Sabtu, 30 November 2013

Menuju Banyuwangi Sebagai Kota Festival Musik

Bagaimana musik bisa menjadi suluh penyelamat sebuah kota yang sedang menuju kebangkrutan nan kelam?

Kota Liverpool bisa menjadi contoh yang bagus tentang kota yang diselamatkan musik. Pada dekade 60-an, kota yang dikenal sebagai kota industri dan pelabuhan ini mengalami krisis sebab tenaga kerja di pelabuhan dan pabrik sudah mulai diambil alih mesin.

Hal ini berlangsung hampir selama dua dekade. Pada dekade 80-an, keadaan sosial ekonomi di Liverpool makin compang camping. Pemerintah kota lantas mencari cara untuk memperluas lapangan kerja dan menggenjot pariwisata. 

Saat itu akhirnya pemerintah kota Liverpool mencanangkan fokus kepada pariwisata musik sebagai pendongkrak ekonomi kota (Cohen, 1991). Hal ini wajar, sebab Liverpool dikenal sebagai kota kelahiran Beatles, salah satu band terbesar di dunia --bahkan hingga saat ini. Karena itu kota pelabuhan ini punya banyak situs-situs bersejarah yang berkaitan dengan Beatles. Pemerintah kota mulai mempromosikan Liverpool sebagai kota musik.

Sejak kematian vokalis Beatles, John Lennon, pada tahun 1980, kunjungan wisatawa ke kota Liverpool guna mendatangi situs-situs Beatles semakin meningkat. Cohen (1997) menyebut Liverpool telah sukses mengkapitalisasi Beatles untuk jadi brand baru bagi kota Liverpool. 

Para wisatawan banyak membanjiri tempat-tempat yang jadi tempat landasan awal karir The Beatles. Mulai dari Pelabuhan Albert, The Cavern Club, hingga Mendips dan 20 Forthlin Road. Lapangan kerja pun semakin banyak tersedia. Kota tak lagi mengandalkan pabrik dan pelabuhan sebagai pemberi daya hidup utama. Kota Liverpool telah beranjak menjadi kota kreatif.

Saking suksesnya mengemas Liverpool menjadi kota pariwisata musik, kota yang terletak di barat laut Inggris ini bahkan dinobatkan sebagai World Capital of Pop (Ibu Kota Musik Pop) oleh Guinnes World Record.

Sejak saat itu Liverpool semakin mengukuhkan identitas sebagai kota pariwisata musik. Saat ini ikon baru kota Liverpool adalah Liverpool International Music Festival, sebuah festival musik tahunan yang diadakan gratis, dan merupakan festival musik gratis terbesar di Eropa. Pada tahun 2009, festival ini sukses ditonton oleh sekitar 200.000 pengunjung.

Menggeliatnya Pariwisata Musik

Kesuksesan Liverpool juga merupakan kesuksesan Britania Raya dalam mengemas musik sebagai ikon pariwisata baru.  Britania Raya (yang beranggotakan  Inggris, Irlandia Utara, Skotlandia dan Wales) bahkan punya lembaga resmi bernama UK Music yang didirikan untuk mencatat segala angka yang berkaitan dengan musik dan pariwisata.

Dari data yang dikeluarkan lembaga itu pada tahun 2011, Britania Raya dikunjungi oleh 7,7 juta orang dari konser-konser  besar yang dihelat di seluruh penjuru Britania. Jumlah wisatawan sebesar itu berasal dari wisatawan yang datang ke pertunjukan musik saja. UK Music menyebutnya sebagai turis musik, yang berasal baik dari domestik maupun mancanegara. Turis domestik mendominasi jumlah turis musik di Britania Raya, yakni sekitar 7,4 juta orang. Sisanya adalah turis mancanegara. 

Industri pariwisata musik memang sedang menggeliat sejak dua dekade terakhir. Salah satu ujung tombak pariwisata musik adalah festival musik. Hughes (2000) dalam buku Arts, Entertainment, and Tourism mengungkapkan kalau  tiap tahunnya ada sekitar 4000 festival musik di Amerika, kurang lebih 520 festival di Inggris, dan 800 festival di Perancis. Genre festival-nya pun beragam. Mulai dari rock, jazz, blues, folk, hingga musik etnis. Festival-festival itu memberi pemasukan dan perluasan lapangan kerja yang tak sedikit.

