang sedang sibuk. Ia sedang menyelesaikan proses penulisan buku pertamanya. "Ya tentang kisah hidup sehari-hari aja mas."

Penerbitnya adalah Bentang Pustaka. Menurut pengakuan Agus, ada tiga  penerbit yang berminat menerbitkan tulisan-tulisan Agus. Ketiganya adalah penerbit besar. Salah satunya adalah penerbit dengan inisial G, yang merupakan perusahaan penerbit terbesar di Indonesia.

Tapi Agus memilih Bentang. 

"Soale wong Bentang teko nang omahku mas. Wong telu. Ngajak mangan. Direkture yo melu. Aku dadi ra penak nolak," kata Agus sembari tertawa kecil.

Agus diajak makan steak oleh jajaran direksi Bentang. Ia canggung. Pasalnya ia tak pernah makan steak sebelumnya.

"Mas, iki wis bener ora mangane?" tanya Agus pada salah satu orang Bentang.

"Asal dilebokne cangkem, yo bener Gus."

Saya tertawa keras lagi mendengar cerita itu.

Sore berlalu dengan cepat saat ngobrol dengan Agus. Tahu-tahu matahari sudah menghilang. Hujan sudah berhenti. Adzan Maghrib memecah udara. Selepas shalat, Agus pamit pergi. Mau diajak ngopi sama mas Puthut. Nody dan mas Lutfi juga ikut.

"Gak nggawe jaket mas? Adem lho," saran saya pada Agus.

"Ora usah mas, eling wedok sing nolak aku wae iku wis nggarai panas."

Oalah Gus!

Post scriptum: Setelah ngopi bareng Agus selesai, mas Puthut mencuit beberapa kalimat Agus. Salah satu yang membuat saya tertawa saat ia gumun, "nek eruh kopine rego 13 ribu, aku mending nggowo kopi sachet wae mas." Hehehe. Hail Agus!

Selasa, 28 Januari 2014

Gempa

Dua hari lalu Yogyakarta kena gempa. 6,5 SR. Cukup besar, hingga membuat banyak orang keluar dari rumah. 

Saat itu matahari sedang berada pas di atas kepala. Titik gempa itu berpusat di 104 kilometer barat daya Kebumen. Gempa itu tak hanya dirasakan di Kebumen dan Yogya. Solo, Semarang, bahkan Wonosobo pun merasakan gempa itu. Konon getaran gempa terasa sampai Malang.

Saya sedang di depan laptop waktu itu. Wisnu, kawan saya,  juga sedang mengerjakan pekerjaannya. Kami berbagi meja panjang yang sama. Di tengah ruangan kantor. Sedang Nody sedang asyik tiduran sembari mendengarkan musik Gandrung Banyuwangi. Pekerja rumah tangga di kantor kami, Mbah Pah, sedang menyapu di halaman depan.

Waktu gempa baru berjalan dua detik, saya dan Wisnu baru sekedar berpandangan. Ah, palingan bentar doang, pikir kami dalam hati. Tapi kami mulai panik saat gempa masih menggoyang 5 detik kemudian.

"Gempa yo?" kami sama-sama saling bertanya. Kami akhirnya berlari keluar rumah karena gempa berlangsung cukup lama.

Saya masih sadar dan berusaha tidak panik. Saya masih sempat berpikir untuk membawa laptop turut serta. Meski itu laptop murah, tapi ia satu-satunya harga berhargaku. Semua data ada di sini. Sedang Wisnu meninggalkan laptopnya di meja. Ia mungkin lupa. Hehe.

Beberapa orang tetangga sudah keluar dari rumah sembari sedikit panik. Gempa tak berlangsung lama. Getaran besar hanya berlangsung sekitar 15-20 detik, tapi getaran kecil terasa hingga 2 menit. Setelah meyakinkan diri kalau gempa tak akan datang lagi, barulah kami masuk ke dalam rumah.

Saat itulah Nody baru keluar rumah. Ia sadar ada goyangan, tapi ia mengira Mbak Pah yang menggoyang jendela.

"Tapi kok goyangane tambah kenceng, tibake gempa," kata Nody sembari cengengesan.

Setelah keadaan tenang, saya membuka twitter. Benar saja. Ada banyak cuitan tentang gempa. Kawan-kawan saya di Bantul banyak yang panik. Takut ada tsunami. Untung tak kejadian.

Dari banyaknya twit tentang gempa, benang merahnya adalah tentang trauma gempa tahun 2006. Saat itu gempanya berskala 6,2 SR. Namun getaran keras berlangsung hingga nyaris satu menit. 

Efeknya benar-benar dahsyat dan mengerikan. Semakin mengerikan karena episentrum gempa berada di 25 km selatan-barat daya Yogyakarta. Gempa yang pertama terjadi pada jam 5 lebih 30 menit, dan disusul oleh tiga kali gempa berikutnya: mulai dari jam 6 pagi, 8, hingga jam 11 siang. Akibat bencana ini, korban tewas tercatat 5.700 orang, puluhan ribu orang luka, dan menyebabkan ribuan bangunan lantak.

