Rabu, 26 September 2012

Rendra, Tinju, dan Tawuran

Ketika duduk di bangku SMP, saya punya teman sekaligus bodyguard. Namanya Rendra Dwijaya. Saya tak salah memilihnya jadi bodyguard. Pasalnya, ia adalah petinju amatir yang namanya cukup disegani di kalangan pelajar Jember. Kakaknya, Oki, sudah lebih dulu terkenal dan masuk jalur profesional.

Rendra sering ikut turnamen tinju antar sekolahan. Sering menang sehingga diutus untuk mewakili Jember dalam beberapa ajang kompetisi tinju. Karena duduk sebangku, saya hafal sekali perangai dan kebiasaannya ketika di kelas.

Selain jadi petinju dan bandar judi bola amatir, ia suka mencorat-coret buku tulis. Salah satu kalimat yang sering sekali ia tulis adalah "Hanya Pengecut Main Keroyokan". Kalimat itu dibentuk tebal. Garis hurufnya tegas. Nyaris di setiap buku tulisnya, terpampang kalimat itu.

Saya tak paham apa maksud kalimat itu. Ia lalu menjelaskan bahwa kalimat itu adalah slogan sebuah acara tinju pelajar yang rutin ditayangkan di TVRI. Karena penasaran, saya pun menontonnya sepulang sekolah.

Rendra tak membual. Acara tinju antar pelajar SMA itu benar-benar ada. Namanya juga petinju amatir, jangan harap menemukan gaya bertinju ala profesional. Hanya baku hantam biasa. Bedanya, memakai sarung tinju dan pengaman kepala. Tapi bukan berarti pertandingan tinjunya tak seru. Sangat seru malahan. Kalau di tinju profesional, petinju kerap wait and see. Terlalu banyak pertimbangan dan kehati-hatian yang membuat penonton bosan. Kalau di tinju amatir, yang namanya pertimbangan dipinggirkan dulu. Hantam dan hantam! Karena itu, serunya jadi berlipat.
 
Seusai nonton turnamen itu, keesokannya saya ngobrol dengan Rendra. Tentang betapa serunya pertandingan kemarin, siapa petinju yang paling jago, dan kok bisa ada ide tentang tinju pelajar itu.

"Itu tinju antar SMA yang diadakan untuk meminimalisir tawuran pelajar di Jakarta" ujarnya pendek.

Rendra benar. Kalau saya tak salah ingat, di Jakarta tahun 2000-an tawuran berkurang drastis ketimbang periode 90-an. Bukan tak ada sama sekali, tapi kuantitasnya berkurang. Mungkin salah satunya karena adanya pertandingan tinju antar SMA.

Rendra juga menambahkan, turnamen ini sering diikuti oleh sekolah-sekolah yang hobi tawuran. Entah itu benar atau tidak. Toh Rendra dan saya juga tak paham SMA mana saja yang hobi tawuran.

Saya lantas mengerti kenapa Rendra begitu memuja slogan "Hanya pengecut main keroyokan". Baginya, lelaki sejati itu harus berani berduel. Satu lawan satu. Saling hantam. Siapa yang kuat dan mentalnya lebih tangguh, ia yang terakhir berdiri. Tinju juga mengajarinya sportivitas. Ketika pertandingan usai, kalah atau menang, kedua petinju tetap bersalaman.

Ia lantas menceritakan seorang rivalnya. Kedudukan sementara antara Rendra dan sang rival adalah 2-2 dari 4 kali bertanding. Meski pernah kalah 2 kali melawannya, Rendra sama sekali tak pernah dendam pada sang rival. Malahan Rendra sering jogging bareng sang rival. Rendra juga berlatih lebih keras agar bisa mengalahkan sang rival.

"Dia tangguh. Aku pukul kepalanya berkali-kali ia masih berdiri. Pukulanku harus dilatih lagi Ran" katanya bersemangat.

Karena itu pula, Rendra benci sekali tawuran. Kebetulan ada satu SMP yang berdekatan dengan sekolah kami. Seringkali ada tawuran antara sekolah kami dan sekolah tetangga. Tapi setiap diajak,  Rendra tak pernah mau ikut.

"Mereka cuma gerombolan pengecut" ejek Rendra.

                                                                               ***

Baru-baru ini, 1 pelajar tewas akibat tawuran antara SMA 6 dan SMA 70 di Jakarta. Selang sehari, ada lagi tawuran di daerah lain. Sepertinya kebiasaan era 90-an mulai berkembang lagi.

Sementara para pendidik, pengamat pendidikan, hingga ahli psikologi remaja berdebat dan berembuk tentang solusi, saya malah teringat Rendra dan turnamen tinju antar SMA. Turnamen tinju antar SMA itu sudah lama tak ada.