Di Britania Raya misalnya, 7,7 juta turis musik itu membelanjakan uang sebanyak 1,4 milyar poundsterling, dimana sebanyak 864 juta poundsterling masuk ke kas negara. Festival-festival musik ini juga memberikan pekerjaan penuh waktu bagi 19.700 orang. Itu baru dari festival saja.

Bagaimana dengan di Indonesia? Indonesia pun ikut serta dalam menikmati manisnya kue pariwisata musik ini. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Marie Elka Pangestu, menyebutkan bahwa ada peningkatan sebanyak 30% kunjungan wisatawan mancanegara jika ada konser ataupun festival musik di Indonesia.

Di Indonesia juga terjadi peningkatan jumlah festival musik lintas genre secara signifikan sejak satu dekade lalu. Mulai dari Java Jazz, Rock in Celebes, Bandung Berisik, Hammersonic, Jazz Gunung, hingga yang baru-baru dan sedang berkembang seperti Kutai Rock Festival dan Banyuwangi Jazz Festival.

Aneka ria festival ini juga mendatangkan penonton dalam jumlah yang banyak dan semakin meningkat tiap tahunnya. Festival Java Jazz misalnya. Pada saat pertama kali diadakan, festival ini dikunjungi oleh kurang lebih 48.000 penonton. Jumlahnya terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada tahun 2011, yakni dikunjungi oleh 150.000 penonton. Tak heran, Java Jazz kini dianggap sebagai salah satu festival jazz terbesar di dunia.

Mengemas Banyuwangi Sebagai Kota Festival Musik

Banyuwangi sudah sejak dulu dikenal sebagai kota yang punya akar budaya yang kuat. Hal ini juga ditambah dengan indah bentang alamnya. Dari gunung, pantai, hutan, Banyuwangi punya semua. Hal ini tentu mempermudah pengemasan Banyuwangi sebagai kota wisata alam, budaya, dan kota festival musik.

Langkah itu sudah mulai diwujudkan sejak tahun 2012. Banyuwangi Jazz Festival menjadi gong penabuh dan langkah awal menuju Banyuwangi kota festival musik. Pemerintah Banyuwangi jelas sudah mengetahui pentingnya festival musik bagi sektor pariwisata di sebuah kota.

Salah satu langkah yang patut diapresiasi dari gelaran Banyuwangi Jazz Festival ini adalah adanya usaha mengkolaborasikan seni tradisional Osing dengan musik jazz. Ini adalah salah satu poin unggul dalam Banyuwangi Jazz Festival. Kolaborasi antara seniman tradisional Using dan musisi kontemporer adalah diferensiasi yang penting.

Kenapa diferensiasi ini penting? Karena saat ini ada banyak festival jazz --sekitar 50-an-- di Indonesia. Diferensiasi alias faktor pembeda tentu menjadi poin penting agar Banyuwangi Jazz Festival bisa berbeda dari festival jazz lain. 

Menampilan seniman-seniman tradisional juga sangat penting dalam kaitan akar sejarah. Meski tema utama festival adalah jazz, tak harus serta merta melupakan akar budaya Banyuwangi yang kuat. Seperti yang kita ketahui, di Indonesia ada banyak sekali seniman tradisional yang seakan terpinggirkan dan terlupakan. Dengan menampilkan seniman-seniman tradisional di panggung Banyuwangi Jazz Festival, itu artinya penyelenggara tak melupakan seniman tradisional, sekaligus mengenalkan seniman-seniman itu ke khalayak yang lebih muda.

Banyuwangi Jazz Festival juga unggul dalam kontribusi terhadap masyarakat lokal. Festival musik yang baik memang seyogyanya memberikan kontribusi terhadap masyarakat lokal. Pada banyak festival musik di luar negeri, penyelenggara memberikan keuntungan acara kepada sekolah-sekolah, panti sosial, hingga yayasan sosial. Tak hanya itu, ada diskon khusus bagi penduduk lokal yang ingin menonton festival, juga membagikan banyak tiket gratis melalui kuis interaktif.

Banyuwangi Jazz Festival juga melakukannya. Menurut penuturan bupati Banyuwangi, Azwar Anas, keuntungan dari Banyuwangi Jazz Festival pada tahun 2013 dialokasikan untuk merehab rumah miskin. Ini adalah salah satu bukti bahwa festival musik bisa membawa dampak langsung dan memberikan kontribusi terhadap masyarakat lokal.