Dengan efek yang semengerikan itu, pantas kalau penduduk Yogyakarta trauma dengan gempa. Bahkan saya sempat mencuri pandang: tetangga depan rumah mukanya tempias dengan istighfar yang tak kunjung berhenti dari bibirnya.

***

Tadi malam saya keluar dengan Panjul. Sehabis mengambil buku, kami makan malam dan ngobrol ngalur ngidul seperti biasa. Salah satu topiknya adalah gempa kemarin.

"Lu bisa bayangin gak kalau kena gempa pas lagi tidur?" tanya Panjul sembari setengah bergidik.

Saya menggelengkan kepala sembari melihat tembok penyangga besar nan kokoh yang berada tepat di atas kami berdua. Meski ia kelihatan kokoh, tapi ia tak ada apa-apanya dibandingkan gempa. Saya mendegut ludah. Membayangkan kalau tiba-tiba saat itu ada gempa dan tembok penyangga itu jatuh menimpa kepala saya.

Saya merinding.

Ndilalah, sekitar pukul 11 malam, saat saya sedang asyik menonton serial The Newsroom, kasur tempat saya rebahan tiba-tiba bergoyang keras. Sial, gempa lagi! Saya terbangun dari posisi tidur. Duduk sembari mengambil ancang-ancang untuk lari sembari membawa laptop. Untunglah gempa hanya berlangsung sekitar 5-6 detik.

Meski hanya berlangsung singkat, efeknya tetap bikin saya tak bisa tidur. Apalagi sehabis obrolan dengan Panjul soal gempa tadi. Saya menengok asbes di atap kamar. Lalu tembok kamar yang sepertinya juga kokoh. 

Saya tersenyum pahit. 

Itu kelakuan bodoh tentu saja. Karena saya seperti orang yang takut mati. Kalau memang saya harus mengalami kecelakaan, tentu tak harus menunggu gempa. Dulu, sewaktu saya masih tergila-gila dengan mitos rockstar-mati-mulia-di umur-27-, saya pernah punya keinginan mati muda. Di umur 27 tepatnya. Biar seperti Jim Morrison atau Brian Jones. Tapi sekarang saat umur saya merambat ke angka 27, keinginan mati muda itu memudar. Terkalahkan oleh betapa menyenangkannya hidup.

Ternyata saya tak cukup siap mati muda. Apalagi mati karena kejatuhan tembok saat gempa. Sungguh sebuah kematian yang tak elok. Tapi hei, siapa yang bisa memilih cara terlepasnya sukma?

Semoga semua arwah yang meninggal saat gempa diberikan tempat yang tenang dan indah di sisiNya. Amin.

Ngomong-ngomong soal meninggal saat gempa, ada sebuah kejadian yang membuat saya menyunggingkan senyum.

Saat itu malam hari, di tahun 2009. Ada gempa kecil yang terasa di rumah kami. Orang Jawa Timur menyebutnya lindhu. Beberapa menit sebelum gempa terjadi, ayah dan mamak saya sedang tidur-tidur ayam.

Waktu gempa terjadi, mamak, yang dasarnya memang gampang panik, tentu saja panik sembari berteriak gempa. Ia sudah mau meloncat dari kasur, saat tangan ayah memegangnya lembut.

"Laopo mlayu, lek wis wayae mati yo pasti mati kok." Buat apa lari, kalau sudah waktunya mati ya pasti mati kok, kata ayah saya kalem. 

Ayah sudah kena stroke waktu itu. Ayah sudah pasrah. Ia tahu, meski mamak menariknya untuk berlari, ayah akan kesusahan untuk sekedar bergerak. Mungkin, kala itu, kematian hanya berjarak sejengkal dari ubun-ubun kepala.

Untung lindhu itu hanya berlangsung beberapa detik. Tapi setelahnya mamak sewot.

"Dadi wong kok pasrah tenan," omelnya.

Ayah hanya tertawa kecil.

Saya tentu tak sesiap dan setenang ayah saya dalam menghadapi segala macam bahaya. Apalagi kematian.

Setelah gempa pukul 11 malam tadi, hingga jam 5 pagi ini saya tak bisa memejamkan mata. Selain karena kebiasaan, saya berusaha bersikap waspada. Teringat pertanyaan Panjul tentang gempa yang terjadi saat tidur. Apalagi gempa Yogyakarta terjadi sewaktu orang sedang asyik terlelap. Maka saya memutuskan untuk tak tidur hingga matahari naik nanti.

Rani sudah mewanti-wanti agar menyiapkan barang dalam tas. Berjaga kalau harus evakuasi. Saya sudah menaruh beberapa barang dalam tas, seperti pakaian dan celana. Tapi itu barang yang memang belum saya keluarkan dari tas semenjak datang dari Jakarta beberapa waktu lalu. Hehehe.

Mengingat bencana, tiba-tiba saja saya teringat doa yang diajarkan saat SD dulu. Doa menjauhkan diri dari bencana. Iya, seringkali saya hanya ingat tuhan sewaktu sedang susah saja.

Bismillahil lazi la yadurru ma’asmihi syai’un fil ardi wa la fis sama’i wa huwas sami’ul ‘alimu.

Dengan menyebut nama Allah, sesuatu itu tidak berbahaya di bumi dan di langit. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Amin. []