Mungkin menarik kalau turnamen semacam itu kembali diadakan. Cari sekolah-sekolah yang hobi tawuran, ambil pentolan-pentolannya, lantas diadu. Satu lawan satu. Berduel, baku hantam. Biar puas. Saya sih percaya dengan omongan Rendra kalau baku hantam di ring itu sama sekali tak melahirkan dendam. Walau kalah, tak ada keinginan untuk melakukan hal buruk di luar ring. Yang ada hanya keinginan untuk menang. Tentu di dalam ring.

Anggap saja petinjunya tidak dendam, bagaimana kalau pendukungnya yang dendam dan akhirnya malah tawuran? Nah itu dia fungsi pentolan sekolah. Biasanya pentolan sekolah punya 'kuasa' atas anak buahnya. Ya pentolannya yang harusnya menjaga agar tawuran tak terjadi. Kalau ternyata malah petinju yang kalah lalu dendam dan mengajak anak buahnya tawuran? Ya berarti itu masalah mental. Mentalitas pengecut.

Mereka harus ketemu Rendra, biar disemprot "hanya pengecut main keroyokan!"

Surat Untuk Gola Gong


Seberapa jauh kamu mengimani buku?

Saya --sama seperti yang dialami mas Taufiq-- bukan orang yang hidupnya berubah gara-gara buku... Hingga saya membaca Balada si Roy-nya Gola Gong. Sejak membaca novel itu, saya mendadak kena sindrom Roy. Saya ingin berambut gondrong, saya ingin berpetualang, saya ingin jago menulis puisi untuk merayu perempuan, bahkan saya ingin punya anjing herder walau saya takut sekali dengan anjing. Singkatnya, saya ingin jadi Roy! Bahkan Old Shatterhand dan Winnetou tak berhasil membuat saya ingin jadi koboi dan kepala suku Indian.

Maka alangkah senangnya saya ketika Gola Gong dalam akun twitternya mengatakan Balada si Roy akan dibuatkan film. Whooa!

Tapi kegirangan saya itu runtuh. Saya mendegut ludah gara-gara twit Gola Gong tentang OST BSR. Saya membaca nama Andika Mahesa ex Kangen Band sebagai pengisi soundtrack utama. Bagi saya, Roy sama sekali bukan remaja cengeng seperti yang sering digambarkan dalam lagu-lagu Kangen Band.

Tapi karena merasa tak adil kalau menghakimi lagunya tanpa mendengarkan lebih dulu, maka saya pergi ke Youtube untuk menonton video klipnya. Daaaan, dugaan saya tak meleset. Lagu berjudul 'Perjalanan Hidup' itu lirih dan tak bersemangat. Tak cocok dengan jiwa petualang Roy yang berapi-api. Dalam BSR, bertebaran lagu-lagu rock sebagai ornamen. Mulai The Doors hingga Van Halen. Saya jadi tak bisa membayangkan kalau lagu lirih itu jadi OST BSR.

Respon Gola terhadap lagu Andika adalah, "tak jelek-jelek amat."

Gola berkata lagu itu sesuai dengan keadaan Roy hidupnya penuh liku. Oh come on Kang, dengan segala hormat, masih banyak lagu yang bisa mewakili hidup Roy. Seperti 'Lelaki dan Rembulan' Franky S. untuk menggambarkan kisah cinta Roy dengan Ani atau Suci. Atau lagu Dialog Dini Hari yang 'Ku Kan Pulang' untuk menggambarkan hubungan Roy dengan sang ibu tercinta.

Kata kang Gola saya bisa mengirimkan email ke produsernya untuk memberi masukan soal lagu yang cocok untuk jadi OST BSR. I'll do it. I will do it.

Saya tahu sebenarnya Gola sedikit keberatan dengan lagu Andika ini. Awalnya ia menginginkan The Brandals alias BRNDLS yang mengisi soundtrack film Roy. Lagu-lagu BRNDLS terdengar sangat "Roy". Saya setuju. Tapi produser film (pemilik modal eh?) menginginkan BSR lebih 'membumi'. Dan Andika dianggap mewakili unsur 'membumi' itu. Terlepas dari kualitas musik yang selama ini dihasilkan Andika dan band-nya, ada ketakutan yang lebih besar dari hal OST ini.

Kalau produser (pemilik modal ya?) sampe intervensi ke soundtrack, apa jaminan mereka tak ikut intervensi  jalan cerita BSR atas nama pasar? Saya jadi takut membayangkan kalau Jupe jadi Ani sang Dewi Venus dan Depe jadi Suci.

Aduh!