Selain Banyuwangi Jazz Festival, pemerintah Banyuwangi seharusnya sudah mulai memikirkan festival musik lain. Seperti membuat festival musik dunia alias world music. Banyuwangi punya musik dan tari Gandrung yang sudah mendunia. Bayangkan kesenian Osing seperti Gandrung, Janger, Mocopatan Pacul Goang, Angklung Caruk, hingga orkestra kluncing, kethuk, dan kempul menyatu dalam satu panggung besar festival world music. Pasti akan sangat megah. Kesenian ini bisa dikemas dalam sebuah festival musik berkelas dunia, tentu hal ini akan semakin mengangkat nama Banyuwangi sebagai kota festival musik di Indonesia. Bahkan dunia.

Lalu Apa?

Namun puja-puji melenakan saja tentu tak akan membangun. Ibarat bayi,  Banyuwangi Jazz Festival masih perlu banyak belajar cara berjalan sebelum bisa berlari. Masih banyak yang harus dipelajari dan dibenahi. Festival musik yang baik adalah festival musik yang berkesinambungan, tak hanya sekali lalu mati. Untuk itu diperlukan kerja sama yang lebih baik antara pemerintah Banyuwangi dengan media, sponsor, festival lain, supplier, perusahaan swasta, dan komunitas lokal. Saat proses ini bisa dikerjakan dengan baik, maka festival musik bisa jadi identitas sebuah kota (Gibson dan Connel, 2003).

Pemerintah Banyuwangi juga harus memperhatikan faktor seperti aksesibilitas (bandara, terminal, akses jalan, dan kendaraan umum) dan amenitas (rumah makan, penginapan, tempat menjual merchandise), yang seringkali diabaikan. Padahal aksesibilitas dan amenitas ini merupakan faktor penting dalam pariwisata.

Selain itu perlu ditilik hal-hal kecil seperti official website yang juga masih perlu banyak dibenahi. Situs resmi ini vital karena situs ini adalah sumber informasi yang akan diakses oleh calon penonton. Seharusnya situs resmi ini bisa memberikan info terbaru dan terlengkap tentang pagelaran Banyuwangi Jazz Festival. Saat ini situs resmi Banyuwangi Jazz Festival (http://banyuwangijazz.com/) belum optimal, hanya berisi sedikit informasi, dan belum ada fitur dwi bahasa.

Yang juga wajib diperhatikan adalah kualitas lineup alias pengisi acara. Pengisi acara adalah salah satu faktor penting dalam festival musik. Dapat dikatakan bahwa sukses dari sebuah festival tergantung pada kehadiran bintang tamunya (Wallace, Seigerman, Holbrook, 1993). Diharapkan, penyelenggara Banyuwangi Jazz Festival bisa memahami pentingnya faktor pengisi acara agar acara ini bisa terus berkembang dan semakin besar. []

Post-scriptum: Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba menulis yang diadakan oleh Pemkab Banyuwangi. Saya mengambil tema Potensi Wisata Banyuwangi.

Minggu, 24 November 2013

House of Broken Love

Jack Russel sedang berada di puncak ketenaran pada medio 1987. Ia adalah frontman Great White, band hard rock yang tenar pada era 80-an. Lagu-lagu mereka bersliweran di tangga lagu radio. Video klip mereka jadi heavy rotation di MTV. Ini berkat album ketiga mereka, Once Bitten... (1986) yang melejitkan single "Rock Me". Dua album Great White sebelumnya, S/T (1984) dan Shot in the Dark (1986) belum mampu mengangkat nama Great White. Namun sejak album Once Bitten..., Russel menjelma jadi idola baru banyak fans, terutama wanita.

Tak heran, ia gagah. Russel berbadan tegap dengan suara serak basah yang sangat jelas dipengaruhi oleh Robert Plant. Auranya sangat maskulin, berbeda dengan beberapa frontman hair metal yang kebanyakan beraura manis dan 'ayu'. 

Tapi Russel adalah salah satu contoh adagium terkenal: rocker juga manusia. Meski punya banyak fans wanita dan bisa tidur dengan wanita manapun, Russel bisa juga patah hati. 

Semua berawal dari perceraian pertamanya. Russel menjadi kacau. Ia limbung. Jangankan melakukan konser, menggarap album baru pun ia malas.

Saat itu tolan setianya adalah Mark Kendall. Ia adalah gitaris sekaligus pendiri Great White bersama Russel. Gitaris yang identik dengan topi koboi berwarna hitam ini juga sedang berusaha bertahan dari cintanya yang kandas dilamun badai.

Mereka sering duduk berdua dan tidak melakukan apapun.

Suatu hari, Alan Niven, manajer mereka, sedikit gemas melihat mereka Russel dan Kendal hanya duduk dan bermalas-malasan. Sedikit menyindir dan berkelakar ia berkata, "what is this, the house of broken love?"

Dari candaan itu, Kendall mendapat ilham. Akhirnya bersama Michae Lardie --gitaris sekaligus keyboardis Great White-- dan Niven, mereka menulis lagu yang kelak diberi judul "House of Broken Love".

Lagu ini masuk dalam album keempat Great White, ...Twice Shy (1987), yang sekaligus merupakan album terlaris mereka. Lagu bernuansa blues nan sendu ini berhasil menduduki peringkat 7 dalam tangga lagu Billboard Mainstream Rock Tracks.

Dalam sebuh wawancara dengan The Friday Rock Show milik BBC, Russel mengatakan bahwa lagu ini adalah, "...tentang kesendirianku saat melewati perceraian." Tak heran liriknya pun liris.

When the night falls, and she's leaving, 
Ooo the moon shines so cold and grey. 
Hear my heart beat ,yeah,yeah, hear me weeping 
Pain and sorrow's here to stay, 

But I begged you baby help me, but you turned your back on me, you didn't even listen.
You should have set me free. 
Now I'm leaving with the devil, gonna leave this search for love, 
I'm leaving with the devil, leave this house of broken love. 

***

Sejatinya, tema patah hati adalah tema yang umum dalam band hair metal. Saat itu kondisinya pas dengan permintaan industri musik yang mensyaratkan adanya --paling tidak-- satu buah single ballad dalam sebuah album. Maka ada banyak sekali band yang menuliskan lagu tentang patah hati. 

Kebanyakan dari mereka menuliskan pengalaman patah hati orang-orang terdekatnya. Entah itu kawan, roadie, atau sanak saudara. Namun tak sedikit yang menuliskan berdasarkan pengalamannya sendiri. Karena itu acapkali lagu-lagu mereka mempunyai lirik yang sangat personal sekaligus reflektif. 

Seperti misalnya lagu "I Saw Red" milik band Warrant. Lagu ini muncul dalam album mereka yang paling sukses, Cherry Pie (1991). 

See red sendiri adalah sebuah istilah dalam bahasa Inggris untuk menyatakan amarah yang teramat sangat. Jani Lane, sang vokalis sekaligus penulis lirik Warrant, memakai frasa itu kala memergoki sang pacar --yang sudah berpacaran dengan Lane selama tiga tahun-- tidur dengan karib Lane sendiri. Kejadian ini membuat Lane sangat shock.

Lane menelan kemarahan sekaligus kegetirannya itu dengan menulis lirik. Namun uniknya, Lane menulis "I Saw Red" dengan nuansa yang teramat kontras. Pada bagian sebelum reff, Lane menuliskan larik-larik indah tentang kekasihnya.

Oo it must be magic
How inside your eyes
I see my destiny
Every time we kiss
I feel you breathe your love so deep inside of me

Juga larik ini:

And if the sun should ever fail to send its light
We would burn a thousand candles
And make everything alright

Namun pada bagian reff, Lane menumpahkan rasa getirnya:

Then I saw red
When I opened up the door
I saw red
My heart just spilled onto the floor
And I didn't need to see his face
I saw yours
I saw red and then I closed the door
I don't think I'm gonna love you anymore

Ironisnya, lagu personal nan pilu ini justru sukses di pasaran. "I Saw Red" menjadi salah satu lagu Warrant yang paling sukses, menembus 10 besar dalam tangga lagu Billboard. Jadi bukti bahwa kepedihan bisa jadi dagangan yang laris manis.

Lane sendiri memilih untuk bersenang-senang selepas patah hatinya.

"Aku baru saja putus dengan pacar yang sudah menjalin hubungan denganku selama tiga tahun. Jadi sekarang aku bisa menulis lagu dengan tema seks liar --dan melakukannya!-- yang selama ini tak bisa ku lakukan sebelumnya --karena menjaga perasaan pacarku," kata Lane dalam suatu wawancara.

Lane tak sendiri. Kroninya, Bret Michaels dari band Poison juga mengalami patah hati yang sama hebat. Padahal Michaels frontman band terkenal. 

Pada tahun 1986, Poison merilis album pertama mereka Look What the Cat Dragged In. Album perdana ini melambungkan mereka dalam senarai band populer. Album ini berhasil menduduki nomer 3 dalam tangga album Billboard 200 pada tahun 1987. Album ini juga menjadi cetak biru bagaimana sebuah band hair metal bersikap, baik dalam lagu dan penampilan.

Meski sudah jadi rock star papan atas, Michaels juga bisa patah hati. Kejadiannya bermula pada suatu malam saat Michaels dan Poison usai manggung di Dallas. Michaels kala itu sedang berada di laundromat dan menunggu pakaiannya dikeringkan.

Kala menunggu itu ia menelpon Tracy Lewis, sang kekasih yang berada nun jauh di sana. Namun saat Lewis mengangkat teleponnya, tanpa sengaja terdengar suara desahan lelaki. Michael muntab sekaligus gulana. Ia langsung memutuskan Lewis saat itu juga.

Dan di laundromat bersejarah  itu pula, Michael menuliskan lagu yang kelak menjadi legendaris, "Every Rose Has Its Thorn".

"Aku menulis lagu itu hanya dengan gitar akustik. Lalu aku langsung merekamnya di studio. When I wrote it, it came from my heart and soul," kata Michaels dalam sebuah wawancara.

Lagu itu awalnya tak akan dirilis oleh label rekaman yang menaungi Poison. Mereka tak percaya kalau lagu itu bisa jadi hits. Tapi perkiraan para eksekutif label itu salah besar. 

Lagu yang lantas masuk dalam album kedua Poison, Open Up and Say... Ahh! (1988), berhasil menjadi nomer 1 dalam nyaris semua tangga lagu di Amerika. Bahkan VH1 memasukkan lagu ini dalam "100 Greatest Songs of the 80'S".

"Label kami awalnya enggan memasukkan lagu ini dalam album. Mereka tak percaya pada lagu ini. Dan lagu ini berakhir menjadi lagu nomer satu," kenang Michaels.

Michaels menuliskan lirik patah hati ini dengan sangat indah dan puitis. Ia memakai metafora yang sangat bagus. Michaels, pria kelahiran Pennsylvania, mengibaratkan patah hatinya sebagai luka akibat sayatan pisau, "...the wound heals, but the scar, that scar remains."

Lukanya sembuh, namun bekasnya akan tetap ada.

***

Namun seperti biasa, para dedengkot hair metal ini terlalu akrab dengan sex, drugs, rock n roll. Patah hati hanya mereka mampir sekejap saja. Hanya berucap halo kemudian ditendang. Dan mereka kembali larut dengan kegilaan mereka. Pesta! Pesta! Pesta!

Beda dengan Russel, Lane, dan Michaels, beberapa hair rocker lainnya menuliskan lirik patah hati dengan semangat misoginis. Mereka tak sudi menundukkan kepala, melainkan mendongakkan dagu dan mencari perempuan lain. Entah untuk sekedar ditiduri, atau untuk dicintai.

Mulai dari L.A Guns yang menuliskan ballad patah hati dengan sedikit riang berjudul "It's Over Now", hingga keoptimisan Bon Jovi pada lagu "You Give Love a Bad Name", dan kearoganan Mike Tramp dkk dari White Lion dengan lagu anthem sepanjang masa mereka, "Broken Heart".

Tadi sore saat saya sedikit lelah membaca dan revisi tesis, saya iseng mengumpulkan lagu-lagu patah hati dari banyak band hair metal. Tak ada kesulitan yang berarti, karena nyaris semua hair band punya lagu tentang patah hati. Maka saya menyusunnya dalam sebuah mixtape yang saya beri judul sesuai lagu Great White, House of Broken Love

Selain nama-nama yang disebutkan di atas, ada pula lagu dari Vinnie Vincent Invasion, Vixen, Steelheart, London Quireboys hingga band asal Jepang Loudness --yang sebenarnya kurang tepat juga bila dibilang hair metal, namun tak sepenuhnya salah juga.

Saya anggap mixtape ini adalah sebuah ode untuk para hair rocker yang menyikapi patah hati dengan sangat gagah. Mengakuinya, menghadapinya, lalu kembali menatap ke depan. Kudos![]

Post-scriptum: Lagu-lagu itu bisa didengarkan di sini.